Opini
Ketika Mantan Koruptor Menjadi Calon Legislator
Oleh. Yuli Ummu Raihan
(Aktivis Muslimah Tangerang)
TanahRibathMedia.Com—Tampaknya negeri ini memang ibarat surga bagi para koruptor. Betapa tidak, mereka yang telah terbukti mencuri uang rakyat mendapatkan keringan hukuman, setelah bebas justru mendapatkan kesempatan untuk menjadi calon legislator. Siapa yang menjamin kesempatan ini tidak mereka gunakan untuk melakukan korupsi kembali?
Dilansir dari Republik.co.id, Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan 24 mantan terpidana kasus korupsi diusung oleh sejumlah partai politik untuk menjadi bakal calon legislator (bacaleg) DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan pihaknya mengetahui hal ini setelah membandingkan Daftar Calon Sementara (DDS) Anggota DPRD Pemilu 2024 dengan data yang diumumkan KPU periode sebelumnya terkait 72 koruptor menjadi caleg Pemilu 2019.
ICW harus menganalisis ribuan nama bacaleg ini karena KPU RI tidak kunjung merilis data bacaleg DPRD Pemilu 2024 yang mantan terpidana korupsi. Padahal informasi ini dibutuhkan oleh pemilih. Ada kesan bahwa penyelenggara pemilu sengaja menutupi sekaligus melindungi mereka dari pantauan masyarakat. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengatakan keikutsertaan mantan koruptor ini akan merugikan rakyat. Ada potensi mereka akan mengulangi kejahatan ini lagi apabila berhasil masuk parlemen.
Sementara Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) menilai, ini adalah tanda betapa buruknya mekanisme demokrasi di internal partai politik. JPPR juga khawatir fenomena ini adalah hasil dari praktik mahar politik. Sudah bukan rahasia untuk bisa menjadi calon legislator butuh biaya mahal.
Mantan koruptor bisa mencalonkan diri menjadi caleg ini karena ada payung hukum yang mengaturnya. Putusan MK Nomor 87/PUU-XX/2022 dan 12/PUU-XXI/2023 memperbolehkan mantan terpidana termasuk kasus korupsi dengan ancaman hukuman kurang dari lima tahun penjara atau lebih setelah selesai melewati masa tunggu lima tahun sejak bebas.
Aturan tentang syarat bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD yang tertuang dalam Pasal 240 Ayat 1 huruf g Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu tidak menyebutkan secara khusus larangan bagi mantan narapidana kasus korupsi untuk mendaftar. Mereka hanya wajib mengumumkan bahwa dirinya pernah dihukum akibat kasus korupsi dan telah selesai menjalani hukuman tersebut.
Diantara nama terkenal yang masuk daftar bacaleg adalah mantan koruptor kasus pembelian helikopter Abdullah Puteh, Susno Duadji kasus pengamanan Pilkada Jabar 2009 dan penanganan PT Salmah Arowana Lestari, Nurdin Halid kasus minyak goreng bulog, Al Amin Nasution kasus suap alih fungsi hutan lindung dan masih banyak lagi (Kompas.com, 25-8-2023).
Bukti Bobroknya Sistem Demokrasi
Bolehnya para mantan koruptor menjadi bacaleg adalah bukti kebobrokan sistem demokrasi. Demokrasi yang katanya dari, oleh, dan untuk rakyat nyatanya hanya omong kosong. Rakyat dipaksa memilih calon yang sudah ditetapkan partai, bukan caleg pilihan rakyat.
Seseorang yang memiliki integritas dan kemampuan menjadi wakil rakyat kalah dengan mereka yang punya kuasa dan dana sekalipun mereka mantan narapidana. Seolah di negeri ini tidak ada lagi orang yang bisa diusung yang layak dan mampu untuk jadi caleg. Ini juga membuktikan gagalnya partai dalam melakukan pengkaderan. “Lu punya uang, lu punya kuasa”. Kira-kira seperti itulah gambaran kondisi hari ini. Narasi indah pemberantasan korupsi yang selama ini terus didengungkan justru bertolak belakang dengan fakta yang ada.
Semua ini akibat dalam demokrasi hak membuat aturan diserahkan pada manusia. Akibatnya aturan dibuat sesuai kepentingan dan nafsu manusia tanpa memperhatikan halal haram. Dalam demokrasi tidak ada lawan dan kawan abadi, yang ada hanya kepentingan abadi. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang menjilat ludah sendiri. Yang dulunya bilang anti korupsi nyatanya pelaku korupsi. Kalau pun ada KPK, terbukti tidak mampu memberantas korupsi. KPK justru dimutilasi sehingga tidak berdaya melawan korupsi. Bahkan instruksi Jaksa Agung seolah melindungi para koruptor ini dengan menunda pengusutan kasus mereka yang sedang terlibat pemilu. Para koruptor seolah diberi karpet merah untuk terus berjalan menuju kursi kekuasaan.
Islam Solusi Atasi Korupsi
Pemberantasan korupsi dalam sistem demokrasi hanyalah ilusi. Kita butuh sistem Ilahi yang mampu memberi solusi yaitu dengan menerapkan sistem Islam. Aturan Islam berasal dari Allah Swt. yang menciptakan manusia. Allah Maha Tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Islam menetapkan korupsi merupakan sebuah keharaman yang dikategorikan ke dalam ghulul. Pemimpin, pejabat, atau pegawai dalam Islam haruslah orang yang adil. Rasulullah saw. bersabda, " Sehari seorang pemimpin yang adil lebih utama dari pada ibadah 60 tahun, dan satu hukum ditegakkan di bumi akan dijumpainya lebih bersih daripada hujan 40 hari." (HR Thabrani, Bukhari, Muslim, dan Imam Ishaq)
Adil itu menurut ulama adalah apa saja yang ditunjukkan oleh Kitab dan Sunah baik dalam hudud maupun hukum lain. Orang yang adil adalah orang yang menegakkan hukum Allah baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Seorang koruptor tentu tidak bisa dikatakan orang yang adil sehingga bagaimana mungkin ia akan mampu menjalankan tugas kepemimpinannya?
Dalam Islam, kekayaan para pejabat akan senantiasa dipantau. Ketika ada kenaikan jumlah harta yang tidak wajar maka akan ditanyakan dan diminta membuktikan sumber dananya. Jika terbukti pejabat tersebut melakukan kesalahan, maka akan diumumkan ke publik dan harta yang terbukti haram tersebut disita dan pelakunya dihukum takzir yang hukumannya ditentukan oleh Khalifah atau kadi. Takzirnya bisa berupa penjara, pengasingan hingga hukuman mati. Semua tergantung tingkat kejahatan dan kemudharatan yang ditimbulkan.
Jabatan dalam Islam adalah amanah yang kelak dimintai pertanggungjawaban. Kekuasaan memang dibutuhkan, tetapi kekuasaan rawan disalahgunakan apalagi jika tidak ada niat baik dalam menjalankannya. Kenikmatan kekuasaan hanya sesaat, sementara akhirat selamanya, maka janganlah terlalu berambisi untuk berkuasa. Dalam sebuah hadis bahkan Rasulullah mengatakan celaka untuk para pemimpin dan menyebutkan kalau kekuasaan/ jabatan itu kelak pada hari kiamat adalah kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang menerima jabatan dengan haknya dan menjalankan tugas dengan amanah. Wallahua'lam bisshawwab.
Via
Opini
Posting Komentar