Opini
Krisis Air Bersih, Kenapa Terus Terulang?
Oleh: Umi Hanifah
(Aktivis Muslimah Jember)
TanahRibathMedia.Com—Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengingatkan adanya potensi musim kemarau kering yang puncaknya pada Agustus hingga September 2023. Kepala BMKG Dwikorta Karnawati mengungkapkan, kemarau tahun ini lebih kering di banding periode 2020-2022. Terbukti kekeringan sudah dirasakan hingga terjadinya krisis air bersih di beberapa daerah.
Di Bondowoso ancaman kekeringan mulai dirasakan warga di beberapa desa, seperti warga di Desa Purnama, Kecamatan Tegalampel yang kesulitan mendapatkan air bersih. Sekretaris Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bondowoso Andri Setiawan mengatakan ada lima desa yang menjadi langganan kekeringan dan krisis air bersih. Di antaranya Desa Purnama dan Desa Mandiro, Kecamatan Tegalampel. Selain itu, Desa Leprak, Kecamatan Klabang; Desa Sumbersari, Kecamatan Maesan; dan Desa Lumutan, Kecamatan Botolinggo. Bahkan untuk menikmati air bersih, pihak desa kerap mengajukan bantuan ke pemerintah daerah. "Kemarin kami dua kali pengiriman menggunakan truk tangki air kapasitas 5.000 liter ke Desa Purnama," katanya (katadata.co.id, 27-5-2023).
Namun, yang menjadi pertanyaan, krisis air bersih tidak terjadi hanya tahun ini, tetapi sudah berulang kali. Ironisnya, air kemasan justru selalu tersedia dengan jumlah yang banyak di berbagai tempat. Lantas, apa yang salah dalam pengelolaannya?
Salah Tata Kelola
Langkah pemerintah memang perlu diapresiasi dalam menanggulangi kekeringan dan krisis air bersih dengan membangun beberapa sumur dan bantuan langsung air bersih. Namun, solusi yang dilakukan selain jangka pendek, juga harus memperhatikan jangka panjangnya. Bantuan juga harus merata baik di perkotaan ataupun pelosok desa mengingat masalah ini terjadi hampir di seluruh wilayah.
Air adalah kebutuhan dasar yang tidak bisa ditawar, maka harus tersedia setiap saat dan mudah. Sementara saat ini, air sudah menjadi komoditas yang menggiurkan karena bisa menghasilkan banyak cuan. Di sinilah letak kesalahan tata kelola air dalam sistem kapitalisme liberalisme, di satu sisi air bisa menguntungkan segelintir orang atau pemodal, tetapi di sisi lain banyak orang menderita karena krisis air bersih.
Faktanya, di perumahan elite, hotel, perkantoran, mall dan tempat rekreasi, air bersih melimpah. Namun, di tempat lain, masyarakat mengalami krisi air bersih parah, bahkan mereka harus menempuh jarak berkilo meter untuk mendapatkannya. Tak jarang mereka membeli dan antri untuk mendapatkan air bersih di tengah himpitan ekonomi.
Inilah realita kehidupan yang diatur dengan sistem kapitalisme liberalisme. Sistem yang membebaskan siapa saja mengelola kebutuhan orang banyak dan tentu saja yang mampu mengakses adalah para pemilik modal besar. Sementara pelayanan terhadap masyarakat hanya dilakukan jika ada permintaan dan sering tidak ditangani dengan maksimal.
Islam sebagai Solusi
Berbeda dengan sistem lslam dalam memandang permasalahan air. Air dalam lslam adalah komoditas milik umum, artinya semua orang berhak memiliki, individu atau swasta dilarang menguasainya. Pihak yang boleh mengelola adalah negara sebagai wakil dari masyarakat. Dan dilarang pula memperjual belikan air selain dengan harga yang terjangkau, bahkan seharusnya air bisa diperoleh masyarakat dengan gratis. Sebagaimana hadis Rasulullah saw., “Manusia berserikat terhadap tiga hal: air, hutan, dan api (tambang) dan harganya adalah haram.” (HR Ibnu Majah).
Sebab, pemimpin dalam lslam adalah raa’in, ibarat pengembala dan akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya sebagaimana hadis riwayat Imam Muslim. Maka pemimpinlah yang harus bertanggung jawab menangani krisis air bersih hingga tuntas. Setidaknya ada dua langkah yang harus dilakukan negara untuk mengatasi kekeringan dan air bersih;
Pertama, secara teknis akademis. Negara harus mengoptimalkan para ilmuwan untuk meneliti terutama daerah yang rawan kekeringan untuk menemukan sumber air sekaligus menjaganya agar air tetap mengalir dengan tekhnologi termodern. Bisa juga mengolah air laut menjadi air tawar yang bisa langsung dikonsumsi. Memperbarui mitigasi dengan tekhnologi canggih, membangun bendungan untuk irigasi yang memadai di berbagai tempat terutama yang rawan kekeringan, membuat sumur-sumur bor di daerah pegunungan dengan biaya ditanggung negara.
Jika harus bekerja sama dengan swasta, maka sifatnya menyewa jasa bukan menyerahkan pengelolaannya kepada mereka. Ketika air diserahkan swasta, maka air menjadi komoditas yang diperjualbelikan dan tentu ada biaya besar yang harus dikeluarkan untuk mendapatkannya. Hal ini yang terjadi pada sistem kapitalisme liberalisme, lagi-lagi rakyat yang selalu merugi, beban hidup bertambah berat dan ini adalah bentuk kezaliman.
Kedua, langkah nonteknis. Yaitu dengan melakukan doa, memohon ampunan atas banyak dosa yang dilakukan dan salat Istisqa. Pelaksanaannya berjemaah yang di pimpin oleh kepala negara atau khalifah sebagai bentuk tawakal menerima qada-Nya.
Tatkala kekeringan melanda Mesir, maka Amr bin Ash sebagai wali atau gubernur mengirim surat kepada Amirul Mukminin Umar bin Khathab dan inilah jawaban surat Umar, "Dari hamba Allah, Umar Amirul Mukminin untuk Sungai Nil penduduk Mesir. Amma badu, jika engkau mengalir karena kehendakmu dan perkaramu, maka janganlah engkau mengalir karena kami tidak membutuhkanmu. Namun, jika engkau mengalir karena perintah Allah yang Maha Esa dan Kuasa, Dia-lah yang telah membuatmu mengalir. Kami memohon kepada Allah agar Dia membuatmu mengalir."
Kemudian Amr bin Ash melaksanakan pesan Khalifah Umar untuk membuang kartu tersebut ke Sungai Nil. Keesokan harinya, tepatnya pada Sabtu pagi, Allah Swt. membuat Sungai Nil kembali mengalir bahkan hingga setinggi 16 hasta dalam waktu satu malam.
Sangat jelas masalah krisis air bersih bisa tersolusi dengan tuntas jika diserahkan pengelolaannya dengan sistem lslam. Sebaliknya krisis air bersih akan terus berulang dalam sistem yang berasal dari nafsu yaitu kapitalisme liberalisme dan membuat hidup sengsara.
Wallahu a’lam
Via
Opini
Posting Komentar