Opini
Kemiskinan di Papua Masih Menyisakan PR Besar Bagi Pemerintah Indonesia
Oleh: Pudji Arijanti
(Aktivis Literasi untuk Peradaban)
TanahRibathMedia.Com—Dikutip dari Antara, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Theofransus Litaay memberi klaim bahwa kemiskinan di Papua turun dalam kurun waktu 10 tahun terakhir pada pemerintahan Presiden Jokowi. Hal ini ditilik dari hasil pembangunan secara objektif di Papua banyak peningkatan dari aspek Indeks Pembangunan Manusia (IPM), penurunan angka kemiskinan, dan meningkatnya angka harapan hidup (CNN Indonesia, 11-6-23).
Memang benar secara angka, tingkat kemiskinan di Papua mengalami penurunan signifikan, yakni dari 28,17 persen di Maret 2010 menjadi 26,56 persen di 2022 (CNN Indonesia, 11-6-23). Theofransus menuturkan, beberapa kali Kabupaten/Kota telah melampaui IPM Nasional yang berada pada angka 72,29, yakni Kota Jayapura 80,61, Kabupaten Mimika 75,08, Kabupaten Biak Numfor 72,85, dan Kota Sorong 78,98.
Sebenarnya penurunan kemiskinan tersebut malah menyisakan PR besar mengingat penurunan tersebut jangkanya dalam waktu 10 tahun. Juga sumber daya alam yang ada di Papua melimpah ruah. Belum lagi masyarakat Papua yang berada di timur Indonesia menyimpan banyak persoalan yang tak kunjung mendapatkan solusi. Selain kemiskinan, keterbelakangan pendidikan, kesejahteraan yang tidak merata. Bahkan terdapat gerakan separatisme makin lama kian mengkhawatirkan yakni KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata) yang hingga kini masih belum bisa ditaklukkan oleh aparat pemerintah.
Konflik rakyat Papua bermuara kepada keinginan Papua untuk melepaskan diri dari Indonesia karena alasan tidak adanya pengembangan secara signifikan dalam bidang pendidikan dan ekonomi. Bahkan yang paling menyedihkan adalah adanya kemiskinan ekstrem, angka stunting yang tinggi (masalah gizi kronis akibat kurangnya asupan gizi dalam jangka waktu yang panjang), minimnya akses kesehatan bagi masyarakat terpencil, kurangnya sarana dan prasarana air bersih yang layak, dan sebagainya.
Mengapa Papua tertinggal jauh dari daerah-daerah lain dan perubahan berjalan lamban. Padahal tanah Papua terkandung kekayaan alam yang luar biasa, bahkan di sana merupakan salah satu tambang emas terbesar di dunia yang dikelola oleh PT Freeport Indonesia. Jika ditambang, menghasilkan konsentrat yang mengandung tembaga, emas, dan perak. Sungguh, kondisi sebuah provinsi yang kaya dengan sumber daya alam nan melimpah. Selain kekayaan emas, terdapat pula hutan hujan tropis sebagai salah satu penyumbang paru-paru dunia dalam mengurangi kadar karbondioksida di udara. Dan masih banyak lagi kekayaan alam lainnya yang patut dipertanyakan, jika hingga kini masyarakat Papua mengalami memiskinan ekstrim. Ada pertanyaan besar mengapa demikian?
Sistem Ekonomi Kapitalisme Tidak Sempurna
Sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan di negeri ini membuat Papua tertinggal jauh karena perubahan berjalan lamban. Papua, dari tanahnya yang menghasilkan kekayaan alam seperti tambang emas, tembaga, dan logam lainnya, saat ini dikuasai oleh Freeport, perusahaan Amerika.
Sistem kapitalisme melahirkan pemimpin berjiwa pengusaha yang orientasi hidupnya pada keuntungan semata. Sumber daya alam yang seharusnya dikelola sendiri, malah diserahkan kepada swasta/asing atas nama investasi. Oleh karenanya, semua kebijakannya bukan untuk kemaslahatan umat, melainkan berdasarkan untung dan rugi. Kebijakan sistem ekonomi kapitalis mengarah kepada permintaan para pemilik modal, karena sejatinya merekalah penguasa sesungguhnya yang berlindung dalam sistem demokrasi dan undang-undang untuk kepentingan mereka. Rakyat sejahtera hanya sebuah ilusi belaka.
Sistem Sahih
Sejatinya kesejahteraan mudah diwujudkan asalkan sistem yang mengaturnya adalah sistem ekonomi Islam dan sistem politik Islam. Dengan sistem buatan Allah ini, sumber daya alam tidak akan dikuasai asing dan pembangunan di Papua pun mendapatkan prioritas yang sama dengan daerah lain.
Karena sesungguhnya sistem ekonomi Islam mengatur seluruh kekayaan alam seperti air, hutan, api (apa-apa yang ada di perut bumi) dikategorikan kepemilikan umum (milkiyyah ‘ammah). Negara berkewajiban mengelolanya untuk dikembalikan kepada rakyat berupa fasilitas gratis dalam layanan pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan sebagainya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda "Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api." (HR. Abu Dawud).
Sedangkan sistem politik Islam adalah sebuah langkah untuk menentukan sikap dan arah yang sahih agar hukum-hukum Allah tegak di muka bumi. Hal ini menunjukkan bahwa kekuasaan tersebut mutlak milik Allah. Dengan demikian, seorang pemimpin atau khalifah akan menjadi pengurus urusan rakyatnya, dia bertanggung jawab atas urusan/keselamatan rakyatnya.
"Imam (khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR Bukhari)
Setiap mengambil kebijakan politik baik di dalam ataupun di luar negeri seorang khalifah berorientasi kepada perintah dan larangan Allah dengan arti kata standar dalam kepemimpinannya adalah syariat Islam. Dalam kepemimpinan Islam, haram hukumnya menyerahkan pengelolaan sumber daya alam kepada negara asing apalagi negara kafir.
Antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah saling terhubung. Jika terdapat jalan-jalan rusak tidak ada istilah jalan nasional, provinsi, atau kabupaten. Semua terhubung dengan wilayah negara Islam.
Wilayah negara Islam adalah wilayah kekuasaan khalifah. Tak satupun wilayah yang tidak terurus, tidak ada kemiskinan di satu wilayah, tetapi wilayah lain menghasilkan kekayaan. Khalifah akan berlaku adil dan merata dalam mendistribusikan kebutuhan ke setiap wilayah yang membutuhkan. Baik sandang, pangan, hingga infrastruktur sehingga tidak memunculkan kecemburuan sosial yang dapat memunculkan separatisme. Semua diatur secara seksama dengan politik Islam. Wallahu a’lam bisshawab. [TRM/Nai]
Via
Opini
Posting Komentar