Straight News
Cabut Larangan Ekspor Pasir Pantai, Siyasah Institute: Apakah Pemerintah Serius Lindungi Negara dan Rakyat?
TanahRibathMedia.Com—Pencabutan larangan ekspor pasir pantai yang dilakukan Jokowi melalui PP no 26 tahun 2023, setelah dua belas tahun dilarang di era Presiden Megawati mendapat tanggapan dari Direktur Siyasah Institute Iwan Januar.
"Apakah pemerintah berpikir serius melindungi negara ini dan rakyatnya?" ujarnya kepada Tanah Ribath Media, Selasa (30/5/2023).
Menurutnya, pembukaan kembali ekspor pasir laut yang berarti pembukaan kembali pertambangan pasir di pesisir memberikan dampak kerusakan yang besar kepada masyarakat secara ekosistem dan ekonomi.
"Banyak pihak dari kalangan pengamat lingkungan mulai Green Peace hingga mantan Menteri Kelautan Susi Pudjiastuti memprotes kebijakan ini. Ada beberapa sebab," ungkapnya.
Pertama, pengerukan pasir pantai akan merusak ekosistem di wilayah tambang. "Pantai yang menjadi habitat sejumlah satwa laut terancam berkurang bahkan punah," terangnya.
Kedua, keadaan ini akan berdampak pada terancamnya kehidupan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil yang menggantungkan hidup mereka pada laut di wilayah tambang tersebut. "Walhi mencatat, ekspansi pertambangan ke wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil telah mengakibatkan 35.000 keluarga nelayan kehilangan ruang hidup. Selain itu, ada 6.081 desa di pesisir yang kawasan perairannya tercemari limbah pertambangan," bebernya.
Ketiga, eksploitasi pasir laut akan menyebabkan kelangkaan pangan. Sebab, laut merupakan salah satu sumber pangan utama masyarakat Indonesia. "Walhi mencatat, ekspansi pertambangan ke wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil telah mengakibatkan 35.000 keluarga nelayan kehilangan ruang hidup. Selain itu, ada 6.081 desa di pesisir yang kawasan perairannya tercemari limbah pertambangan.
Keempat, penambangan pasir pantai juga akan memberikan ancaman abrasi pada kawasan wilayah pertambangan," jelasnya.
Tahun 2019, kata Iwan, TNI Angkatan Laut menyetop aktivitas pertambangan pasir darat di Pulau Citlim, Kecamatan Moro, Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau, karena dikhawatirkan akan membuat pulau itu tenggelam. Ada lagi Pulau Patah, Selat Mie, Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau, diujung tanduk.
"Dua belas tahun lalu, Pulau Sebaik di Karimun hilang dari peta karena tenggelam akibat pertambangan pasir darat yang tidak terkontrol," ungkapnya.
Bahkan penambangan pasir pantai di kawasan perbatasan juga mengancam garis batas perbatasan negara. "Sebagai contoh, Pulau Nipa di Kepulauan Riau nyaris tenggelam akibat masifnya pengerukan pasir pantai. Padahal, pulau ini menjadi salah satu tolak ukur perbatasan dengan negara tetangga Singapura," ungkapnya.
Lagipula pasir Indonesia dijual terlalu murah hanya 1,3 dollar Singapura per meter kubik, padahal seharusnya harga dapat ditingkatkan pada posisi tawar sekitar 4 dollar Singapura. "Dengan selisih harga itu, Indonesia rugi sekitar 540 juta dollar Singapura atau Rp 2,7 triliun per tahun (Kompas, 7/3/2002)," tegasnya.
"Belum lagi para pengusaha tambang sering memanipulasi laporan seperti mengaku menambah 100 ton, padahal realitanya 1000 ton," imbuhnya.
Makanya, ia mempertanyakan untuk keuntungan siapa sebenarnya pembukaan ekspor pasir laut ini? Banyak pihak menuding ini hanya menguntungkan pengusaha tertentu. Ditengarai kebijakan ini akan menjadi peluang bagi para elit politik untuk mencari rente sebagai pembiayaan pemilu eksekutif dan legislatif. Karena para pengusaha pertambangan pasir itu merasa berutang budi dengan pencabutan larangan ini.
"Kalau benar ini terjadi, lagi-lagi oligarki yang berkuasa di negeri ini, bukan rakyat. Demokrasi hanya alat kekuasaan penguasa dan pengusaha," pungkasnya.[] Achmad Mu'it
Via
Straight News
Posting Komentar