Opini
Anggaran Hanya 0,6%, Mampukah Indonesia Swasembada Pangan?
Oleh: Yetti
TanahRibathMedia.Com—Pemerintah berencana memperkuat ketahanan pangan Indonesia dengan menaikkan anggaran pangan 2024 sebesar 104,3 triliun rupiah hingga 124,3 triliun rupiah. Anggaran tersebut naik dibandingkan anggaran tahun ini yaitu sebesar 104,2 triliun rupiah (republika.co.id, 4-6-2023). Namun, angka ini ternyata hanya 0.6% dari total anggaran negara.
Berdasarkan Global Food Security Index, indeks ketahanan pangan Indonesia berada di level 60,2 pada 2022. Indeks ketahanan pangan GFSI diukur berdasarkan keterjangkauan harga pangan, ketersediaan pasokan, kualitas nutrisi, dan keberlanjutan serta adaptasi. Harga pangan di Indonesia cukup terjangkau, skor affordabilitas Indonesia yang mencapai 81,4. Namun, ketersediaan pasokan pangan Indonesia dinilai kurang baik dengan skor 50,9. Kualitas nutrisi juga hanya mendapat skor 56,2, sedangkan keberlanjutan dan adaptasi skornya 46,3. Di tiga indikator ini, ketahanan Indonesia dinilai lebih buruk dibanding rata-rata negara Asia Pasifik (Katadata.co.id, 2 Juni 2023).
Inilah permasalahan Indonesia, krisis ketersediaan dan kualitas pangan adalah masalah yang tak kunjung usai. Padahal Indonesia dulunya adalah negara agraris yang dijuluki negeri Zamrud Khatulistiwa. Indonesia mempunyai ketersediaan lahan pertanian yang sangat luas serta tanahnya yang subur karena mempunyai curah hujan dan intensitas matahari yang tinggi. Ditambah lagi jumlah penduduknya yang besar sehingga tidak kekurangan sumber daya manusia untuk menggarap lahan pertanian. Namun ironisnya, saat ini Indonesia krisis ketersediaan pangan dan pemenuhannya pun sangat bergantung pada impor luar negeri.
Krisis ketersediaan pangan merupakan permasalahan yang urgent dan serius karena kedaulatan pangan merupakan salah satu pilar penyusun ketahanan sebuah negara. Namun pemerintah menyikapinya seolah-olah krisis ini seperti masalah sepele. Pemerintah terus melakukan impor dan baru-baru ini mendorong masyarakat untuk melakukan keberagaman konsumsi pangan untuk memperkuat ketahanan pangan nasional dengan menerbitkan Perbadan No.11 Tahun 2023 (republika.co.id, 4-6-2023).
Sedangkan masalah utama ketersediaan pangan dalam negeri tidak menjadi fokus perhatian pemerintah. Padahal masih banyak persoalan di lapangan yang harus menjadi sorotan pemerintah untuk meningkatkan produksi pangan seperti kurangnya modal masyarakat, mahalnya pupuk, minimnya sarana dan prasarana yang mendukung distribusi, jeratan para tengkulak, kurangnya penerapan teknologi canggih pertanian, rendahnya minat generasi muda untuk berkarir di sektor pertanian serta jatuhnya harga panen ketika pangan impor menguasai pasar.
Sejatinya, persoalan Indonesia bukanlah pada pangan yang tidak beragam akan tetapi pada pengelolaan pangan yang belum maksimal. Semua ini tentu terjadi karena kebijakan pangan di negeri ini bertumpu pada sistem ekonomi neo-liberal yang condong pada kepentingan pemilik modal. Sistem inilah yang menjadi biang karut-marutnya pengelolaan pangan negeri ini karena melegalkan kapitalisasi dan liberalisasi seluruh sektor yang menjadi kebutuhan hidup rakyat termasuk sektor pertanian. Sehingga para korporasi raksasa dengan mudah dan cepat menguasai lahan pertanian negeri ini serta menggalakkan impor pangan untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya.
Pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab mensejahterakan rakyat dan menjamin kedaulatan pangan nasional, tetapi malah sibuk memfasilitasi dan menyiapkan regulasi untuk memenuhi ambisi rakus para kapital besar. Oleh karenanya, anggaran pangan tidak menjadi prioritas pemerintah dalam APBN, kalaupun ada sangat terbatas dan tidak mampu membawa Indonesia menjadi negara yang swasembada pangan.
Ketahanan dan kedaulatan pangan negara hanya akan tercapai dengan menerapkan sistem Islam yang kafah. Politik ekonomi Islam memandang pangan adalah salah satu kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi negara. Daulah bertanggung jawab menjamin berjalannya proses produksi dan menjaga stok pangan untuk terwujudnya swasembada pangan.
Daulah akan memaksimalkan produktivitas lahan dan produksi hasil pertanian masyarakat. Produktivitas lahan dilakukan dengan optimalisasi pemanfaatan lahan subur, memanfaatkan tanah yang ditelantarkan dan menghidupkan kembali tanah-tanah mati. Sedangkan produksi pertanian ditingkatkan dengan menggunakan teknologi-teknologi mutakhir dan melibatkan generasi-generasi muda untuk memajukan sektor pertanian. Pemerintah melalui baitulmal membangun sarana-prasarana lengkap dan canggih untuk menjamin distribusi hasil pertanian yang adil dan merata. Pemerintah menetapkan mekanisme pasar yang sehat dan melarang praktik penimbunan barang dan monopoli.
Kebijakan pengendalian harga dilakukan melalui mekanisme pasar dengan mengendalikan suplai pangan bukan dengan kebijakan harga. Selain itu negara menyelenggarakan pelatihan dan kursus pengembangan para petani sehingga keberlanjutan kemajuan sektor pertanian tetap terjaga. Daulah akan terus mendorong produktivitas dan kualitas pertanian, sehingga targetnya tidak hanya menjadi negara yang swasembada pangan tetapi juga menjadi bagian dari negara-negara eksportir dunia.
Kebijakan Daulah yang tak kalah pentingnya adalah mencegah masuknya tangan-tangan asing dalam pengelolaan bidang pertanian baik lewat industri-industri pertanian asing maupun melalui perjanjian multilateral seperti WTO, FAO, dan lain sebagainya karena ini sangat membahayakan kedaulatan pangan negara. Jika terjadi keadaan darurat sehingga Daulah harus melakukan kegiatan impor pangan, maka Daulah akan terikat dengan kebijakan perdagangan luar negeri syariat Islam. Daulah hanya boleh melakukan transaksi dengan negara-negara yang tidak memerangi Islam dengan perjanjian-perjanjian tertentu dan melarang keras melakukan transaksi dengan negara-negara yang nyata memerangi Islam seperti Amerika dan Israel. Wallahu a’alam.[TRM/Nai]
Via
Opini
Posting Komentar