Opini
Dewasa di Pemilu: Tanpa Politik Identitas dan Agama
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
(Institut Literasi dan Peradaban)
TanahRibatahMedia.Com—Peringatan Hari Lahir Pancasila pada tanggal 1 Juni 2023 lalu di Monumen Nasional Jakarta Pusat, dengan Presiden Joko Widodo bertindak sebagai pemimpin upacara. Dalam pidatonya beliau mengajak rakyat Indonesia menolak politisasi identitas dan agama. Jokowi ingin seluruh rakyat menyambut Pemilu 2024 dengan kedewasaan hingga suka cita. Dengan memegang teguh nilai-nilai Pancasila. Memperjuangkan Indonesia yang adil, yang sejahtera, serta berwibawa di kancah Indonesia.
"Saudara-saudara sebangsa, se-Tanah Air. Toleransi, persatuan, dan gotong royong adalah kunci membangun bangsa yang kokoh," kata Jokowi. Oleh sebab itu, saya mengajak kita semuanya untuk menolak ekstremisme, menolak politisasi identitas, menolak politisasi agama."
Siapa Gaduh, Siapa Tertuduh
Pemilu masih 2024, satu tahun lagi, tetapi tak bisa dinafikan para pejabat, ulama, pemimpin partai, aktivis, tim sukses hingga pengamat politik sudah gaduh, berbagai survei digelar, kampanye terselubung sah tanpa penolakan berarti, lobi-lobi, koalisi, dan masih banyak lagi aktivitas menjelang pemilu seolah takut tertinggal atau terlupa.
Di sisi lain, rakyat hanya menjadi penonton, sembari menghela nafas menahan beratnya beban hidup, harga bahan pokok terus merangkak naik, biaya sekolah mahal, dan lain-lainya yang memorak-porandakan pendapatan harian ataupun bulanan. Namun, ternyata yang mendapat himbauan untuk tak membuat gaduh adalah rakyat.
Sembari mengajak menolak ekstremisme, menolak politisasi identitas, menolak politisasi agama. Seolah benar, penyebab rakyat menderita adalah sebutan-sebutan di atas, padahal jelas semuanya hanya rekayasa, siapapun tahu di mana letak persoalan utamanya. Namun, cukup menarik juga pernyataan presiden dengan mengatakan dewasa di pemilu sama artinya tanpa politik identitas dan agama. Benarkah sikap dewasa justru ditunjukkan dengan membuang keduanya?
Politik identitas adalah saat para elite politik menggunakan kesamaan suku, agama, ras, dan etnik untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat. Yang ditakutkan adalah dampak dari politik identitas, yaitu akan menggiring opini publik bahwa orang yang tidak beridentitas sama dengan mereka tidak pantas untuk menjadi pemimpin. Ini tentu saja menyebabkan kaum minoritas akan kehilangan hak yang sama dalam pemerintahan negara, khususnya dalam ranah pemilu maupun pemilihan.
Terutama jika yang digunakan berpolitik adalah identitas agama. Di mana mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, jelas akan "membunuh" agama minoritas yang juga diakui di negeri ini.
Islam Adalah Identitas Hakiki
Meski dampak yang dikhawatirkan belum pernah terjadi di pemilu yang digelar di negeri ini, tetapi cukup menyeret luka perih bagi kaum muslim. Sebab, sejatinya secara tak langsung ajakan itu mengarah kepada kelompok pengusung Islam yang bertentangan dengan demokrasi. Mereka yang mengkampanyekan politisasi identitas, politisasi agama dan lain sebagainya nyata-nyata munafik.
Sebab, nyata-nyata mereka memanipulasi identitas bahkan agama/keyakinan mereka dengan mengusung calon dari kalangan radikal-sekuler anti Islam, bahkan berasal dari kalangan nonmuslim (kasus Ahok). Namun, setiap menjelang pilpres/pilkada calon-calon yang mereka dukung itu sering mendadak islami. Memakai atribut Islam seperti sarung, baju koko dan peci, kerudung dan berjilbab.
Kemudian berlanjut sang calon rajin berkunjung ke pesantren-pesantren, bertemu kiai, melakukan ibadah ritual, seolah ingin menunjukkan kesalehan pribadinya. Padahal, sehari-hari justru berperilaku sebaliknya. Ketika mereka mengambil Islam sebagai identitas, bukankah itu artinya mereka memandang baik Islam, dan masyarakat masih memiliki perasaan Islam. Lantas untuk apa larangan mengambil identitas Islam?
Selain mereka terbukti bersikap munafik, mereka ingin umat Islam meninggalkan kacamata Islam sebagai standar memilih pemimpin. Padahal Allah Swt. telah berfirman yang artinya, "Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara menyeluruh dan janganlah ikuti langkah-langkah setan! Sungguh ia musuh yang nyata bagi kalian." (TQS Al-Baqarah: 208).
Imam al-Qurthubi di dalam kitab tafsirnya, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, menjelaskan makna kâffah di dalam ayat ini: Pertama, menyeluruh, yakni meliputi seluruh ajaran Islam. Kedua, menolak yang lain, di luar Islam. Dengan kata lain, orang yang telah memeluk Islam wajib mengambil Islam secara menyeluruh dan menolak yang lain selain Islam. Sama artinya kaum muslim haram meninggalkan Islam sebagai identitasnya dalam situasi apapun. Ketika urusan ekonomi, sosial, pendidikan, politik, pemerintahan dan lainnya, apalagi memilih pemimpin, sebab pemimpin itulah yang nantinya akan mengurusi urusan orang banyak.
Jika pemimpin itu salah mengambil kebijakan, apalagi jika kebijakan yang diambil bukan berasal dari Islam tentulah penderitaan yang dirasakan, sebagaimana hari ini. Sebab sekularisme yang diadopsi pemimpin negeri ini jelas bukan dari Islam. Di dalam Islam, ada mekanisme muhasabah lil hukam (memberi nasihat jika pemimpin melakukan kesalahan) oleh karena setiap muslim adalah politisi, sebab, politik dalam Islam bermakna mengurusi urusan umat dengan syariat. Hal ini memastikan setiap muslim paham agamanya secara mendalam dan menyeluruh.
Sebagai kesimpulan, ajakan presiden untuk bersikap dewasa dalam pemilu dengan meninggalkan identitas politik (Islam) adalah sebuah kebodohan dan kemustahilan, sebab, bersikap dewasa adalah yakin memilih yang benar berdasarkan dalil, bukan hawa nafsu. Bagi muslim, itu artinya syariat harga mati.
Wallahu a'lam bisshawwab.
Via
Opini
Posting Komentar