Opini
Brandu yang Berakhir Pilu
Oleh: Yuli Ummu Raihan
(Aktivis Muslimah Tangerang)
TanahRibathMedia.Com—Kejadian pilu menimpa sejumlah warga di Kecamatan Semanu, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada awal Juli lalu. Kejadian berawal dari adanya sapi yang mati karena sakit lalu disembelih dan dagingnya dibagikan kepada 125 warga. Tiga orang meninggal dan dinyatakan positif antraks. Kasus antraks di Gunungkidul ternyata pernah juga ditemukan pada Mei dan Desember 2019 dan Januari 2020 lalu. Namun, kejadian ini tidak segera ditetapkan menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB). Padahal Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Gunungkidul Dewi Irawati, telah mengirim nota dinas kepada Pemkab Gunungkidul yang menyatakan bahwa penyebaran antraks sudah bisa dikategorikan sebagai KLB sesuai Peraturan Menteri Kesehatan No. 1501 tahun 2010 (CNNIndonesia, 7-7-2023).
Antraks adalah sejenis penyakit yang disebabkan oleh bakteri bacillus anthracis yang bisa menular dari hewan ke manusia. Penularannya bisa melalui cipratan darah hewan, spora bakteri yang tersebar dan mengonsumsi daging hewan yang terkena antraks. Bahkan spora bakterinya bisa bertahan selama 40-80 tahun di tanah. Oleh karena itu, seharusnya pemerintah bertindak cepat agar korban tidak makin bertambah.
Antraks sudah ada di Indonesia sejak 1884. Laporan pertama muncul dari kerbau di Teluk Betung, Lampung. Setiap tahun memang terjadi kasus sporadis, tidak edemis. Antraks juga tidak bisa dibebaskan dari wilayah yang sudah terkena sebelumnya. Yang bisa dilakukan adalah pengendalian terhadap spora yang ada di tanah dan lingkungan. Hal ini disampaikan oleh Direktur Kesehatan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Pertanian (Ditjen PKH) Kementerian Pertanian (Kementan) Nuryani Zainuddin dalam konferensi pers daring di akun YouTube Kementerian Kesehatan, Kamis (6-7-2023).
Brandu yang Berakhir Pilu
Ternyata warga yang nekat memakan daging sapi yang sakit ini erat kaitannya dengan sebuah tradisi yang ada di Gunungkidul yaitu brandu atau purak. Sebuah tradisi yang lahir dari rasa simpati masyarakat terhadap warga yang ternaknya mati. Biasanya ternak yang sakit dan hampir mati segera disembelih dan dagingnya dijual dengan harga murah kemudian uangnya diberikan kepada pemilik hewan. Tidak hanya ternak mati yang disembelih, bahkan ternak yang keracunan pun dipotong saat sudah mati.
Tradisi ini tentunya berbahaya dan tidak boleh jadi budaya. Masyarakat harus disadarkan agar tradisi ini tidak lagi ada. Pemerintah dalam hal ini punya peran penting memberikan edukasi pada masyarakat dan membuat aturan tegas agar kasus ini tidak kembali terjadi.
Kalau kita lihat, tradisi brandu ini adalah potret kemiskinan yang parah di masyarakat. Eman-eman atau sayang jadi alasan mereka nekat mengonsumsi daging yang tidak layak. Hal ini tentu menunjukkan bahwa pengetahuan terkait kesehatan pangan di masyarakat masih sangat rendah. Masih banyak sumber makanan halal dan tayyib di alam ini, mengapa harus memakan daging yang sudah tidak layak alias bangkai? Selain tidak halal, bangkai juga akan menyebabkan ganguan kesehatan bahkan kematian.
Rakyat tentu tidak bisa disalahkan 100 persen karena kadang kondisi memaksa seseorang melakukan hal yang sebenarnya tidak ingin dia lakukan. Demi bertahan hidup, apa pun dimakan. Demi bisa makan, apa pun dilakukan. Bahkan kemiskinan bisa memicu seseorang melakukan kemaksiatan.
