Opini
Agar Pesantren Tak Sekadar Tren
Oleh: Meilina Tri Jayanti
TanahRibathMedia.Com—Setiap orang tua dari keluarga muslim tentu mendambakan memiliki keturunan yang saleh dan salihah. Namun, sistem sekularisme yang diberlakukan saat ini menjadikan upaya mewujudkan cita-cita tersebut terasa begitu sulit. Tantangan bagi orang tua untuk membersamai tumbuh kembang anak untuk menjadi manusia ber-akhlakul karimah, terasa begitu berat.
Sudah hampir 100 tahun umat muslim tidak lagi dijaga oleh aturan Sang Pencipta. Hal tersebut menyebabkan makin tergerusnya pemahaman sahih tentang tujuan dibangunnya keluarga, termasuk arah yang benar dalam mendidik generasi. Kondisi tersebut diperparah dengan kehidupan sosial yang makin individualis dan kian longgarnya aturan yang berlaku di berbagai sendi kehidupan masyarakat.
Akibatnya, banyak kasus menjerat generasi muda. Mulai dari bullying, pergaulan bebas, aborsi, tawuran, pembunuhan, perampasan hak, juga pelecehan seksual. Pelakunya dari berbagai kalangan, bahkan yang lekat dengan dunia pendidikan, baik pengajar maupun pelajar. Lebih miris lagi, terkadang pelaku pelecehan seksual itu adalah anggota keluarga sendiri. Setiap tahun kondisinya makin parah. Di beberapa komunitas, anak usia dini bahkan sudah terdeteksi positif virus HIV/AIDS.
Melihat fakta tersebut, wajar timbul perasaan miris dan khawatir pada siapa pun yang peduli dengan masa depan generasi. Namun, di sisi lain ada secercah harapan pada fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita. Maraknya kajian-kajian islami memberi dampak positif, yakni meningkatnya kesadaran umat untuk hidup sesuai dengan aturan Sang Pencipta.
Dengan munculnya kesadaran tersebut, tak sedikit keluarga muslim berupaya memperbaiki pola ajar terhadap anak-anak mereka. Sebagai contoh, sejak 2000-an, sekolah-sekolah berlabel Islam Terpadu (IT) dan pondok pesantren (ponpes) modern banyak diminati keluarga-keluarga muda untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Namun, perlu diperhatikan agar tidak terjebak sekadar mengikuti tren semata, maka setiap keluarga Muslim harus memiliki pemahaman yang benar bagaimana mendidik generasi.
Dalam pandangan Islam, salah satu tujuan membangun keluarga adalah untuk melahirkan generasi tangguh (berkepribadian Islam). Tujuan ini tentu saja hanya bisa diwujudkan dengan panduan wahyu Ilahi. Proses pendidikan anak bahkan dimulai sejak calon orang tua memilih pasangan hidupnya. Rasulullah saw. menuntun kita untuk memilih calon pasangan hidup berdasarkan pemahaman agamanya.
Selanjutnya, proses pendidikan anak dibagi menjadi beberapa tahapan usia:
Pertama, dimulai sejak dalam kandungan sampai usia 7 tahun (usia pra baligh). Di tahapan ini yang harus sampai pada anak adalah perkara akidah. Ibarat bangunan, akidah merupakan fondasi tempat berdiri kokoh sebuah bangunan.
Oleh karena itu, pengenalan terhadap Allah dan Rasulullah sejak dini akan membentuk anak-anak memiliki kepribadian Islam yang kuat. Sebab, pengajaran yang sampai pada anak pertama kali adalah pemahaman bahwa hidup di dunia ini semata hanya untuk mewujudkan ketaatan kepada Sang Pencipta. Dunia hanyalah tempat untuk meraih kebahagiaan hidup di akhirat yang kekal.
Di tahap pertama ini, perlu diperkenalkan sosok-sosok teladan yang akan menjadi panutan bagi anak. Banyak sosok sahabat Rasulullah saw. yang bisa diperdengarkan kisah hidupnya kepada anak-anak. Para sahabat Rasul tersebut tak segan mengorbankan harta, bahkan jiwa demi sampainya kemuliaan Islam ke seluruh dunia. Konsep dasar pendidikan tersebut harus disadari betul oleh pasangan suami-istri (pasutri) sehingga dapat mengantarkan pada tujuan, yaitu terbentuknya generasi berkepribadian Islam.
Kedua, saat anak menginjak usia menuju baligh, yakni usia peralihan dari anak-anak menuju remaja (8 sampai 15 tahun). Orang tua harus sudah mengenali dan memahami potensi masing-masing anak.
