Opini
Trend Pinjol Makin Marak, Rakyat Makin Terjerat
Oleh: Novita Mayasari, S.Si.
TanahRibathMedia.Com—Tidak bisa dimungkiri, kehidupan hari ini memang cukup berat. Harga bahan pokok kian merangkak naik. Belum lagi biaya operasional rumah seperti listrik, air, dan sebagainya ikut naik. Ditambah biaya pendidikan makin mencekik. Tentu hal ini akan menambah beban bagi sebagian besar masyarakat +62. Akibatnya muncul berbagai macam pikiran bagaimana cara mencari uang dengan mudah dan cepat. Tak ayal, pinjaman online (pinjol) pun mulai dilirik sebagai solusi ekonomi masyarakat hari ini.
Tidak hanya masyarakat biasa yang tertarik pada pinJol ini, tetapi para pegiat usaha (UMKM) pun kerap melakukan pinjol dengan alasan kekurangan modal dalam menjalankan usahanya.
Sebagaimana dikutip dari kabarbisnis.com (10-07-2023), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat kinerja outstanding pembiayaan fintech peer to peer (P2P) lending atau pinjaman online (pinjol) pada Mei 2023 mencapai Rp51,46 triliun. Tumbuh sebesar 28,11% year on year. Dari jumlah tersebut, 38,39% merupakan pembiayaan kepada pelaku UMKM. Jumlah penyaluran kepada UMKM perseorangan dan badan usaha masing-masing sebesar Rp15,63 triliun dan Rp4,13 triliun.
Sungguh luar biasa, pinjol yang dilakukan oleh pelaku UMKM hingga mencapai 38%. Ditambah lagi syarat pinjol yang mudah yaitu hanya bermodalkan KTP dan nomor ponsel saja. Tak heran jika pinjol makin digandrungi masyarakat hari ini.
Namun sayang, trend pinjol yang manis di awal ini ternyata tidak disadari oleh masyarakat akan dampaknya yang berbahaya di kemudian hari.
Hidup Makin Berat dengan Trend Pinjol
Di zaman yang serba sulit seperti hari ini, tentu banyak sekali penyebab yang akhirnya membuat masyarakat memilih jalan pintas untuk melakukan pinjol tanpa berpikir dampak ke depannya seperti apa. Kebanyakan individu menggunakan pinjol demi memenuhi kebutuhan konsumtif gaya hidup dan hedonisme. Seperti ikut tren fashion terbaru, gadget keluaran terbaru, tas, sepatu, hingga rekreasi dan wisata kuliner pun dilakukan demi memenuhi gaya hidup.
Maka tidak heran, jika hari ini perilaku tersebut kian menjamur. Hal ini disebabkan karena negara saat ini menerapkan sistem kapitalisme sekularisme yang melahirkan paham serba bebas dan masyarakat yang konsumerisme serta hedonisme.
Padahal jelas, pinjol tersebut tidak ubahnya seperti perangkap utang yang melilit. Mereka tidak menyadari jeratan utang tersebut yang lama kelamaan makin membengkak dan menggunung. Jika tidak sanggup lagi untuk mencicil pinjol tersebut, tentu pihak pinjol tidak akan tinggal diam. Mereka akan meneror terus dari pagi hingga malam hingga akhirnya banyak pengguna pinjol pun jatuh stress bahkan tidak jarang ingin mengakhiri hidup karena tidak sanggup diteror terus-menerus akibat utang yang menumpuk.
Begitulah jeratan utang yang tidak lain adalah bentuk riba gaya baru yang senantiasa menghantui masyarakat hari ini.
Ekonomi Islam Akhiri Masalah Pinjol
Di dalam Islam jelas bahwa apa pun bentuk riba hukumnya tetaplah haram. Walaupun tempat meminjam uang tersebut dilakukan oleh lembaga yang dilegalkan pemerintah. Bahkan Allah Swt. telah menegaskan dalam firman-Nya: "Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (QS Al-Baqarah: 275).
Di dalam Islam, setidaknya ada 6 kebutuhan pokok yang harus dipenuhi oleh negara. Seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Baik dipenuhi secara langsung maupun tidak langsung oleh negara.
Islam mengatur kebutuhan manusia dan skala prioritasnya. Negara akan mengedukasi masyarakat terkait prioritas kebutuhan yang harus terpenuhi terlebih dahulu dan mana yang bisa ditunda sehingga rakyat akan makin bijak dalam melakukan pembelanjaan dan penggunaan uang.
Di dalam Islam, negaralah yang bertanggung jawab penuh dalam memenuhi kebutuhan manusia. Oleh karenanya, tidak dibenarkan negara menyerahkan kepada pihak swasta ataupun asing dalam mengurusi rakyat.
Sebagaimana hadis Rasulullah saw.,
Artinya: "Imam adalah pelayan dan ia bertanggung jawab terhadap urusan rakyatnya." (HR Bukhari)
Tentu negara melakukan itu semua semata-mata karena tuntunan hukum syarak dan atas dorongan akidah Islam yang tertancap kuat demi meraih rida Allah Swt..
Tidak hanya itu, laki-laki yang mampu bekerja memiliki kewajiban untuk menafkahi keluarganya dan yang menjadi tanggungannya dibarengi peran negara yang mendorong laki-laki untuk bekerja dan berusaha semaksimal mungkin dalam rangka menjemput rezeki. Jikalau laki-laki tersebut tidak mampu dalam bekerja, maka negara akan memenuhi kebutuhannya yang biayanya diambil dari kas negara (baitulmal).
Demikian juga halnya dalam masalah ekonomi Islam, tentu tidak seperti sistem ekonomi kapitalisme. Di mana sistem ekonominya ditopang oleh riba dan judi yang sudah jelas hukumnya haram. Negara Islam memiliki fungsi mengatur hak kepemilikan sesuai dengan tuntunan syarak dan tentu saja tidak boleh diserahkan/dikuasai oleh pihak swasta ataupun asing.
Dari pendapatan negara seperti ghonimah, fa'i, kharaj, harta temuan, dan hasil pengelolaan harta milik umum, yakni sumber daya alam dan sebagainya, maka negara akan mampu memberikan kesejahteraan, keamanan dan kenyamanan dalam menjalani kehidupan. Tentu, semua ini akan didapatkan secara adil dengan mengelola sumber pendapatan negara oleh baitulmal. Kemudian barulah akan didistribusikan ke pos-pos sesuai kebutuhan. Demikianlah apabila sistem Islam diterapkan secara kafah. Apakah kita tidak merindukannya?
Wallahu alam bishawwab
Via
Opini
Posting Komentar