Opini
Kekerasan Seksual terhadap Anak Tinggi, Negara Gagal Memberi Solusi?
Oleh: Inka Armadhani
(Pemerhati Generasi)
TanahRibathMedia.Com—Indonesia darurat kekerasan seksual terhadap anak. Itulah gambaran yang sekiranya mewakili situasi saat ini, yang mana kasus penyimpangan seksual nyaris terjadi setiap saat. Pemberitaannya di mana-mana, baik di televisi, media cetak, maupun media sosial.
Pemerhati Anak dan Pendidikan, Retno Listyarti meminta kepolisian menelusuri dugaan prostitusi anak dalam kasus yang menimpa gadis berusia 15 tahun di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Pasalnya, para pelaku melancarkan aksinya dengan mengiming-imingi korban mendapatkan pekerjaan dan uang. Hingga Selasa (30/05) Polda Sulawesi Tengah telah menahan lima tersangka dari 11 terduga pelaku dan memeriksa sejumlah saksi. Meski demikian hasil penyelidikan belum mengungkap motif para pelaku (bbc.com, 31-5-2023).
Kasus kekerasan seksual masih saja terjadi, meski telah diterapkannya sederet undang-undang yang katanya mencegah dan menangani kekerasan seksual, termasuk pada anak. Faktanya justru makin menjadi, bahkan korban kerap mendapatkan perlakuan tidak senonoh dari beberapa pelaku dalam waktu yang hampir bersamaan. Berdasarkan catatan KemenPPA, sepanjang Januari-Mei 2023 saja, kekerasan seksual terhadap anak mencapai 4.280 kasus.
Sungguh memilukan, belum genap setengah tahun, tetapi angkanya hampir mencapai 5.000 kasus. Jumlah sebanyak ini baru terhadap anak, belum lagi data yang melaporkan kekerasan seksual yang terjadi terhadap wanita di luar sana. Memang banyak, sehingga harus segera dituntaskan sebelum memakan korban yang lebih banyak lagi.
Sejauh ini beragam upaya telah dilakukan seperti edukasi, termasuk pemerintah yang terus mengevaluasi kebijakan. Sayangnya, tetap tidak mengubah apa pun. Jika demikian, sudah pasti masalahnya tidak sederhana, tidak berdiri sendiri, melainkan antara satu faktor dengan yang lainnya saling mengikat, sehingga membentuk persoalan kekerasan seksual level "darurat".
Sekilas kesalahan individu pelaku memang yang paling terlihat. Hanya saja, dalam kasus ini seseorang akan memberikan respon ketika ada stimulus yang mendorongnya. Sebut saja pelaku mendapat dorongan untuk melakukan kejahatan seksual karena ada yang merangsangnya. Seperti melihat aurat wanita, juga tontonan media yang menayangkan konten-konten negatif. Apalagi jika pribadi tidak memiliki standar benar-salah, halal-haram dalam melakukan setiap perbuatan, sudah pasti merasa bebas mengekspresikan keinginan hawa nafsunya.
Dari sisi pendidikan juga turut memberi andil. Buruknya sistem pendidikan yang ada, yakni tidak lagi menempa manusia menjadi insan beriman, bertakwa, dan berkarakter, sebaliknya justru memaksakan pemahaman materialistik dan liberal, sehingga output pendidikan menjadi manusia yang tidak bisa diatur, bebas, dan gemar membuat masalah. Sangat disayangkan, jika kasus seksual yang marak saat ini juga berasal dari lingkungan pendidikan.
Selain itu, sistem sanksi yang diterapkan oleh negara sangat lemah sehingga gagal total memberantas kejahatan seksual dalam negeri. Kebijakannya yang sekadar sanksi moral, denda, hingga penjara, terbukti tidak memberikan efek jera kepada para pelaku. Alhasil, tidak mencegah orang lain melakukan hal serupa, bahkan orang yang sama. Rasanya tidak berlebihan jika publik menilai regulasi yang berlaku memberi peluang besar atas berulangnya kasus ini.
Sudah jelas bahwa persoalan panjang kekerasan seksual bukan karena kesalahan orang per orang semata, melainkan terstruktur/sistemis. Indonesia yang mengadopsi sistem batil, kapitalisme-sekuler seolah memelihara kejahatan yang terjadi. Asasnya yang memisahkan agama dari kehidupan telah menjadikan siapa saja yang hidup di dalam naungannya hidup bebas berbuat apa pun dan di mana pun. Agama tidak lagi menjadi sandaran mereka, sebaliknya bebas berekspresi demi kepuasan nafsu sendiri.
Begitu pula negara yang lahir darinya, enggan mengambil syariat agama untuk mengatur rakyatnya. Dengan kondisi seperti ini, kemaksiatan seolah lumrah dan tidak perlu mendapat sanksi. Maka, selama mengandalkan aturan produksi manusia untuk mengatasi masalah kehidupan, selama itu pula tidak akan menyolusi, termasuk kasus kekerasan seksual terhadap anak.
Lain halnya dengan Islam yang keberadaannya bukan hanya sebagai agama, melainkan juga ideologi yang memuat seperangkat aturan untuk menyelesaikan seluruh persoalan kehidupan manusia. Ketika ada suatu masalah yang terjadi, maka sesungguhnya Islam sudah menyediakan solusinya yang tepat dan benar sebagaimana sesuai dengan Al-Qur’an dan as-Sunnah.
Dalam Islam, setiap orang memiliki hak mendapatkan perlindungan dari negara atas keamanan dan kehormatan jiwa, termasuk seorang anak yang nantinya akan menjadi penerus bangsa. Negara akan memberikan perlindungan yang maksimal kepada mereka. Tentu saja tidak instan, melainkan dengan langkah-langkah yang terstruktur.
Pertama, negara wajib menanamkan akidah Islam kepada seluruh masyarakatnya agar senantiasa terikat dengan aturan Islam ketika menjalankan kehidupannya.
Kedua, negara menutup rapat-rapat pintu masuknya konten yang tidak mendidik di tengah-tengah masyarakat. Dengan begitu, akan mencegah salah satu pendorong hasrat seksual yang melihatnya. Negara juga melarang wanita untuk mengumbar auratnya dan memerintahkan laki-laki menundukkan pandangannya atas landasan iman.
Ketiga, pendidikan Islam yang bertujuan melahirkan generasi-generasi yang beriman dan bertakwa, akan didukung oleh kurikulumnya yang Islami pula. Sistem pendidikannya didesain dalam rangka membentuk kepribadian Islam dalam setiap individu pelajarnya, memiliki pola pikir dan pola sikap yang merujuk kepada perintah dan larangan-Nya.
Adapun dalam Islam, hukuman yang diberikan kepada para pelaku kejahatan seksual sangat berat. Oleh karena perilaku ini sama halnya dengan zina, maka bagi pelaku yang belum menikah dicambuk sebanyak 100 kali dan jika pelakunya sudah menikah maka berupa rajam hingga mati. Dengan sistem sanksi yang berat seperti itu akan memberikan efek jera kepada para pelaku sekaligus memberi pelajaran bagi orang lain agar tidak melakukan perbuatan serupa.
Jika masih berpegang pada sistem kapitalisme-sekuler, maka selama itu pula tidak akan pernah terlepas dari persoalan kekerasan seksual. Sebaliknya, ketika Islam itu diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan manusia niscaya akan menyelesaikannya sampai tuntas. Tentu saja penerapan ini bukan melalui negara dengan sistem kapitalis sekularisme, melainkan negara Islam yang mewajibkan penerapan syariah secara total. Waallahua’lam bishawwab. [TRM/Nai]
Via
Opini
Posting Komentar