Opini
Estafet Kepemimpinan Islam
Oleh: Ummu Hasan Al-Fatih
TanahRibathMedia.Com—Presiden Jokowi menyebutkan pentingnya keberlanjutan kepemimpinan layaknya lari estafet. Dugaan kalau pernyataan tersebut untuk endorse salah satu capres pun mencuat (liputan6.com, 17-6-2023).
Tidak salah memang jika estafet kepemimpinan dilanjutkan atau diserahkan kepada pemimpin selanjutnya agar apa yang menjadi agenda atau program bisa berkesinambungan sehingga pembangunan atau program tersebut bisa menampakkan keberhasilan dan bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat
Bukan Estafet Kapitalisme
Sebagian masyarakat mungkin sudah paham bahwa saat ini kepemimpinan di seluruh dunia dikuasai oleh sistem kapitalisme sekuler. Tentu sudah tak asing pula bahwa sistem demokrasi adalah sistem yang diemban oleh pemerintahan dengan melibatkan seluruh rakyat untuk memerintah yakni melalui wakilnya.
Sayangnya, dalam kapitalisme demokrasi, wakil rakyat tidak lebih dari sekadar istilah, apakah perannya murni untuk kepentingan rakyat ataukah ada kepentingan lain. Maka tidak heran bila timbul pertanyaan, apakah melanjutkan estafet kepemimpinan untuk kepentingan rakyat atau demi kepentingan para kapital yang ingin mengukuhkan cengkeramannya.
Kepemimpinan yang berkesinambungan memang sesuatu hal yang penting. Apalagi banyak agenda yang belum terealisasi pada masa pemimpin sebelumnya. Namun, jangan sampai ketika tongkat estafet dilanjutkan, berlanjut pula cengkeraman kapitalis sekularisme yang membuat rakyat makin terpuruk. Harapan untuk sejahtera menjadi sebuah ilusi, sebaliknya kesenjangan sesuatu yang lumrah terjadi.
Kepemimpinan Islam
Dalam Islam, sebuah kepemimpinan adalah amanah dan sebuah amanah akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah Swt.. Seorang suami bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya yakni keluarga, seseorang istri bertanggung jawab terhadap rumah tangganya, menjaga nama baik suami dan juga hartanya. Seseorang pun akan dimintai pertanggungjawaban terhadap dirinya sendiri.
Begitu pula seorang pemimpin. Dalam Islam, seorang pemimpin dipilih berdasarkan tuntunan Islam yakni berdasarkan Al-Qur’an dan Sunah serta Ijma’. Seorang pemimpin tidak dipilih karena asas manfaat atau kepentingan dan pesanan pihak tertentu, apalagi mencalonkan diri, sementara kualitas diri jauh dari pemimpin sejati yang taat pada aturan Ilahi.
Rasulullah saw. pun telah mengingatkan agar manusia tidak meminta dijadikan pemimpin atau meminta jabatan. Ini karena tanggung jawab seorang pemimpin di dunia dan akhirat sangat berat.
Dari Abdurrahman bin Samurah, Rasulullah saw. bersabda, "Wahai Abdurrahman, janganlah kamu meminta jabatan, sebab jika kamu diberi jabatan karena permintaan maka tanggung jawabnya akan dibebankan kepadamu. Namun, jika kamu diangkat tanpa permintaan, maka kamu akan diberi pertolongan." (HR Muslim)
Khatimah
Estafet kepemimpinan pernah dicontohkan oleh kepemimpinan Rasulullah saw. yang kemudian dilanjutkan oleh para khalifah setelah beliau wafat. Namun, kepemimpinan tersebut adalah kepemimpinan sahih berdasarkan aturan syariat yang berhukum kepada Al-Qur’an dan Sunah Rasulullah saw. yang terbukti memberikan kesejahteraan dan keberkahan.
Sudah menjadi sunatullah bahwa sistem Islam melahirkan keteraturan karena bersumber dari Allah Swt., Sang Pembuat hukum. Islam membentuk karakter takwa pada semua elemen individu, masyarakat, dan negara. Oleh karena itu sudah sepatutnya kepemimpinan ala Rasullullah diperjuangkan dan dikembalikan kembali sebagaimana mestinya dan membuang kepemimpinan yang bertentangan dengan syariat-Nya.
Wallahua’lam bisshawwab.[TRM/Nai]
Via
Opini
Posting Komentar