Opini
Antara Korupsi dan Demokrasi
Oleh: Yuke Octavianty
(Forum Literasi Muslimah Bogor)
TanahRibathMedia.Com—Kasus korupsi belum juga mati hingga kini. Justru faktanya kian menjadi. Bahkan penyakit destruktif ini sudah menyebar di semua institusi.
Korupsi Makin Membabi Buta
Menkopolhukam Mahfud MD tak membantah bahwa korupsi makin menggurita di Indonesia (kompas.com, 7-7-2023). Terdapat berbagai conflict interest di setiap lini jabatan. Di tataran DPR banyak transaksi di balik meja, di Mahkamah Agung banyak jual beli perkara. Fakta yang sama pun banyak ditemui di badan pemerintahan. Demikian ungkap Mahfud MD.
Fakta kasus korupsi banyak terkuak, tetapi hingga kini belum ada satu pun yang tuntas tersolusikan. Salah satu kasus terbesar yakni korupsi dana bantuan sosial (bansos) Covid-19 di Kementrian Sosial 2020 silam. Menteri Sosial saat itu, Juliari Batubara terbukti kuat menerima suap sebesar Rp32,482 miliar (kompas.com, 7-7-2023).
Fakta lain tak kalah mencengangkan. Sepanjang OTT (Operasi Tangkap Tangan) yang dilakukan KPK, deretan Bupati Daerah mendominasi penangkapan kasus korupsi (CNBC.com, 18-4-2023). Data KPK memperlihatkan bahwa kasus korupsi di lembaga pemerintah pusat menempati ranking 1, disusul Jawa dan Sumatra (CNBC.com, 18-4-2023). Sepanjang periode 2004-2022, KPK telah menangani sekitar 1.351 kasus tindak pidana korupsi.
Kasus korupsi Walikota Bandung, Bupati Meranti, Bupati Buru Selatan, Bupati Kapuas, Hakim Agung MA, Bupati Sidoarjo, Bupati Mamberamo Tengah, dan masih banyak lagi kasus yang tak terekspos.
Kasus megakorupsi teranyar melibatkan Menkominfo, Johny G.Plate. Berdasarkan data BPKP, kasus korupsi proyek pengadaan BTS merugikan negara hingga Rp8,032 triliun (liputan6.com, 19-5-2023). Dan kasus korupsi Kemenhan (Kementrian Pertahanan) yaitu proyek pengadaan Satelit Orbit 123 Derajat yang menimbulkan kerugian negara mencapai Rp453 miliar (kompas.com, 8-7-2023). Berdasarkan data pada 2023, KPK mengembalikan aset negara senilai Rp154,1 miliar dalam lima bulan (antaranews.com, 9-6-2023).
Kasus korupsi makin menggila dan tak terkendali. Solusi yang ditetapkan pun hanya solusi parsial yang tak menuntaskan masalah. Sebelumnya ada Jaksa Agung yang menyatakan bahwa kasus korupsi di bawah Rp50 juta akan ditutup kasusnya, jika sejumlah kerugian negara dikembalikan (kompas.com, 28-1-2022). Tentu saja, konsep ini mendapatkan protes keras dari masyarakat. Sekecil apa pun kasus korupsi tetap harus dituntaskan dengan mengedepankan keadilan.
Sistem Demokrasi sebab Utama Lingkaran Korupsi
Jabatan dalam sistem demokrasi adalah suatu kemewahan yang menjadi rebutan. Berbagai intrik diciptakan demi menjegal lawan. Konsep ini terlahir karena kehidupan menyandarkan pengaturannya pada sistem kapitalisme, yaitu konsep yang menjadikan keuntungan materi dan duniawi sebagai hal yang mendasar. Konsep kebahagiaan ditetapkan berdasarkan pada banyaknya harta dan tingginya jabatan. Tak ada fondasi keimanan. Bahkan aturan agama dipinggirkan. Tak peduli standar halal haramnya perbuatan. Inilah pintu kerusakan.
Sistem demokrasi dikenal sebagai sistem yang luar biasa mahal dalam berbagai hal, terutama biaya pemilihan pemimpin. Dan hal ini hanya mampu disediakan oleh para pemilik modal. Oleh karenanya, wajar, saat yang pertama kali muncul dalam benak sang pemimpin adalah mengembalikan dana pinjaman yang telah digunakan dalam pemilihan. Tak ada jalan lain, selain korupsi. Alhasil, kasus korupsi kian merajalela. Pemimpin pun lupa dengan janji-janjinya. Kepentingan rakyat yang seharusnya diurus justru terbengkalai. Tradisi korupsi makin ditoleransi. Dan jamak dilakukan secara "berjemaah".
Selain itu, proses pemilihan pemimpin yang bertele-tele dalam proses yang panjang memberikan celah kecurangan di dalamnya. Pemimpin yang terpilih pun tak mampu amanah dalam pengurusan rakyat.
Betapa buruk fakta penerapan sistem demokrasi kapitalisme. Tak sedikit pun memberikan maslahat di tengah umat. Tentu saja semua konsep ini hanya menciptakan kezaliman. Kehidupan makin sekarat karena penerapan sistem yang tak bijak.
Aturan dalam sistem demokrasi mengutamakan aturan hasil pemikiran manusia yang ditetapkan sesuai keinginan para penguasa. Wajar saja, setiap aturan yang ada tak mampu meredam gejolak masalah yang makin membuncah.
Jelaslah, demokrasi dan korupsi adalah dua hal yang tak mungkin terpisahkan. Bagai dua sisi mata uang yang selalu berdampingan.
Islam Solusi Tuntas Kasus Korupsi
Kehidupan membutuhkan aturan baku yang tetap. Sistem Islam-lah satu-satunya sistem yang melahirkan aturan yang sahih dalam pengaturan setiap urusan umat. Allah Swt. sebagai As Syari', satu-satunya pembuat aturan kehidupan.
Institusi Khil4f4h satu-satunya institusi yang mendasarkan setiap hukum hanya pada hukum syariat Islam. Pejabat yang melakukan kecurangan seperti korupsi akan ditindak tegas, sehingga dapat mencegah berulangnya kasus.
Sistem Islam menetapkan metode pemilihan pemimpin yang praktis, minim kecurangan, dan biayanya murah. Para calon pemimpin pun telah memahami konsekuensi kepemimpinannya akan dipertanggungkawabkan kelak di hari akhir.
Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya kepemimpinan merupakan sebuah amanah, di mana kelak di hari kiama Sesungguhnya kepemimpinan merupakan sebuah amanah, di mana kelak di hari kiamat akan mengakibatkan kerugian dan penyesalan. Kecuali mereka yang melaksanakannya dengan cara baik, serta dapat menjalankan amanahnya sebagai pemimpin." (HR Muslim).
Dengan konsep Islam, pemimpin yang tercipta adalah pemimpin yang adil, bijaksana, dan amanah mengurusi rakyat. Setiap kecurangan segera ditindak tegas. Yaitu dengan hukum qishas yang diatur dalam Undang-Undang Negara. Setiap peraturannya mampu mengikat kuat setiap warga negaranya. Hukum yang berlaku pun adil. Tak ada istilah hukum tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Ranah hukum memiliki potensi dan wewenang yang sama bagi seluruh rakyat. Tanpa pilih kasih.
Sepatutnya kaum muslimin tak meragukan kekuatan sistem Islam dalam mengurusi kehidupan. Terbukti hanya sistem inilah yang mencapai kegemilangan hingga 14 abad lamanya.
Wallahu a'lam bisshawwab.
Via
Opini
Posting Komentar