Opini
Apa Susahnya Mengatasi Stunting?
Oleh: Putri Halimah, M.Si
(Alumni Kajian Pengembangan Perkotaan, Univ. Indonesia)
TanahRibathMedia.Com—Beberapa waktu lalu, Sumatera Selatan ditunjuk sebagai tuan rumah penyelenggaran Hari Keluarga Nasional (HARGANAS) ke-30 karena keberhasilan capaian penurunan angka stunting yang semula 24,8% menjadi 18,6% (Tribunnews, 5 Juli 2023).
Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat. Baik dan buruk sebuah keluarga akan berdampak kepada pola masyarakat yang dibentuk. Semua sepakat, terdapat multidimensi yang mempengaruhi ketahanan keluarga, salah satunya adalah ketahanan ekonomi dan kesehatan.
Hanya saja saat ini, permasalahan keluarga yang menjerat ayah, ibu, dan anak sangatlah kompleks. Namun, solusi yang ditawarkan ternyata hanyalah bersifat praktis dan instan, sama sekali tidak menyentuh akar permasalahan. Sebagai contoh dalam mengatasi masalah stunting, pemerintah hanya berfokus tentang anggaran yang dikeluarkan untuk pembelian telur sebesar 10 miliar. Pada faktanya yang dibelikan telur hanya 2 miliar, sisanya untuk rapat dan perjalanan dinas.
Berbelitnya birokrasi, maraknya budaya korupsi, dan lambatnya distribusi adalah hal lumrah yang terjadi di sistem saat ini. Padahal, permasalahan stunting jelas disebabkan karena kurangnya gizi sejak 1000 hari pertama kelahiran bayi. Artinya, sejak dalam kandungan sampai berusia 2 tahun. Pemenuhan gizi anak, sejatinya berkaitan dengan edukasi dan aksesibilitas ke bahan pangan yang mudah dan murah.
Akar Masalah Stunting
Pertama, edukasi masyarakat. Kita sepakat bahwa masyarakat berada dalam minimnya kesadaran literasi. Banyak ibu yang tidak siap menjadi ibu. Mereka tidak belajar bagaimana nutrisi yang baik selama kehamilan, menyusui, dan memberi MPASI. Bahkan, unit pelayanan kesehatan seperti posyandu pun minim dalam memberikan edukasi. Tidak segan mereka memberikan buah tangan berupa snack, makanan ringan, yang tinggi gula dan nol nutrisi.
Apalagi di sistem pendidikan saat ini, tidak dikenalkan dan diajarkan fungsi perempuan yang kelak akan menjadi ummu wa rabbatul bait, ibu dan pengurus rumah tangga. Sistem pendidikan hanya berfokus kepada mempersiapkan generasi menjadi pekerja, buruh, atau istilah kerennya budak korporasi. Generasi tidak mengetahui, bahwa kehidupan setelah menikah tidak seindah dongeng Cinderella.
Alhasil, banyak ibu yang setelah melahirkan kemudian mengalihkan pengasuhan ke orang lain karena harus turut bekerja demi produktivitas dan menyokong ekonomi keluarga. Padahal, orang yang mengasuh anaknya belum tentu memahami bagaimana memberikan nutrisi baik untuk anak tersebut. Kemudian, banyak anak yang kehilangan peran ayah (fatherless), ayah hanya berfokus pada kewajiban mencari nafkah, dan abai terhadap pengasuhan. Sehingga, lahirlah anak-anak yang yang malnutrisi dari sudut pandang gizi anak, kasih sayang (psikologis), dan pengasuhan. Tentu, ini sangat mengkhawatirkan.
Urban lifestyle yang kental dengan gaya hidup praktis, instan, dan modern juga turut andil dalam menggempur kesehatan keluarga. Semakin menjamurnya restoran cepat saji dan jajanan kekinian di sistem saat ini adalah lumrah. Dari sisi makanan dan minuman yang dengan mudah dibeli namun ternyata tinggi gula, tinggi karbohidrat, dan sarat dengan pengawet, pemanis, pewarna yang bisa saja menjadi gempuran penyakit di kemudian hari. Salah satunya, ancaman obesitas, diabetes dan stunting.
