Opini
Ketika Napi Korupsi Boleh Nyaleg dalam Demokrasi
Oleh. Elis Sulistiyani
(Komunitas Muslimah Perindu Surga)
TanahRibathMedia.Com—Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan nama bakal calon legislatif (bacaleg) pada 19 Agustus 2023 lalu. Dalam daftar tersebut ditemukan ada 15 daftar calon sementara bacaleg yang merupakan mantan narapidana korupsi. Kurnia Ramadhana, selaku peneliti Indonesia Coruption Watch (ICW) berpendapat dengan adanya temuan ini membuktikan bahwa partai politik masih memberi kesempatan bagi mantan napi korupsi untuk ikut serta menjadi bacaleg (Voaindonesia.com, 26-8-2023).
KPU Selaku penyelenggara pemilu juga tak bisa berkutik saat Mahkamah Agung (MA) membatalkan gugatan mengenai pelarangan napi jadi bacaleg. MA beralasan pembatalan ini dilakukan karena dianggap bertentangan dengan UU No.7 tentang pemilu (CNN.indonesia.com, 22-8-2023)
Demokrasi Membuka Peluang Napi Nyaleg
Dengan adanya putusan MA ini kita dapat melihat rusaknya sistem demokrasi. Seolah tidak ada lagi masyarakat yang layak mengemban amanah legislatif sehingga mereka yang mantan napi pun tetap diberi karpet merah untuk berkiprah. Selain itu, kita saksikan secara nyata untuk menjadi bacaleg memang hanya orang terpilih yang kuat dari segi modal karena di alam demokrasi jabatan pemerintahan layaknya pertarungan bisnis yang kental dengan untung rugi.
Banyak pihak yang terlibat, termasuk para pengusaha yang menjadi pendukung dalam urusan modal. Dan timbal baliknya pengusaha ini akan tetap langgeng "usahanya" untuk mengeruk sumber daya alam (SDA) milik rakyat Indonesia. Dan inilah realita demokrasi, aturannya telah melegalkan hak rakyat dimiliki individu. Maka tidak aneh jika masyarakat khawatir dengan adanya kebolehan mantan napi mendaftar kembali menjadi anggota legislatif, menjadi lingkaran setan yang tak akan pernah putus.
Dengan senantiasa berulangnya anggota legislatif yang terjerat kasus korupsi juga menunjukkan bahwa hukum belum bisa memberikan efek jera bagi mereka para koruptor. Sanksi sosial berupa pelarangan mendaftar menjadi bacaleg saja nyatanya tak bisa diterapkan dengan alasan bertentangan dengan undang-undang
Islam Beri Solusi
Sistem demokrasi saat ini memang mau tak mau membuat mereka yang ikut dalam kontestasi politik harus merogoh kocek lebih dalam. Ini karena masa kampanye membutuhkan dana yang tak sedikit. Hal ini yang diduga kuat menjadi celah terjadinya korupsi. Mereka yang ikut dalam kontestasi pemilihan anggota legislatif "dituntut" untuk mengembalikan modal yang sudah keluar.
Hal ini sangat berbeda kala kita sandingkan dengan sistem pemerintahan Islam yang tidak menjadikan kursi pemerintahan sebagai rebutan yang menggiurkan. Secara preventif, individu akan dibina ketakwaannya sehingga dia akan menyadari bahwa segala perbuatannya harus terikat hukum Allah karena kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Apalagi pada perkara pemerintahan yang notabenenya adalah mengurusi kebutuhan rakyat, bukan berebut kekuasaan.
Islam memandang bahwa siapa pun yang memangku kursi pemerintahan haruslah orang yang bertakwa dan juga memenuhi syarat-syarat yang ada dalam hukum syarak. Oleh karena itu, mereka akan menjaga amanah kepengurusan rakyat dengan baik dan tidak menyulitkan rakyatnya. Sebab, ada balasan yang pedih bagi mereka yang menyulitkan rakyatnya sebagaimana sabda Rasulullah:
"Ya Allah barang siapa yang mengurusi urusan umatku kemudian dia merepotkan umatku maka susahkanlah dia.” (HR Muslim: 1828)
Secara kuratif, Islam juga berikan sistem uqubat, yakni sanksi bagi mereka yang melakukan korupsi yang membuat jera karena dalam Islam fungsi hukum, yakni sebagai penebus dosa dan juga pembuat jera.
Sanksinya disebut ta’zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuk sanksinya bisa mulai dari yang paling ringan, seperti sekadar nasihat atau teguran dari hakim, bisa berupa penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir), hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Teknisnya bisa digantung atau dipancung. Berat ringannya hukuman ta’zir ini disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 78-89).
Demikianlah Islam hadirkan aturan komprehensif guna mewujudkan negara yang bebas dari korupsi dan mereka yang dipilih dalam pemerintahan ataupun yang mengurusi urusan rakyat adalah mereka yang amanah dan memiliki kemampuan.
Via
Opini
Posting Komentar