Opini
Memborong Simpati dengan 8 Persen?
Oleh: Enha
“No free lunch (tidak ada makan siang gratis)” menjadi semacam rahasia umum dalam sistem hidup di negeri kita saat ini. Sering diberlakukannya ungkapan ini dalam kehidupan saat ini mendorong untuk bersikap kritis pada setiap kejadian. Berusaha menelisik maksud yang tersimpan dari setiap tindakan yang nampak baik di permukaan. Sepintas tercium aroma berburuk sangka, tetapi kerap kali akhirnya terbukti benar. Ketulusan seakan menjadi hal langka.
Paradigma Kapitalisme
Sikap kritis tersebut tentu bukan tanpa sebab. Kecurigaan itu ada alasannya. Berawal dari cara pandang kapitalisme, semua hal dilirik bila dirasa mengandung manfaat. Meninggalkan atau melakukan suatu aktivitas, bahkan sampai tataran pembuatan kebijakan, patokannya adalah untung-rugi dan kepentingan. Tidak ada ruang bagi pahala dan surga, keduanya dilupakan begitu saja.
Kita bisa melihatnya dari praktik-praktik pencitraan di musim kampanye. Itu hanya salah satu contoh. Di musim pemilihan umum level apa pun, tidak sedikit pihak yang mendadak menjadi seperti malaikat demi meraih simpati rakyat.
Contoh terbaru, seperti diberitakan oleh CNN pada (22-8-2023) tentang kenaikan gaji ASN, TNI, Polri, sebesar 8 persen, serta bagi pensiunan sebesar 12 persen. Dana sebesar 52 triliun rupiah dialokasikan dalam RAPBN 2024 untuk menaikkan gaji dan uang pensiun tersebut. Sebelumnya, wacana kenaikan gaji pegawai pun terjadi sesaat menjelang pemilu, yakni pada 2019 sebesar 5 persen.
Apakah salah jika sebagian kalangan menangkap adanya maksud tertentu di balik kenaikan gaji tersebut? Mengingat tahun politik yang sudah di depan mata. Bhima Yudhistira Direktur of Economic and Law Studies (Celios) menilai bahwa besaran gaji ASN masih mencukupi karena masih ada sejumlah pendapatan dari tunjangan. Dia pun mempertanyakan urgensi wacana kenaikan gaji ASN tersebut. "Ini jelas, kental pertimbangan politisnya dibanding urgensinya. Jangan karena dekat pemilu, banyak belanja yang indikatornya tidak jelas," ungkapnya. (kompas. com, 2-6-2023).
Ironi Wacana Kenaikan Gaji ASN
Sementara di sisi lain, inflasi masih mengintai. Harga barang dan jasa serta kebutuhan pokok naik di sepanjang tahun. Mampukah 8 persen tersebut berdamai dengan laju inflasi atau malah memicu gelombang inflasi? Sehingga meski naik gaji, tetapi kebutuhan tetap tak terbeli. Jika demikian, sejahtera hanya akan menjadi angan belaka.
Belum lagi potensi munculnya masalah lain, seperti kecemburuan sosial. Jumlah ASN sebanyak 4.25 juta, sedangkan jumlah penduduk total negeri ini jauh lebih besar, yakni 220 juta. Mereka juga mengalami problem ekonomi akibat inflasi. Kondisi mereka juga belum sepenuhnya pulih dari terpaan pandemi Covid-19. Pengamat kebijakan publik dan ekonom Achmad Nur Hidayat mengatakan bahwa kenaikan gaji ASN yang terlalu besar menjadi tidak bijak di saat publik kesulitan (mediaindonesia.com, 17-8-2023)
Sejatinya, sudah menjadi kewajiban bagi negara mewujudkan kesejahteraan bagi setiap warganya, termasuk para pegawainya. Namun, sayang, kesalahan dalam paradigma menjadikan capaian kesejahteraan ini terbatas pada kalangan tertentu saja.
Paradigma Islam
Jika kesejahteraan dimaknai sebagai terpenuhinya semua kebutuhan pokok, baik sandang, pangan, papan, juga pendidikan, kesehatan, serta keamanan, maka hal itu hanya akan terwujud ketika negara berdiri di atas fondasi wahyu Ilahi. Yakni menjadikan tuntunan Sang Pencipta sebagai pengatur negara. Bukan lagi mempertimbangkan aspek untung rugi. Sebab mengurus urusan rakyat bukan seperti akad jual-beli dengan rakyat, tetapi semata-mata demi menunaikan hak Allah atas pengaturan hamba-Nya.
Hak Allah atas penguasa adalah kewajiban penguasa memimpin dengan aturan Allah. Dalam pengambilan kebijakan, pertimbangannya hanya satu, yakni syariat. Kalau pun terselip maksud mendapatkan simpati tentu bukanlah simpati dari manusia. Namun, yang diharapkan hanyalah simpati dari Allah Swt..
Kesadaran bahwa di balik kekuasaan terdapat pertanggungjawaban dunia dan akhirat terlahir dari paradigma Islam. Islam bukan sekadar agama kepercayaan (spiritual), seperti agama pada umumnya. Islam adalah risalah kehidupan. Sistem kehidupan yang didesain secara cermat dan terukur oleh Zat Yang Maha Agung untuk seluruh manusia sampai kiamat datang.
Praktik ajaran Islam yang "kamilan" dan "syamilan" telah dicontohkan secara langsung oleh Nabi terakhir Muhammad Shallallahu 'alaihi wassalam. Terkandung di dalamnya konsep pengaturan setiap sendi kehidupan, termasuk mengatur soal kepemimpinan dalam sebuah negara. Maka spirit dari setiap kebijakan penguasa di sistem Islam adalah menjalankan amanah dari Allah. Bukan semata amanah dari rakyatnya, apalagi amanah "titipan" dari pemilik modal yang memiliki kepentingan.
Ketulusan dalam mengurusi rakyat, lahir dari kepribadian pemimpin yang menjadikan Islam sebagai prinsip hidupnya. Bukan kepentingan pribadi dan kelompok yang dikejar, melainkan demi mendapatkan rida Allah Swt.. Hadis riwayat Al-Bukhari menjelaskan bahwa imam (pemimpin negara) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya. Tampak jelas dan lugas, fungsi pemimpin adalah mengurusi kemaslahatan rakyatnya. Oleh karenanya, Allah sediakan pahala dan surga sebagai balasannya.
Maka bagi pemimpin dalam sebuah negara, hubungan dia dengan rakyat bukanlah hubungan jual-beli, atau untung rugi. Namun, hubungan pelayanan yang hisabnya langsung oleh Allah Swt..
Terkait urusan upah mengupah pegawai, hal ini menjadi bahasan tersendiri. Akadnya adalah akad ijarah. Kesepakatannya sesuai dengan kontrak kerja. Bagi ASN, dalam posisinya sebagai rakyat, maka jaminan kebutuhan pokoknya, menjadi hak untuk dipenuhi, sebagaimana rakyat lainnya. Hal ini sebagai wujud fungsi "raa'in" dari penguasa.
Dengan begitu, tak akan ada kesenjangan sosial di dalam masyarakat. Penguasa juga tidak perlu bersusah payah dalam meraih simpati, untuk tujuan apa pun. Baik penguasa maupun rakyat paham bahwa hubungan yang dilandasi keimanan dan ketakwaan akan melahirkan keharmonisan tanpa perlu "makan siang gratis".
Wallâhu a’lam bisshawwâb.
Via
Opini
Posting Komentar