Opini
Karhutla, Mengapa Bisa Terjadi Kembali?
Oleh: Riza Maries Rachmawati
TanahRibathMedia.Com—Setiap memasuki musim kemarau, pulau Kalimantan menjadi salah satu wilayah yang tidak lepas dari kebakaran hutan dan lahan atau karhutla. Dilansir dari www.republika.id (19-08-2023), sejak Juni hingga Agustus 2023 diambil dari citra satelit Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) melaporkan luas lahan terbakar mencapai 2.301,58 hektare. Berdasarkan patroli udara dan satelit terpantau 727 titik api dan hotspot sebanyak 3.787 titik. Area yang terbakar kebanyakan lahan kosong sehingga tidak diurus pemiliknya.
Lahan yang kerap terbakar di Kalsel merupakan tanah gambut dengan tekstur lunak dan mudah ditekan sehingga cukup mudah kering dan terbakar ketika kemarau. Namun, pendapat bahwa jika lahan gambut terbakar sendiri tanpa ada faktor yang memicunya dibantah oleh Prof Udiansyah MS yang merupakan guru besar Fakultas Kehutan sekligus ahli lingkungan di Universitas Lambung Mangkurat (ULM). Menurut Prof Udiansyah, tidak ada istilah gesekan daun kering lalu terbakar secara alami atau hawa panas di dalam tanah kemudian menjadi api.
Upaya penanganan telah dilakukan petugas gabungan BPBD dibantu Manggala Agni, TNI-Polri, dan sukarelawan masyarakat. Upaya telah berhasil memadamkan 1.419,06 hektare pada 523 titik lahan terbakar baik oleh Satgas Darat maupun Satgas Udara melalui helikopter water bombing (pengeboman air) yang beroperasi empat unit. Upaya lain juga dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan mengirimkan 96 surat peringatan temuan titik panas atau hotspot kepada perusahaan-perusahaan agar segera mengambil tindakan pencegahan maupun penanggulangan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Terhitung sejak 2015 sampai 2023 ada sejumlah 22 perusahaan penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia (www.antaranews.com, 14-08-2023)
Ekploitasi secara Serampangan
Karhutla memang membawa dampak kerugian kesehatan dan ekonomi bagi masyarakat bahkan hingga hilangnya nyawa. Faktor terbesar dari penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan ini adalah faktor manusia. Pembakaran oleh industri atau perusahaan yang sengaja dilakukan untuk membuka lahan salah satunya. Pemberian konsesi pada korporasi mulai dari hak pengusaha hutan, hak pemungutan hasil hutan hingga konsesi hutan tanaman industri oleh pemerintah menjadi senjata bagi korporasi untuk mengeksploitasi hutan secara serampangan.
Sejak terbitnya UU 5/1967 tentang ketentuan pokok-pokok kehutanan berlaku, kapitalisasi dan eksploitasi hutan terjadi. Memang tujuan awal diberlakukannya kebijakan pemberian konsensi ini adalah untuk meningkatkan perekonomian negara. Namun, pada akhirnya hutan Indonesia dieksploitasi secara serampangan oleh korporasi sehingga menimbulkan banyak konflik sosial dan bencana ekologis. Meskipun pemerintah berdalih telah menetapkan sejumlah kebijakan yang ketat dalam pengelolaan hutan, tetap tidak akan memiliki pengaruh apa-apa selama regulasi yang mengapitalisasi hutan tetap berlaku.
Kegagalan pengelolaan hutan yang dilakukan oleh negera selama ini merupakan bukti kegagalan sistem sekularisme kapitalisme. Hutan yang merupakan salah satu sumber daya alam milik umum yang kemanfaatannya seharusnya dirasakan oleh seluruh masyarakat. Namun, dalam sistem kapitalisme, hutan dipandang sebagai sumber daya alam yang boleh dikelola swasta atau individu. Selama individu atau swasta memiliki uang dan kekuasan, dia bisa saja dengan mudah dan seenaknya mengeksploitasi sumber daya alam milik umum ini, salah satunya adalah hutan.
Islam Solusi Tuntas
Sejatinya persoalan pengelolaan hutan di negeri ini hanya akan tuntas dengan penerapan sistem Islam kafah di bawah naungan Khil4f4h Islamiyah. Khil4f4h memiliki mekanisme dalam mengelola hutan yang akan menghindarkan dharar bagi masyarakat dan lingkungan.
Pertama, syariat Islam telah menetapkan bahwa hutan termasuk dalam kepemilikan umum, bukan kepemilikan individu atau negara. Ketentuan ini didasarkan pada hadis Rasulullah saw., “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: dalam air, padang rumput (gembalaan), dan api.” (HR Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah). Hanya saja karena pemanfaatan atau pengelolan hutan tidak mudah dilakukan secara langsung oleh orang per orang serta membutuhkan keahlian, sarana, atau dana yang besar, maka negaralah yang diberi amanah untuk mengelolanya.
Negara akan memasukan segala pendapatan hasil hutan ke dalam baitulmal atau kas negara dan mendistribusikan dananya sesuai kemaslaatan rakyat dalam koridor hukum-hukum syariat berupa pendidikan dan kesehatan gratis. Sebab negara melakukan pengelolaan hutan dengan prinsip pelayanan bukan berbisnis dengan rakyat.
Kedua, negara wajib menjaga kelestarian hutan, terutama hutan gambut yang sangat bermanfaat untuk paru-paru dunia. Hutan sebagai penyimpanan air pada saat musim hujan, sumber air pada saat musim kemarau tiba, dan sumber habitat flora dan fauna yang menjaga kesimbangan alam. Negara wajib melakukan pengawasan terhadap hutan dan pengelolaan hutan. Fungsi pengawasan operasional lapangan ini dijalankan oleh lembaga peradilan, yaitu qadhi hisbah yang tugas pokoknya adalah menjaga terpeliharanya hak-hak masyarakat secara umum termasuk pengelolaan hutan.
Ketiga, jika masih ada yang melanggar, negara harus memberi sanksi yang tegas kepada pelaku pembakaran hutan dengan ta’zir, kadar dan jenisnya ditetapkan oleh kepala negara sehingga mampu menimbulkan efek jera dan tidak dicontoh oleh pihak lainnya.
Pengaturan yang terperinci tentang kepemilikan, kesadaran umum untuk menjaga lingkungan dan sanksi yang tegas bagi pelaku kemaksiatan akan menjadi solusi tuntas atas kasus karhutla. Demikianlah, negara yang menerapkan sistem Islam akan menyelesaikan secara tuntas permasalahan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) ini sesuai dengan syariat Islam.
Wallahu a’lam bisshawwab
Via
Opini
Posting Komentar