Opini
MinyaKita Bukan Minyak Kita
Oleh: Umi Hanifah
TanahRibathMedia.Com—Gonjang ganjing harga minyak goreng terus terjadi. Komoditas yang termasuk bahan dasar namun sering kali harga melambung. Bahkan beberapa waktu lalu sempat langka dan menyebabkan kegaduhan dengan aksi masyarakat yang rela antre berjam-jam untuk mendapatkannya.
Melambungnya harga minyak goreng kembali terjadi. Padahal pemerintah sudah mematok harga eceren tertinggi (HET) MinyaKita sebesar Rp14.000 per liter. Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, kemarin, harga MinyaKita mayoritas di atas harga HET, bahkan di Provinsi Gorontalo sebesar Rp 22.600 per liter.
Anggota Komisi VI DPR Amin Ak menilai pemerintah hanya sibuk mengatur sisi hilir atau pemasaran akhir dalam menciptakan harga minyak goreng terjangkau. Menurutnya, akar masalahnya klasik yakni berkurangnya pasokan bahan baku atau crude palm oil (CPO). Kelangkaan pasokan CPO seharusnya tidak terjadi apabila pengusaha sawit mematuhi kewajiban penyediaan domestic market obligation (DMO) (Tribunnews.com, 3/2/2023).
Permasalahan yang seharusnya segera bisa teratasi. Bukankah lndonesia merupakan produsen kelapa sawit terbesar di dunia? Adakah kemauan para pemegang kebijakan mengatasinya? Dan masih banyak pertanyaan di benak publik karena masalah tersebut berlarut-larut hingga mengakibatkan minimnya kepercayaan rakyat pada pemimpin.
Sementara itu, berdasarkan data United States Department of Agriculture (USDA), Indonesia dan Malaysia adalah produsen minyak sawit terbesar di dunia. USDA memproyeksikan produksi CPO Indonesia bisa mencapai 45,5 juta metrik ton (MT) pada periode 2022/2023, dan produksi CPO Malaysia 18,8 juta MT. Jika digabungkan, duo Indonesia-Malaysia menguasai 83% dari produksi CPO global, yang totalnya diperkirakan mencapai 77,22 juta MT pada periode 2022/2023 (Katadata.co.id, 10/01/2023).
Inillah ironi hidup yang diatur kapitalisme, kebutuhan dasar yang seharusnya tersedia mudah dan murah, tetapi justru membuat susah. Masalah minyak goreng/migor ini seolah menunjukkan kegagalan penguasa mengatur urusan masyarakat. Indonesia sebagai lumbung sawit ternyata menyerahkan pengelolaannya kepada swasta atau individu, tentu merekalah yang mendapat keuntungan.
Di sisi lain, kursi kekuasaan yang memerlukan dana besar menjadikan pengusaha punya kesempatan menyediakan modalnya bagi mereka yang ingin meraihnya. Tentu dalam sistem ini tidak ada makan siang gratis. Pengusaha dengan mudah akan menekan penguasa guna memudahkan kepentingannya sebagai politik balas budi.
Terbukti MinyaKita bukan untuk masyarakat kita. Hal ini bisa dikatakan sebagai kebijakan tambal sulam yang membingungkan dan menyusahkan. Oleh karena itu, harus ada solusi agar masalah yang sebenarnya sederhana tetapi rumit bin sulit ketika berada dalam sistem ini.
Berbeda dengan sistem lslam dalam mengatur migor. Migor adalah kebutuhan dasar yang harus dipenuhi negara, karena negara adalah pihak yang bertanggung jawab memenuhi kebutuhan dasar rakyat. Penguasa juga harus memastikan bahan baku mencukupi sejak dari petani sawit dengan memberikan kemudahan pengembangan teknologi terbaru, pupuk murah hingga gratis, kondisi air lancar, perbaruan lahan dan lainnya.
Wajib juga bagi penguasa memudahkan distribusi migor ke pelosok wilayah, dengan menyediakan jalan yang baik, kendaraan yang bagus, aman dari pungutan liar dan lainnya. Serta memastikan tidak ada penimbunan migor. Ditambah adanya sanksi jika ada yang melanggar kebijakan. Sanksi yang tegas bagi siapa saja tidak pandang bulu. Sanksi berupa takzir yaitu sesuai ijtihad pemimpin, misal dengan penjara, denda, cambuk dan lainnya sesuai kadar pelanggarannya.
Sanksi dimaksudkan agar ada efek jera bagi pelaku dan yang lain untuk tidak menirunya. Dengan mekanisme yang sesuai syariat, migor akan bisa dimiliki dan dinikmati rakyat, kehidupan bisa berjalan tenang dan berkah.
Allahu a’lam
Via
Opini
Posting Komentar