Opini
Tingkat Baby Blues Tinggi, Siapa yang Salah?
Oleh: Sunaini, S.Pd.
TanahRibathMedia.Com—Salah satu tujuan dari menikah adalah untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Untuk meraih tujuan pernikahan tentunya, sebagai calon pasutri harus membekali diri dengan ilmu terkait pernikahan, bagaimana cara untuk menyatukan dua orang yang memiliki karakter kepribadian yang berbeda, bahkan persiapan dalam mendapatkan momongan.
Mendapatkan momongan tentunya, menjadi dambaan setiap pasangan suami-istri. Namun, tentunya ada hal yang harus diingat bagi calon ibu dan calon ayah. Bahwa sebelum memiliki momongan sudah sepantasnya mempersiapkan bekal materi misalnya, sudah mulai menabung untuk akikah anak, sudah mulai sering melihat cara-cara merawat bayi. Di samping itu, calon ayah juga tak kalah penting agar dapat mencari tau bagaimana cara membahagiakan hati dan perasaan Istri baik ketika mengandung, maupun setelah melahirkan.
Mengapa pentingnya calon ibu atau calon ayah mempersiapkan diri? Karena tidak jarang banyak Ibu yang baru melahirkan mengidap penyakit mental yang dikenal dengan baby blues.
Sebagaimana dikutip dari laman health.detik.com, 26/5/2023, Psikolog Dra. Maria Ekowati, menyatakan bahwa dalam penelitiannya di Lampung sebanyak 25 persen ibu yang baru melahirkan mengalami depresi. Selain itu penelitian Adrianti yang dilakukan tahu 2020 menyatakan 32 persen Ibu hamil mengalami depresi, 27 persen mengalami depresi pasca melahirkan.
Parahnya, "Ibu Indonesia mengalami gejala baby blues tertinggi se Asia," ungkap Ketua Komunitas Perempuan dari Wanita Indonesia Keren dan Psikolog, Maria Ekowati (republika.com, 28/5/23).
Hal ini sungguh sangat mengkhawatirkan kesehatan ibu dan anak apalagi yang nantinya akan merawat dan menjaga buah hatinya.
Tingginya kasus gangguan kesehatan mental baby blues ini tentunya disebabkan oleh banyak faktor, selain kurangnya bekal dari calon ibu dan calon ayah, juga disebabkan oleh faktor lingkungan keluarga dan orang sekitar, misalnya orang tua yang terlalu ikut campur dengan idenya dalam merawat bayi baru lahir. Begitupun dari orang sekitar, yang mungkin sangat disayangkan adalah komentar yang mungkin menyakitkan hati ibu yang baru melahirkan. Sehingga ibu yang baru melahirkan ini dengan kondisi hormonal yang tidak stabil, bisa mengalami kesedihan yang sangat dalam, atau kemarahan yang tak menentu, bahkan tangisan yang tidak berujung. Walhasil, anak yang baru dilahirkan terabaikan.
Di samping faktor di atas ada faktor yang paling mendasar yaitu kurikulum pendidikan di Indonesia yang tidak memasukkan kesiapan calon orang tua sebagai salah subtansi dan kompetensi yang harus dipenuhi. Bahkan pendidikan di Indonesia dijauhkan dari nilai-nilai agama misalnya materi fikih munakahat. Di lain sisi, tayangan film selalu mengarah pada percintaan dan pernikahan yang memicu dorongan hasrat untuk menikah. Suatu hal yang ironis tentunya antara minimnya bekal pernikahan dengan tontonan yang mensugesti hal itu.
Tentu semua fakta ini terjadi disebabkan karena rusaknya sistem pendidikan yang menganut paham kapitalisme liberalisme. Kapitalisme berperan mengurangi supporting system yang diperlukan oleh ibu dan ayah. Jelaslah bukti bobroknya sistem kapitalisme.
Islam selalu menawarkan sebaiknya-baiknya sistem pendidikan yang komprehensif, sesuai dengan fitrah manusia, kuat akidah, kokoh sikap, dan cara berpikirnya. Oleh karenanya, akan terbentuk individu yang siap menikah, siap memikul amanah untuk menjadi ummun warobbatul bayit dan siap menjadi pendidik pertama untuk anak-anaknya.
Dengan kesiapan ibu dan ayah, akan menjadikan generasi yang gemilang untuk melanjutkan kehidupan dan peradaban umat Islam yang sakinah, mawaddah, warahmah.
Wallahu a’lam bisshowab.
Via
Opini
Posting Komentar