Opini
Refleksi May Day, Sudahkah Buruh Sejahtera?
Oleh: Reni Adelina
(Kontributor Tetap Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Peringatan May Day atau Hari Buruh Internasional setiap 1 Mei dari tahun ke tahun hanya menambah luka. Hingga detik ini belum tampak kesejahteraan yang merata untuk kehidupan para buruh. Nasibnya masih terombang-ambing. Tuntutan pun terus disuarakan kepada pemangku kekuasaan, dengan harapan ada kebijakan yang mampu memberi titik terang terhadap nasib mereka.
Tidak sedikit tuntutan para buruh disuarakan serentak di beberapa daerah, termasuk di Kota Batam yang terkenal dengan kota industri. Dilansir dari tribunbatam.id, Senin (1/5/2023). Ribuan buruh di Kota Batam menggelar aksi damai dengan berjalan kaki dari Panbil menuju Kantor Wali Kota Batam di Batam Center. Dalam aksi tersebut, buruh di Batam membawa lima tuntutan untuk pemerintah pusat dan pemerintah Kota Batam. Adapun lima tuntutan buruh di Kota Batam di antaranya. Pertama, meminta agar pemerintah mencabut Omnibus Law UU No. 6 Tahun 2023 karena secara garis besar merugikan pihak pekerja. Kedua, meminta agar pemerintah mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Hal ini karena dinilai para pekerja rumah tangga masih rentan terhadap perlakuan diskriminasi, ekploitasi dan tindakan kekerasan. Ketiga, meminta agar pemerintah mencabut Perlementary Treshold 4 persen (UU No.7 tahun 2017 pasal 414 dan 415). Keempat, menolak RUU Kesehatan. Dalam RUU ini masuknya tenaga kesehatan dari asing sebagai lahan investasi atau non-investasi akan membuat tersingkirnya tenaga kesehatan Indonesia. Kelima, meminta agar pemerintah meningkatkan pelayanan air bersih dan energi listrik, karena hal ini berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.
Berbagai kebijakan yang bergulir di tengah para buruh saat ini cukup menyedihkan. Apalagi setelah adanya realisasi UU Cipta Kerja yang banyak mendapat penolakan dari berbagai pihak. Sebab, UU tersebut lebih memihak kepada para pengusaha dan merugikan nasib buruh.
Akar Permasalahan
Tuntutan para buruh selalu menggelegar namun tak pernah kelar hingga ke akar-akarnya. Sebab, sejak awal penetapan upah minimum sudah keliru. Ya, dari namanya saja sudah upah minimum yang berarti hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan hidup yang perhitungannya berdasarkan perhitungan kebutuhan hidup paling minim bagi setiap individu. Bagaimana bisa buat menabung dan mempersiapkan bekal di masa depan, sementara pendapatan yang diperoleh selalu habis alias pas-pasan.
Dalam sistem saat ini yakni kapitalisme, upah buruh ditetapkan berdasarkan kebutuhan hidup minimum yang biasa disebut dengan kebutuhan hidup layak (KHL). KHL adalah tolok ukur atau standar kebutuhan seorang pekerja atau buruh yang berstatus lajang untuk dapat hidup layak secara fisik dalam satu bulan. KHL inilah yang menjadi dasar penetapan upah minimum bagi buruh yang disesuaikan setiap tahun dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi, yaitu berjalan sesuai dengan tingkat inflasi nasional.
Tentunya dengan penetapan seperti ini, tidak memberikan keadilan dan kesejahteraan hidup. Ilustrasinya sangat sederhana seperti buruh berstatus lajang dengan buruh berstatus sudah menikah dan memiliki anak, tentu kebutuhannya berbeda.
Belum lagi diperparah dengan naiknya biaya kebutuhan hidup, baik berupa bahan makanan pokok, biaya pendidikan, biaya kesehatan, BBM, dan tarif dasar listrik. Maka tidak heran, para buruh berusaha keras untuk menyuarakan tuntutannya kepada para penguasa agar menemukan titik terang yakni kesejahteraan.
Sistem Upah dalam Islam
Syariat Islam mengatur dengan jelas akad ijarah antara pekerja dan pengusaha. Baik besaran upah kerja, jenis pekerjaan, waktu pekerjaan yang merupakan akad berdasarkan keridaan dari kedua belah pihak. Tidak boleh ada yang merasa terpaksa atau dirugikan satu sama lainnya.
Dalam syariat Islam, menetapkan besaran upah buruh berdasarkan manfaat tenaga pekerja bukan kebutuhan hidup paling minimum. Berbeda dengan sistem hari ini. Dalam hal kontrak kerja pun juga harus disepakati masalah waktu, upah, tenaga, dan jenis pekerjaannya. Tidak boleh dipersulit, mana yang merupakan hak-hak pekerja wajib dipenuhi sebelum keringatnya kering. Ada kesepakatan terkait gaji pekerja, baik harian, mingguan, atau bulanan. Tidak dibenarkan saling menzalimi atau membebani pekerja dengan pekerjaannya di luar kapasitasnya.
"Apabila salah seorang di antara kalian mengontrak (tenaga) seorang pekerja, hendaknya diberitahukan kepadanya upahnya." (HR Ad-Daruquthni)
Dikatakan dari Abdullah bin Umar, Rasulullah saw. bersabda, "Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya." (HR Ibnu Majah dan ath-Thabarani)
Untuk problem yang dihadapi saat ini, maka dalam pandangan Islam akan diselesaikan dengan menghadirkan seorang pakar yang ditunjuk oleh negara untuk menyelesaikan permasalahan buruh. Negara wajib hadir untuk bertanggung jawab dan memastikan bahwa setiap individu sejahtera dengan pembagian distribusi kekayaan secara adil dan merata kepada seluruh masyarakat.
Wallahua'lam.
Via
Opini
Posting Komentar