Tsaqofah
Masjid: Jantung Kajian Islam
Oleh: Meilina Tri Jayanti
TanahRibathMedia.Com—Sejarah kemajuan peradaban manusia dan perkembangan Islam tak luput dari keberadaan masjid. Sejak masa Rasulullah, masjid difungsikan tidak sekadar untuk melaksanakan ibadah mahdhoh, yaitu aktivitas merendahkan diri di hadapan Sang Pencipta dengan bersujud dan berzikir. Lebih dari itu, masjid difungsikan pula sebagai tempat untuk belajar mengajar, mendiskusikan problematika politik, ekonomi, sosial, budaya, ketahanan, dan keamanan (ipoleksosbudhankam). Di dalamnya, tatanan kehidupan dipelajari, dibahas, dan diamalkan.
Kala itu, masjid benar-benar difungsikan untuk mengenalkan dan mengajarkan kepada manusia, kesesuaian ajaran Islam dengan fitrahnya. Manusia yang sadar bahwa ia memiliki segudang kelemahan, tetapi menghendaki hidup bahagia, berpasrah pada tuntunan ajaran Allah dan Rasul-Nya.
Seiring berlalunya masa dan berkembangnya zaman, kini masjid mengalami degradasi fungsi. Dengan dalih modernisasi, sistem sekularisme telah menggeser peranan masjid. Kebanyakan masjid saat ini difungsikan sebatas tempat menunaikan ibadah mahdhoh. Sementara, pembahasan poblematika manusia terkait ipoleksosbudhankam, ditempatkan pada gedung-gedung megah nan eksklusif. Praktis, sebagian besar solusi masalah kehidupan manusia tak tersentuh oleh ajaran agama. Hal tersebut turut menegaskan bahwa ajaran agama hanya boleh berperan pada tataran individu. Selebihnya, ajaran agama tidak dikehendaki mengurusi ranah kehidupan.
Berawal dari sini, masjid memiliki berbagai karakter. Pertama, ada banyak masjid yang dibangun sangat megah, lengkap dengan tataan taman yang indah. Biasanya masjid seperti ini ada di tengah-tengah kota, atau di tempat-tempat ramai. Selain digunakan untuk memunaikan ibadah mahdhoh, biasanya umat muslim memanfaatkaannya sebagai tempat bersantai, beristirahat, bercengkerama dengan teman atau keluarga. Kedua, ada masjid yang digunakan hanya untuk golongan tertentu. Biasanya setelah memanfaatkan masjid, jama'ahnya menutup pintu masjid dan tidak menghendaki orang lain memanfaatkannya.
Untuk masjid karakter pertama, selama interaksi laki-laki dan perempuan masih terjaga, keberadaan masjid tidaklah menjadi masalah yang mengkhawatirkan. Namun, untuk masjid karakter kedua, sepertinya umat muslim perlu untuk lebih banyak lagi mengenal ajaran agamanya karena akan memperuncing perbedaan dalam perkara khilafiyah. Bahkan tak jarang di antara mereka mudah untuk menyematkan kata "kafir" pada sesama muslim. Hal tersebut justru akan menjadikan umat ini lemah dan enggan menyatu. Perpecahan akan menyulitkan umat menemukan jalan kemuliaan sebagai umat terbaik, sebagaimana yang tertulis dalam firman Allah QS Ali-Imran: 110.
Jauhnya masjid dari penyelenggaraan kajian-kajian berakibat pada tergerusnya tsaqafah Islam di benak kaum muslim dan menjadikan umat ini awam terhadap agamanya. Pada kondisi ini, sebagian besar umat muslim terkategori sebagai muqalid 'am. Oleh karena itu, untuk melandaskan perbuatannya dengan hukum syarak, mereka dituntun dengan mengikuti salah satu ulama fiqih/mazhab. Apabila menemukan perbedaan pendapat, seorang muqalid 'am harus menarjih mujtahidnya, tidak langsung menarjih dalilnya. Sebab, seorang muqolid 'am tidak mempunyai kemampuan untuk menilai dalil.
Setidaknya ada dua kriteria untuk menarjih mujtahid. Pertama, ilmu. Pilihlah seorang mujtahid yang lebih paham dan lebih berilmu. Kedua, keadilan. Yaitu, seorang mujtahid yang tidak melakukan dosa-dosa besar atau terus-menerus melakukan dosa-dosa kecil. Berbekal pemahaman yang baik, seorang muqalid 'am tidak layak memutuskan perkara hanya dengan satu atau dua dalil saja.
Mari kita kembalikan fungsi masjid untuk menggali sebanyak-banyaknya tsaqafah Islam. Dukung kajian-kajian yang dilakukan di dalam masjid. Berharap secercah pancaran cahaya kemenangan Islam bermula kembali dari masjid.
Wallahu a'lam bisshawwab
Via
Tsaqofah
Posting Komentar