Opini
Menyoal Maraknya Nikah Beda Agama, di Mana Peran Negara?
Oleh: Sunarti
TanahRibathMedia.Com—Pernikahan adalah proses pengikatan janji suci antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Pernikahan merupakan ibadah yang mulia dan suci. Pernikahan tidak boleh dilakukan sembarangan karena ini merupakan bentuk ibadah terpanjang dan dapat dijaga hingga maut memisahkan. Bahkan tujuan menggapai surga bersama adalah cita-cita bagi pasangan suami istri.
Bisa saja menikah dengan alasan rasa suka sama suka atau alasan saling mencintai. Padahal "rasa" bisa luntur kapan saja dan bisa luntur hingga hilang tertutup dengan rasa dan keadaan maupun suasana lain. Jika bukan iman, yakinkah pernikahan hanya sebatas kehidupan dunia yang penuh suka cita?
Hal ini menyebabkan setiap individu -dalam melangsungkan pernikahan, tidak lagi berpikir bahwa pasangan harus seiman (sesama muslim). Seperti yang sedang marak di negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Pernikahan beda agama justru didukung dan difasilitasi oleh negara.
Salah satu faktanya adalah telah dinyatakan sah pernikahan dua calon pasangan yang hendak menikah yaitu JEA yang beragama Kristen dan SW seorang muslimah. Sebagaimana diberitakan dalam Republika.co.id, (24-06-2023) bahwa Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat membuat keputusan yang sebenarnya berseberangan dengan fatwa MUI soal nikah beda agama. Namun, PN Jakarta Pusat justru mengabulkan keduanya dan hal itu tertuang dalam nomor 155/Pdt.P/2023/PN.Jkt.Pst.
Sebenarnya contoh pernikahan beda agama tidak hanya terjadi saat ini saja. Jauh hari sudah seringkali terjadi dan dikabulkan oleh pihak pengadilan negeri setempat dan selalu berujung pada dikabulkannya permohonan keduanya. Sungguh sangat disayangkan.
Sebagai seorang muslim, tentu harus ada rambu-rambu dalam pernikahan karena kehidupan manusia di dunia dan bagaimana mereka mengisinya akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat. Jelas Islam melarang wanita menikah dengan nonmuslim, musyrikin, maupun ahli kitab. Sedangkan pria diizinkan menikah dengan nonmuslim asalkan dia ahli kitab dan diharapkan bisa mendakwahi istrinya untuk menjadi mualaf.
Sayangnya, di negeri yang berpenduduk mayoritas muslim ini tidak menjadikan agama sebagai patokan. Lebih mementingkan "rasa" daripada ketaatan kepada Sang Pencipta. Manusia yang sifatnya lemah dan terbatas secara otomatis aturan yang dibuatnya akan lemah sehingga bisa ditarik-ulur sesuai kepentingan. Alasan apapun yang disampaikan, jelas ini melanggar hukum syarak.
Akan lebih mengenaskan lagi jika nikah beda agama ini dijadikan sebagai salah satu dari sekian alasan toleransi sesama pemeluk agama. Terlihat jelas, jika tujuan dari dikabulkannya nikah beda agama sarat kepentingan. Masyarakat akan terbiasa dengan pelanggaran ini, masyarakat juga dibawa ke arah pendangkalan akidah. Miris!
Hal ini sebagai bukti ketika negara yang mengusung ide sekuler akan menjauhkan agama dari kehidupan, termasuk urusan pernikahan.
Hal ini sangat jauh berbeda ketika negara mengemban aturan dari Allah Swt. yaitu aturan Islam. Aturan Islam mengutamakan unsur ketaatan kepada Allah Swt.. Segala perkara yang menyimpang akan segera ditindaklanjuti oleh negara dan segera ditindak tegas. Aturan pernikahan juga tegas karena menikah bukan sekadar bangunan kehidupan di dunia. Akan tetapi akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat
Ingatlah jika Allah Swt. berfirman,
"Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman." (TQS Al Baqarah: 221).
Ayat di atas adalah peringatan tegas bagi kaum muslim jika dikatakan taat kepada Allah. Ambil seluruh aturan, bukan dipilih-pilih mana yang sesuai dengan akal manusia dan mana yang tidak. Ketaatan sempurna termasuk di dalamnya ketaatan dalam aturan pernikahan.
Wallahu a’lam bisshawab
Via
Opini
Posting Komentar