Straight News
Ustazah L. Nur Salamah: Makna Berusaha dan Bersungguh-sungguh yang Sebenarnya
Ustazah L. Nur Salamah melanjutkan penjelasan tentang makna berusaha dan bersungguh-sungguh yang sebenarnya. Penjelasan ini merupakan kelanjutan pasal kelima yakni kesungguhan, kontinuitas dan niat yang bulat yang merujuk pada Kitab Adab Ta'limu Al-Muta'alim Thoriqotu Ta'lum, Selasa (16/05/2023) di Batam.
"Adapun makna berusaha dan bersungguh-sungguh haruslah disesuaikan dengan kadar kemampuan kita. Jangan sampai memaksakan sebuah keadaan," ungkapnya.
Bunda, juga menjelaskan sebuah syair dari perkataan ulama. Sejauh mana kadar usahamu, melakukannya dengan terus-menerus, maka akan mendapatkan apa yang kamu impikan.
"Syair ini menjelaskan bahwa kesungguhan juga harus memperhatikan kadar kemampuan atau mengukur kapasitas diri. Sebagai contoh jangan sampai memaksakan diri untuk belajar hingga jatuh sakit," bebernya.
Dikatakan pula, dalam belajar diperlukan kesungguhan dari tiga pihak diantaranya, penuntut ilmu, guru, dan orang tua jika masih hidup.
"Adapun ketiga pihak diantaranya ialah penuntut ilmu, guru, dan orang tua. Pihak yang pertama adalah penuntut ilmu, maka agar ilmu yang diperolehnya bermanfaat hendaknya seorang penuntut ilmu haruslah berungguh-sungguh dalam belajar. Pihak yang kedua yakni harus ada gurunya. Seorang guru pun juga wajib berungguh-sungguh dalam mengajar agar yang diniatkan tercapai dan ilmu yang disampaikan memberi manfaat. Pihak ketiga yakni orang tua. Orang tua wajib bekerja sama, bersinergi bersama penuntut ilmu dan guru serta tidak bersikap pasrah untuk menyerahkan sepenuhnya kepada guru atau pihak sekolah. Tidak cukup hanya dengan membayar biaya pendidikan saja, orang tua pun wajib memberikan perhatian khusus terhadap pendidikan anaknya,"ungkapnya.
"Telah diperdengarkan kepada saya, seorang Asy-Syekh Al-Imam Al-Ustadz Sadiduddin Asy-Syairaziy yang mendendangkan syair dari Imam Asy-Syafi'i: Kesungguhan itu akan mendekatkan sesuatu yang jauh. Kesungguhan itu membuka semua pintu yang terkunci. Manusia yang paling patut bersedih adalah orang yang bercita-cita tinggi tapi diuji dengan hidup susah. Bukti qadha dan ketetapan-Nya. Si pandai hidup berkekurangan dan si bodoh hidup berkecukupan. Orang yang dikaruniai akal tak diberi kekayaan. Dua hal yang berbeda sama sekali," ungkapnya.
Bunda, menjelaskan makna syair dari Imam Syafi'i ini adalah bahwa ketika seorang penuntut ilmu diuji Allah dengan hidup susah tidak boleh menyalahkan Allah Swt., karena ini bentuk dari qadha dan ketetapan dari-Nya. Sangat tegas disampaikan bahwa kebahagiaan tidak ada hubungannya sama sekali dengan kelapangan atau kesempitan hidup. Pun, kebahagiaan juga tidak ada hubungannya dengan kecukupan atau kekayaan. Jelaslah bahwa makna kebahagiaan adalah ketika Allah memberikan kecerdasan, maka dengan kecerdasannya tersebut ia mampu beramal sesuai dengan ilmunya. Kecerdasan sendiri akan dirasakan ketika penuntut ilmu berungguh-sungguh dalam belajar.
"Kebahagiaan tatkala kita taat, dan kesengsaraan tatkala kita bermaksiat," tuturnya.
Syair lainnya dari Imam Asy-Syafi'i: Engkau bermimpi atau berkhayal ingin menjadi fakih tanpa jerih payah. Memang gila itu bermacam-macam. Dan tidaklah engkau mendapatkan harta tanpa bekerja keras yang harus dipikul. Apalagi untuk meraih ilmu.
"Syair dari Imam Asy-Syafi'i menyadarkan kita, bahwa untuk menjadi seorang yang faqih dan cerdas maka dibutuhkan jerih payah, usaha dan kesungguhan dalam menuntut ilmu. Dikatakan gila jika ingin menjadi cerdas namun tidak ada usaha apa pun. Begitu pun dalam mendapatkan harta hendaknya berusaha dan bekerja keras. Apalagi dalam meraih ilmu haruslah bersungguh-sungguh," jelasnya.
Sebagai penutup, Abu At-Thayyib berkata: Aku tidak pernah mengetahui sebuah cacat (aib) dari seseorang melebihi ketidakmampuan seseorang padahal dia bisa.
"Ada pun makna yang dikatakan At-Thayyib ialah ketika kita merasa mampu maka kerjakan dengan bersungguh-sungguh. Jangan menyerah dan mengaku tidak bisa," pungkasnya. []Nai
Via
Straight News
Posting Komentar