Opini
Apakah Jalur Zonasi Mampu Menjawab Tujuan Pendidikan Nasional?
Oleh: Sunaini, S.Pd., CTrQ.
TanahRibathMedia.Com—Tahun ajaran baru akan dan bahkan sudah dimulai di seluruh lembaga pendidikan di Indonesia. Namun, tampaknya dalam pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru perlu adanya evaluasi dan perbaikan.
Sebagaimana dikutip dari beritasatu.com yang mengungkap kisruh jalur zonasi di Kota Bogor terkait Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Bagaimana tidak, dari 161 siswa hanya 4 siswa saja yang diterima melalui sistem jalur zonasi. Warga sekitar mengungkapkan kekecewaan karena anaknya tidak diterima meskipun berada di satu komplek sekolah SMAN 1 Bogor tersebut (13/7/2023).
Selain di Kota Bogor, terdapat juga kasus yang sama di Kota Bekasi, Banten, hingga Kepulauan Riau. Akibat susahnya sistem jalur zonasi ini berakibat kecurangan yang dilakukan orang tua yang ingin memasukkan anaknya ke sekolah negeri. Seperti memalsukan data, jasa titip, hingga anak pengusaha besar yang mengurus Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Sebagaimana dilansir dari beritasatu.com, Ombudsman menemukan adanya anak pengusaha besar yang mengunakan SKTM di Banten, disamping itu ada juga yang menggunakan Kartu Indonesia Pintar yang sudah tidak aktif (13-7-2023).
Data di atas adalah sebagian kecil dari data kecurangan dan kisruhnya proses penerimaan murid baru. Hal ini memperlihatkan kepada masyarakat bahwa harus ada upaya evaluasi dan perbaikan sehingga setiap anak dapat mendapatkan pendidikan yang bermutu dan pastinya biayanya harus terjangkau.
Penyebab Kecurangan dalam Dunia Pendidikan
Sebagaimana yang tercantum dalam dalam UUD 1945 bahwa semua warga negara Indonesia berhak untuk mendapatkan pendidikan. Namun, pada faktanya, yang terjadi di lapangan adalah untuk masuk sekolah negeri yang berkualitas baik dari segi sarana-prasarana dan lingkungan maupun dari sisi kurikulum yang relevan dengan kebutuhan peserta didik tidaklah mudah. Harus lulus dari segi administrasi yang terkesan ribet apalagi untuk kalangan yang gagap teknologi. Seperti yang terjadi untuk masuk sekolah jalur zonasi harus upload banyak berkas. Jika salah satu berkas tidak terbaca oleh sistem, maka bisa saja tidak diterima. Meskipun dilihat dari kemampuan komunikasi, intelektual, akhlaknya baik. Sepertinya hal ini sangat sedikit kontribusinya.
Melihat arti dari jalur zonasi yang disampaikan oleh kemendikbud itu sendiri adalah penerimaan siswa baru berdasarkan jarak tempat tinggal dan lokasi sekolah yang dekat agar kendala terlambat datang sekolah dapat diminimalkan.
Dalam hal ini, seharusnya pihak sekolah harus bekerja sama dengan perangkat daerah setempat untuk mendapatkan informasi terupdate terkait jumlah warganya meskipun warga itu KTP-nya domisili. Sebab, untuk warga yang belum memiliki rumah sendiri masih berpikir juga untuk mengubah alamat pada KK maupun KTP. Hal ini juga menjadi pertimbangan pihak sekolah agar lebih bijak dalam menyikapi kasus semacam ini.
Selain itu, melihat kecurangan yang dilakukan oleh orang tua calon peserta didik adalah gambaran tidak tepatnya kebijakan yang diterapkan oleh kementerian pendidikan dan strukturalnya hingga ke bawah. Hal ini tidak lain karena kebijakan itu dibuat berdasarkan sistem pendidikan basis kapitalisme sekularisme. Menjadikan makhluk sebagai pembuat kebijakan, padahal makhluk memiliki kecenderungan subjektifitas, material income, dan sebagainya. Alhasil, kurikulum itu banyak sekali pergantian. Mulai dari kurikulum 1945, KBK, KTSP, K13 hingga menjadi kurikulum merdeka. Ini sudah menjadi jawaban aturan makhluk itu tidak akan memuaskan tujuan pendidikan.
Islam Menawarkan Solusi
13 Abad lamanya Islam mampu melahirkan sosok orang-orang terbaik di zamannya. Sebut saja Sultan Muhammad Al Fatih. Diusianya yang masih 20-an mampu menjadi sang penakluk Konstantinopel. Keberhasilan yang diraih tidak terlepas dari pendidikan yang ia dapatkan.
Berhasilnya pendidikan itu harus terpenuhi 3 pilar pendidikan:
Pertama, pilar negara sebagai pembuat kebijakan termasuk praktisi pendidikan dan kurikulum di dalamnya. Menetapkan aturan dengan mencontoh pola pendidikan Rasulullah yaitu mendidik berdasarkan usia pra baligh dan aqil baligh.
Kedua, pilar keluarga sebagai pendidikan utama untuk generasi yang menanamkan nilai ruhiyah, seperti takut dosa saat berlaku curang.
Ketiga, pilar masyarakat sebagai kontrol yang di hatinya ada rasa peduli akan sikap dan tingkah laku peserta didik sehingga terjadi interaksi saling mengingatkan pada kebaikan dengan cara yang makruf.
Oleh sebab itu, Islam adalah satu-satunya kurikulum yang mampu melahirkan generasi yang berpendidikan, tinggi akhlak, takut akan dosa, bersemangat berjuang meraih pahala dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Wallahu a’lam bisshawwab.
Via
Opini
Posting Komentar