Di tahap ini, orang tua harus mulai menimbang, apakah mampu dan sanggup menangani serta memproses anak-anak mereka secara mandiri atau karena keterbatasan tsaqafah, mereka harus mewakilkan amanah pendidikan anak-anak mereka kepada lembaga.
Ketika orang tua memutuskan untuk mewakilkan amanah pendidikan pada lembaga yang mumpuni, semisal pondok pesantren, mereka harus sudah menyiapkan dengan matang.
Persiapan yang diperlukan meliputi materi dan mental.
Kenapa demikian? Tak jarang, ditemukan fenomena seorang anak merasa “dibuang” ketika mereka dipesantrenkan oleh orang tuanya. Mereka merasa terpaksa dan tertekan tatkala mengikuti pola didik pesantren. Dampak dari kondisi ini, biasanya anak gagal menyelesaikan pendidikannya di pesantren.
Untuk menghindari hal tersebut, proses penyamaan “frekuensi” antara orang tua dan anak harus dilakukan pada tahap kedua ini (8-15 tahun). Sampaikan pesan dan pahamkan mereka dengan bahasa yang baik tentang alasan orang tua mengamanahkan mereka ke pesantren. Arahkan mereka untuk memilih beberapa pesantren yang disarankan. Ajak anak untuk mengunjungi pesantren yang akan ditempati untuk menimba ilmu. Dengan begitu, ketika terjadi masalah, anak akan mudah untuk menerima nasihat dan mengingat kembali alasan mereka tinggal di pesantren.
Di samping itu, penting bagi orang tua memahami tujuan pendidikan yang diberikan kepada anak. Islam mengajarkan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mendapatkan ilmu dan membentuk kepribadian Islam. Ilmu harus dijadikan bekal dalam mengarungi kancah kehidupan dan menebar kemanfaatan. Seseorang yang mampu mengamalkan ilmunya, niscaya akan Allah angkat derajatnya, baik di dunia maupun akhirat.
Orang tua harus paham bahwa menyekolahkan anak bukan bertujuan agar kelak mereka memperoleh pekerjaan yang “bagus” dengan indikasi gaji tinggi. Jika tidak, orang tua akan terjebak dalam usaha menyekolahkan anaknya di sekolah favorit agar anak memperoleh ijazah dari sekolah tersebut. Memang, ijazah dalam sistem pendidikan sekuler saat ini menjadi hal penting sebagai bukti bahwa seseorang pernah menyelesaikan proses pendidikan. Namun, yang lebih penting tentunya tidak mengabaikan kualitas pendidikan.
Banyak orang pintar di negeri ini berhasil menduduki posisi tinggi di masyarakat, misalnya menjadi pejabat negara. akan tetapi, karena kecerdasan yang terbentuk tidak dilandasi dengan akidah yang benar, banyak di antara mereka menyalahgunakan jabatannya dan mengorbankan rakyat. Mungkin tak tergambar dalam benak mereka tentang pedihnya balasan di neraka. Pun, sebaliknya tak tersirat akan nikmatnya surga. Padahal, Rasulullah saw. dengan tegas menyatakan dalam sebuah hadis riwayat Ahmad, “Siapa pun pemimpin yang menipu rakyatnya, maka tempatnya di neraka."
Sudah saatnya kita bangkit dan memperbaiki pola ajar dan target pendidikan generasi muslim saat ini. Bukan sekadar ikut tren dan bukan hanya demi selembar ijazah. Tentu perjuangan ini tidak mudah. Patut disadari bahwa pengaruh buruk lingkungan akan lebih kuat menarik anak-anak generasi muslim ke jurang kenistaan dibandingkan nasihat baik dari orang tuanya. Oleh karena itu, menjadi kewajiban kita untuk mengarahkan generasi muslim itu pada lingkungan yang baik.
Sejatinya, anak adalah titipan Allah Swt.. Allah akan mengganjar dengan pahala berlimpah bagi orang tua yang mampu mengantarkan anak-anaknya menjadi generasi berkepribadian Islam, yakni generasi muslim yang mampu melanjutkan estafet perjuangan mewujudkan janji Allah Swt., menjadikan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamiin. Rahmat Allah yang akan menyejahterakan seluruh umat manusia. Bukan hanya umat muslim, nonmuslim pun akan merasakan keadilan hukum-hukum Allah. Namun, semua capaian tersebut hanya mampu diwujudkan apabila menerapkan sistem pendidikan Islam.
Wallahu a’lam bisshawwab
Via
Opini
Posting Komentar