Akar Masalah Kemiskinan
Gunungkidul memiliki masalah kemiskinan yang tinggi. Pada 2022 tercatat jumlah penduduk miskinnya mencapai 15,86%. Sebanyak 6.390 warganya terkategori miskin ekstrem. Bahkan ada tujuh kecamatan yang menjadi kantong kemiskinan yaitu Saptosari, Playen, Gendangsari, Nglipar, Pojong, Tepus, dan Karangmojo.
Kemiskinan hari ini tidak hanya karena natural, kultural, tapi sudah struktural. Ini semua akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Dalam sistem ekonomi kapitalisme sumber ekonomi dikuasai segelintir orang. Harta beredar hanya pada sebagian orang. Terjadi kesenjangan yang tinggi antara si miskin dan si kaya. Negara hanya sebagai regulator dan fasilitator sehingga pemilik modal berkuasa. Nasib baik tidak berpihak pada rakyat kecil, mereka terus dan akan terus menjadi korban dari sistem rusak ini.
Islam Solusi Atasi Kemiskinan
Melihat kemiskinan hari ini telah terstruktur, maka butuh sebuah sistem untuk mengatasinya, yaitu sistem Islam. Kasus brandu ini contohnya, tidak cukup diselesaikan dari aspek kesehatan saja. Kita butuh penyelesaian sistemis agar masalah ini benar-benar teratasi dan tidak terulang kembali.
Dalam Islam sudah dijelaskan makanan yang haram dimakan. Allah berfirman dalam QS Al-Maidah ayat 3 yang artinya: "Diharamkan bagimu memakan bangkai."
Pengharaman ini adalah bagian dari syariat yang harus dilakukan oleh seorang muslim. Maka setiap muslim haram memakan bangkai dan siapa pun yang melanggarnya bisa dikenai sanksi.
Sebagai seorang muslim yang taat, maka seharusnya mendengar dan mematuhi tanpa ada tapi dan nanti. Tidak ada lagi kata eman-eman atau sayang dagingnya.
Sebagai manusia yang diberikan akal, kita seharusnya bisa memilih apa yang seharusnya kita makan atau tidak. Bukankah masih banyak makanan halal dan layak lainnya selain bangkai? Hari ini informasi terbuka luas, kita bisa mencarinya hanya dengan menggerakkan jari.
Sebagai masyarakat yang punya rasa empati tentunya bisa dilakukan dengan cara lain selain tradisi brandu ini. Saling memberi dalam bentuk lain tentu lebih baik tanpa harus membeli sapi yang sakit atau mati.
Penguasa sebagai periayah rakyat bisa memberi santunan pada warga yang hewan ternaknya mati karena sakit. Melakukan tindakan cepat agar jual beli bangkai tidak terjadi serta meminimalkan risiko kematian.
Islam memiliki sistem ekonomi yang paripurna yang mampu memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan dasar bagi setiap individu. Tidak akan ada lagi orang yang kelaparan atau makan bangkai dan sesuatu yang tidak layak demi bertahan hidup.
Negara juga akan menyediakan pendidikan gratis bagi semua rakyatnya tanpa kecuali. Dengan ini semua rakyat akan teredukasi dengan baik dalam segala hal temasuk kesehatan, makanan halal, dan lainnya.
Islam tidak melarang tradisi apa pun selama tidak bertentangan dengan syariat Islam. Maka tradisi brandu ini jelas bertentangan dan harus ditinggalkan. Aturan Islam tidak boleh kalah dari apa pun temasuk tradisi. Kalau ada tradisi yang baik maka silakan terus dijalankan bahkan negara bisa melestarikan tradisi tersebut dan mewarnainya dengan nuansa islami.
Beginilah potret negara yang seharusnya, negara yang hadir sebagai pelindung dan pelayan bagi rakyatnya. Profil negara seperti ini tentu hanya ada dalam sistem Islam.
Wallahu a'lam bisshawab.
Via
Opini
Posting Komentar