Opini
Di Balik Fenomena Ramainya Lansia di Negeri Sakura Ingin Masuk Penjara
Oleh: Yulida Hasanah
(Pemerhati Sosial Brebes)
TanahRibathMedia.Com—Siapa yang tak kenal Jepang? Negeri yang akhir-akhir ini menjadi perbincangan dunia karena resesi seks yang melanda. Resesi ini jugalah yang menjadikan Jepang menjadi negara dengan angka harapan hidup tertinggi peringkat 4 setelah Monaco, Hong Kong, dan Macau. Dengan angka harapan hidup 83 tahun atau jauh di atas rata-rata dunia yakni usia 73 tahun, banyak sekali ditemukan lansia di dalam negara ini.
Bahkan secara statistik, pada 2021 Badan Statistik Jepang mencatat, ada 36,3 juta atau 28,95% warga berusia 65 tahun ke atas, dengan rasio tiap empat orang ada satu lansia. Dari angka ini dipecah lagi dan diketahui terdapat 90 ribu centenarian atau manusia langka berumur 100-an tahun. Proporsinya menjadi rekor tertinggi di dunia yakni per 100.000 orang terdapat 54 centenarian (cnbnindonesia.com, 1-7-2023).
Inilah fenomena yang terjadi di negara dengan kemajuan teknologi yang masif, bahkan menjadi pusat teknologi yang berkembang nomor satu di dunia. Jepang juga begitu lekat sebagai negara dengan tingkat pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Ternyata prestasi duniawi yang dimiliki negeri Matahari Terbit ini tak diikuti dengan terjaminnya kebahagiaan hidup para penduduknya. Ini sekaligus memunculkan pertanyaan, benarkah kemajuan teknologi dan capaian ekonomi yang tinggi menjadi jaminan bagi manusia untuk hidup bahagia?
Alih-alih bahagia, penduduk Jepang yang mayoritas berusia senja malah ramai-ramai ingin masuk penjara. Sungguh membuat hati miris dan prihatin. Inilah fenomena yang tak masuk akal. Bagaimana tidak? Secara normal, tidak ada satu pun manusia yang ingin hidup dalam kungkungan jeruji besi. Namun, berbeda dengan apa yang terjadi di Jepang akhir-akhir ini. Sebagaimana berita yang dikutip dari CNBC Indonesia, banyak warga yang berusia senja hidupnya berakhir di jeruji besi, bahkan tidak sedikit dari mereka melakukan tindak kriminal secara sukarela.
Bukan tanpa sebab, pilihan mereka didukung oleh mahalnya biaya tempat tinggal, tingginya layanan kesehatan, dan para lansia yang terjerat kesepian akibat ditinggal keluarga yang akhirnya membuat mereka terganggu kesehatan mentalnya. Pilihan untuk kembali bekerja dan mengabdi pada pemerintah sudah tidak mungkin dilakukan. Maka satu-satunya cara terbaik menurut mereka adalah melakukan tindak kriminal agar bisa masuk penjara.
Sedangkan menurut BBC Internasional, para lansia menganggap penjara adalah tempat menyambung hidup terbaik. Pasalnya, di balik jeruji besi, mereka bisa memperoleh makan dan tempat tinggal, mendapatkan layanan kesehatan 24 jam, dan kebutuhan dasar hidupnya terpenuhi. Sebab, meski tidak mendapat kebebasan, tetapi warga dijamin pemerintah saat dipenjara.
Pelajaran Berharga bagi Manusia Berakal
Siapa pun manusia pasti ingin hidup bahagia, sejahtera dengan terpenuhinya kebutuhan pokok hidupnya tanpa harus dipenjara. Adapun fenomena yang terjadi di Jepang di atas, sungguh telah memberikan banyak pelajaran berharga dalam kehidupan manusia yang berada dalam jeratan kapitalisme hari ini.
Pertama, kapitalisme telah merusak orientasi hidup bahagia yang sesungguhnya. Di mana manusia di Jepang berbondong-bondong bekerja siang dan malam di usia-usia produktif mereka dengan mengejar dunia. Orientasi dunia ternyata tidaklah abadi, dia akan melemah seiring dengan makin senjanya fisik dan usia.
Kedua, kapitalisme telah menciptakan masalah krusial dalam menjamin masa tua manusia. Pepatah ‘habis manis sepah dibuang’ sangatlah nyata ada dalam kehidupan kapitalis hari ini. Para kapitalis akan berupaya menggunakan segala cara untuk menikmati keuntungan dengan memerah keringat pekerja saat mereka muda dan abai menjamin kebutuhan mereka setelah lanjut usia.
Ketiga, kehidupan di Jepang telah memberikan gambaran berharga tentang sebuah kebahagiaan. Tak ada yang menyangkal jika dalam sistem kehidupan kapitalis hari ini, semua hal dinilai dari manfaat materi. Dan standar kebahagiaan mereka pun saat terpenuhinya semua kebutuhan dan keinginan yang bersifat materi. Padahal kesenangan yang bersifat materi ternyata tak hakiki. Artinya, banyaknya materi tak bisa mengobati rasa kesepian dan hausnya diri akan siraman dan sentuhan kasih sayang keluarga tercinta, rasa tenang saat merasa dekat dan taat pada Sang Pencipta dan Pengatur manusia. Inilah yang tidak pernah ada dalam kamus kebahagiaan dalam kapitalisme.
Keempat, kita telah diajak untuk belajar tentang kebangkitan peradaban yang hakiki ternyata tidak akan didapatkan dari sebuah pandangan hidup yang hanya berorientasi pada materi atau kecanggihan teknologi yang hakikinya juga bersifat materi. Melainkan harus berpijak pada sebuah ideologi yang mengarahkan manusia kembali pada posisi sejatinya, yakni sebagai hamba. Hamba yang telah Allah amanahkan sebagai khalifah di bumi ini. Dengan bermodal ketaatan pada semua syariat Allah, sesungguhnya telah cukup bagi manusia untuk meraih kabahagiaan hakiki. Kebahagiaan dalam kehidupan dunia dan kebahagiian saat kehidupan setelah kiamat nanti.
Dari empat pelajaran berharga tersebut, tak ada yang tak mungkin bagi manusia di muka bumi ini untuk melakukan sebuah perubahan menuju kebangkitan yang hakiki, yakni menjadikan Islam kembali pada posisi semula saat Rasulullah membawanya sebagai risalah Ilahi. Yakni menjadi Ideologi, tak hanya diyakini sebagai akidah yang benar dan satu-satunya yang Allah ridai. Akan tetapi juga sebagai akidah yang melahirkan aturan kehidupan sebagai solusi atas semua problematika hidup manusia di bumi. Allah Swt. berfirman, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu.” (TQS Al-Maidah: 3)
Maka, jika Allah Swt. saja telah memberikan pengumuman bahwa Islam merupakan satu-satunya agama yang Dia sempurnakan dan Dia ridai. Apakah kita sebagai manusia yang berakal masih tak yakin dengan kesempurnaan dan kedudukannya sebagai solusi yang akan mengantarkan manusia pada kebahagiaan hidup yang hakiki? Wallaahu a’lam
Via
Opini
Posting Komentar