Opini
Menghentikan Konflik Lahan Hanya pada Aturan Islam
Oleh: Chatharina, S.Si.
TanahRibathMedia.Com—Konflik lahan kembali terjadi. Ribuan warga Pulau Rempang di Batam melakukan unjuk rasa menolak untuk direlokasi atas rencana pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City yang dibangun untuk kebutuhan industri, perdagangan, dan pariwisata.
Dilansir dari CNN Indonesia (13-9-2023), proyek yang dikerjakan oleh PT Makmur Elok Graha (MEG) ini ditargetkan bisa menarik investasi besar dengan menggunakan lahan seluas 7.572 hektare atau sekitar 45,89 persen dari total luas Pulau Rempang yaitu 16.500 hektare. Imbas dari pembangunan proyek ini, diperkirakan ada sekitar 7.000-10.000 jiwa warga yang mendiami Pulau Rempang, Pulau Galang, dan Pulau Galang Baru harus direlokasi ke lahan yang sudah disiapkan. Warga pun menolak dan memilih bertahan.
Kamis (7-9-2023) terjadi bentrok tatkala aparat gabungan mencoba memasuki wilayah perkampungan warga untuk melakukan pemasangan patok lahan. Kerusuhan pun kembali terjadi pada Senin (11-9-2023) saat ribuan warga mendatangi kantor BP Batam Kota Batam untuk menolak rencana relokasi dan meminta tujuh warga yang terlibat aksi sebelumnya dibebaskan (cnnindonesia.com, 13-9-2023).
Kapitalisme Memicu Konflik Berkepanjangan
Konflik lahan yang terjadi di Pulau Rempang menambah panjang catatan kelam konflik lahan yang terjadi di negeri ini. Dalam 5 tahun terakhir paling tidak sebanyak 2.288 konflik agraria terjadi, sebanyak 1.437 orang dikriminalisasi, 776 orang dianiaya, 77 orang tertembak, dan 66 orang tewas di wilayah konflik agraria (www.dpr.go.id, 9-4-2023).
Tidak dimungkiri begitu besarnya kekayaan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia. Lahannya yang luas dan potensinya yang besar sebagai sumber penghidupan seharusnya memberikan kemanfaatan bagi rakyat. Namun, sayangnya, pengelolaannya oleh penguasa yang menerapkan sistem aturan kapitalisme sekuler inilah yang kemudian menimbulkan konflik berkepanjangan.
Ada beberapa poin yang menjadikan konflik lahan terus terjadi, antara lain:
Pertama, pembagian kepemilikan sumber daya alam yang tidak jelas. Mana yang menjadi milik negara, mana yang menjadi milik umum, dan mana yang boleh dikelola oleh individu atau korporasi. Dalam sistem kapitalisme, selama ia mampu, maka siapapun bisa memiliki kekayaan apa pun. Hal ini yang akhirnya mengakibatkan banyak ketimpangan.
Wakil ketua Komisi II DPR RI Syamsurizal mengatakan, ketimpangan dan ketidakadilan atas penguasaan tanah di Indonesia sudah sangat akut. Menurutnya, konflik agraria adalah buah ketidakadilan struktural. Tanah rakyat dirampas demi segelintir elite oligarki yang tidak pernah puas. Syamsurizal menambahkan bahwa, tercatat 68 persen tanah di Indonesianya dikuasai 1 persen kelompok pengusaha dan korporasi besar. Sementara lebih dari 16 juta petani bergantung hidup dari rata-rata lahan hanya di bawah setengah hektar saja.
Kedua, peraturan perundangan yang memperbesar kuasa dan dominasi korporasi. Terlebih kebebasan investasi yang dilegalisasi undang-undang bagi korporasi besar, termasuk swasta asing bahkan pada akses kepemilikan publik yang strategis. Termasuk di dalamnya sumber energi maupun sumber daya alam seperti hutan dengan areal konsesi yang sangat besar dan lama.
Dengan adanya legalisasi oleh pemerintah inilah yang kemudian memperbesar kuasa dan dominasi korporasi di Indonesia. Para korporasi besar makin leluasa mengeksploitasi sumber daya alam dan sulit tersentuh hukum karena didukung oleh penguasa dan dilindungi aparat negara. Di sinilah kemudian timbul konflik perebutan lahan sehingga bentrok antara warga dan aparat negara. Seperti yang terjadi pada kasus Pulau Rempang saat ini, yakni adanya kriminalisasi, intimidasi, bahkan kekerasan.
Ketiga, kekuasaan dijalankan tanpa visi. Hal ini tidak lepas dari sistem demokrasi yang melahirkan para penguasa terpilih hanya berdasarkan elektabilitas dan dukungan para kapitalis. Maka tidak heran jika para penguasa lebih tunduk pada kepentingan korporasi ketimbang kepentingan rakyat.
Selama praktik demokrasi masih berjalan, jangan harap ada para penguasa yang memiliki visi besar menjadikan negara ini berdaulat dan mandiri. Sekalipun ada yang punya idealisme yang kuat, tidak akan mudah merealisasikannya di tengah kepungan para kapitalis dengan kepentingannya.
Pengelolaan Lahan dalam Syariat Islam
Islam sebuah agama sekaligus ideologi yang memiliki aturan lengkap dalam seluruh aspek kehidupan. Begitupun dalam pengelolaan lahan, juga diatur dalam Islam. Berbeda dengan kapitalisme yang memiliki konsep kebebasan dalam kepemilikan kekayaan. Islam membagi kepemilikan sumber daya alam menjadi tiga kepemilikan yaitu kepemilikan umum, kepemilikan negara, dan kepemilikan individu.
Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw. bahwa, "Kaum muslimin berserikat dalam 3 hal yaitu air, padang rumput, dan api." (HR Imam Ahmad).
Maksud hadis di atas adalah bahwa barang yang mencakup hajat orang banyak adalah milik bersama dan haram hukumnya bagi negara menyerahkannya pada individu maupun pengusaha.
Dalam Islam, negara wajib mengelolanya dengan tepat tanpa membahayakan kehidupan rakyat dan lingkungan. Pendapatannyapun akan diperuntukkan guna memenuhi kebutuhan rakyat, seperti pendidikan, kesehatan, jihad, dan sebagainya. Serta haram hukumnya menjadikan pendapatan kekayaan milik umum diperuntukkan bukan untuk kebutuhan rakyat.
Negara juga akan memperhatikan produktivitas lahan. Jika lahan diterlantarkan lebih dari 3 tahun, maka negara berhak mengambilnya dan memberikan kepada orang lain yang mampu memproduktifkannya. Sabda Rasulullah saw., "Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka ia berhak atas tanah tersebut." (HR at-Tirmidzi).
Dengan menerapkan aturan Islam, semua prolematika umat akan terselesaikan, termasuk permasalahan lahan. Tidak akan ada konflik yang terus terjadi seperti kondisi saat ini karena pemimpin dalam Islam adalah pelayan bagi rakyatnya dan wajib baginya meri'ayah urusan umatnya. Sebab, hal itu akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat.
Wallahu'alam bisshawwab
Via
Opini
Posting Komentar