Kedua, aksesibilitas bahan pangan yang mudah dan murah. Nutrient dense food adalah makanan yang padat nutrisi bersumber dari bahan pangan tanpa pengolahan (ultra process food) sehingga mengandung nutrisi alami yang mudah diserap oleh tubuh. Bahan pangan ini sangat dianjurkan untuk ibu hamil, bahan MPASI, dan anak dalam masa pertumbuhan. Contohnya, daging sapi, ikan laut, otak sapi, hati ayam dan sapi, daging ayam, telur, sayuran-sayuran, kacang-kacangan, dll.
Masalah utama bukan seberapa banyak ketersediaannya, namun seberapa besar distribusinya merata ke masyarakat. Perlu ditanggulangi ketika di salah satu kota terdapat kelangkaan yang menyebabkan harganya naik drastis. Kemudian, daya beli masyarakat yang perlu di stimulus melalui peningkatan lapangan kerja dan kegiatan ekonomi sektor rill, sehingga banyak terserap tenaga kerja khususnya bagi laki-laki yang memegang tanggung jawab kepala rumah tangga.
Solusi Tuntas Mengatasi Stunting
Dalam Islam, prinsip pengaturan (manajerial) adalah basathah fi an-nidzam (sistemnya sederhana), kebijakan yang ada harusnya bisa dinikmati oleh masyarakat semudah dan semurah mungkin (keterjangkauan / akesibilitas). Kedua, su’ah fi al-injaz (eksekusinya cepat), tidak boleh bagi aparat negara untuk memperlama distribusi, melakukan penimbunan, apalagi korupsi. Ketiga, ditangani oleh profesioal yang ahli di bidangnya, sudah semestinya program penanggulangan stunting ini bekerja sama dengan tenaga kesehatan yang tidak hanya ahli.
Negara berfungsi sebagai ra’in dengan tujuan ri’ayatul su’unil ummah (mengurusi urusan ummat). Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda, “Imam laksana pengembala (pelayan) dan dia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya.” (HR Imam Bukhari).
Melalui fungsi tersebut, negara tidak mempunyai pandangan untung rugi, bisnis, maupun investasi. Berbeda di sistem saat ini, banyak aparat pemerintahan yang terlibat dalam bisnis pengadaan beras, minyak sayur, daging, ataupun telur. Negara menyiapkan regulasi, strategi yang terarah dan tepat sasaran.
Tidak hanya itu, secara bersamaan sistem pendidikan, sistem kesehatan, dan sistem ekonomi berjalan beriringan dengan syariah Islam. Sistem pendidikan Islam menitik beratkan kepada pemahaman akidah dan syariah, sehingga output yang dihasilkan adalah generasi yang memahami hak dan kewajiban sebagai hamba Allah. Tidak tumpang tindih seperti saat ini, banyak perempuan yang bekerja mencari nafkah sedangkan suami menunggu di rumah.
Sistem kesehatan yang mudah dan murah akan sangat membantu terciptanya generasi yang sehat. Ibu hamil yang setiap waktu dapat berkonsultasi masalah kehamilan, anak bayi yang dapat setiap waktu dipantau tumbuh kembangnya, dan edukasi kesehatan yang memungkinkan setiap ibu memahami soal gizi anak. Jika tidak mampu secara ekonomi, maka diberikan bantuan atau santunan. Hal ini juga bisa mengurangi resiko depresi pada ibu yang baru melahirkan akibat tuntutan ekonomi. Sebagaimana kisah Khalifah Umar bin Khattab pada saat berkuasa. Melalui kebijakannya, diberikan santuan dari Baitul Mal bagi bayi yang baru lahir jika orang itu berasal dari keluarga miskin.
Sistem ekonomi Islam lah satu-satunya jalan mengatasi berbagai persoalan pelik saat ini. Mulai dari pembiayaan, distribusi harta, barang, dan jasa, jaminan lapangan pekerjaan, dan kepastian pemenuhan 6 pokok kebutunan dasar manusia (sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan). Melalui mekanisme yang khas dan berkelanjutan, kota layak anak, ketahanan keluarga, dan segala teori perkotaan yang dicita-citakan bukan tidak mungkin terwujud dengan mudah. Hanya dengan sistem Islam, kesejahteraan ibu hamil dan anak terwujud, pemenuhan hak-hak perempuan dan anak terlaksana, keadilan dalam menikmati fasilitas dan pelayanan terjamin.
Wallahu’alam bishawab.
Via
Opini
Posting Komentar