Opini
Mengurai Persoalan Pernikahan Dini di Kalangan Generasi
Oleh: Yulweri Vovi Safitria
(Freelance Writer)
TanahRibathMedia.Com—Pernikahan adalah sebuah ikatan yang diimpikan setiap manusia. Melalui pernikahan, segala sesuatu yang sebelumnya haram pun menjadi halal seketika. Namun, apa jadinya jika akad yang sakral tersebut dibatasi pada usia tertentu dengan dalih melindungi hak-hak generasi. Sebuah ironi ketika pernikahan dini dikebiri, tetapi zina (pacaran) dimaklumi. Akan dibawa ke mana generasi hari ini?
Pernikahan dini kembali menjadi perbincangan hangat karena jumlah anak yang menikah dini terus meningkat sejak pandemi Covid-19 melanda negeri (batam.tribunnews.com, 16-8-2023).
Di tengah maraknya pernikahan dini, Kemenag Pusat mengarahkan Kanwil Kementerian Agama Provinsi Kepri bersama Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, dan BKKBN Kepri untuk menjalankan program bimbingan remaja usia sekolah yang bertujuan menurunkan kasus pernikahan dini, yakni mengenalkan tentang perkawinan, usia berkeluarga, bagaimana berumah tangga, proses perkawinan, dan sebagainya (batam.tribunews.com, 16-8-2023)
Meskipun pemerintah melakukan upaya pencegahan untuk menurunkan kasus pernikahan dini, yakni melalui program bimbingan belajar, tetapi hal tersebut bukanlah solusi. Sebab bimbingan belajar hanyalah solusi parsial, bukan pencegahan yang berhubungan langsung dengan akar persoalan penyebab terjadinya pernikahan dini. Apalagi belakangan, pernikahan dini yang dilakukan adalah akibat terlibat pergaulan bebas bahkan hamil di luar nikah. Walaupun sebagian remaja yang melakukan pernikahan dini karena memang ingin menjaga agamanya dan sudah siap menjalankan tanggung jawabnya sebagai suami maupun istri.
Peran Liberalisme Kapitalisme
Jika dicermati, terjadinya pernikahan dini tidak lepas dari peran liberalisme kapitalisme. Sistem yang mengabaikan aturan Sang Pencipta untuk mengatur kehidupan termasuk pergaulan menyebabkan remaja tidak mampu membendung gharizah nau yang dimilikinya. Apalagi banyak rangsangan dari luar diri seorang anak yang menginjak usia baligh. Hubungan antara laki-laki dan perempuan yang tidak dilandasi akidah Islam menjadi penyebab utama seseorang tidak mampu menahan gejolak syahwatnya.
Belum lagi peran media sebagai hasil dari kemajuan teknologi, ikut memberi andil besar terhadap pergaulan. Sementara negara tidak menjalankan perannya untuk memfilter berbagai tayangan dan tontonan yang dapat mendorong syahwat generasi terus bergejolak.
Tidak hanya itu, kurangnya perhatian orang tua menjadi persoalan yang makin kompleks di kalangan remaja. Bukan sesuatu yang aneh hari ini, ketika orang tua disibukkan oleh urusan nafkah, anak-anak pun bebas berkelana, bebas bergaul tanpa arahan dan pendampingan dari orang tua.
Agenda Global
Tingginya angka pernikahan dini di Indonesia, yakni peringkat ke delapan terbesar di dunia disebut sebagai bencana nasional. Hal tersebut diungkapkan oleh Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo sehingga perlu pembatasan usia menikah di kalangan anak Indonesia (cnnindonesia.com, 3-7-2020).
Sementara itu, UNICEF berpendapat bahwa pernikahan dini berdampak buruk terhadap anak-anak. Oleh karena itu, program global mendorong anak-anak dan wanita muda menyadari hak mereka untuk menentukan takdir mereka sendiri. Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Eksekutif UNICEF Anthony Lake (news.detik.com, 7-3-2016). Untuk itu UNPFA dan UNICEF menjadikan isu pernikahan dini menjadi salah satu agenda global dengan dalih melindungi hak jutaan anak perempuan di dunia dengan mencegah anak menikah di usia muda.
Namun, melihat isu pembatasan usia menikah ini dikaitkan dengan usia kerja produktif, terlihat bahwa target sesungguhnya adalah untuk memanfaatkan potensi generasi muda dalam dunia kerja. Sesuatu hal yang lumrah terjadi ketika sistem kapitalisme diadopsi, maka segala sesuatunya pun dinilai dari perolehan materi. Dengan dalih pembangunan kualitas manusia sehingga memiliki daya saing di dunia kerja, para generasi muda diaruskan untuk mengejar materi yang pada hakikatnya untuk kepentingan kapitalis global.
Jangan Mau Terjebak
Jika pernikahan dini dianggap sebagai bencana nasional, mungkinkah dengan bimbingan remaja seperti pengenalan tentang usia pernikahan mampu mengatasi persoalan pernikahan dini? Jangan sampai ada maksud terselubung di balik agenda global yang diluncurkan oleh UNFPA dan UNICEF yang pada akhirnya makin menjauhkan generasi muda dari fitrahnya sebagai seorang muslim.
Oleh karena itu, sebagai muslim sepatutnya kita berpikir kritis terhadap realita pernikahan dini dan isu global yang berusaha dilemparkan ke tengah-tengah umat. Jangan sampai ikut-ikutan membatasi usia pernikahan remaja sementara mereka sudah mampu secara lahir dan batin.
Jangan sampai pula, persoalan anak seperti putus sekolah, mengalami kekerasan dalam rumah tangga, stunting, tertular HIV/AIDS, perceraian, dan meninggal dunia karena komplikasi saat kehamilan serta melahirkan lantas digeneralisir akibat pernikahan dini yang dilakukan. Tentu menjadi sesuatu yang aneh ketika pernikahan dini dikaitkan dengan berbagai persoalan yang sesungguhnya merupakan rentetan dari persoalan puncak ketika mengabaikan aturan Sang Pencipta.
Sebagai contoh misalnya HIV/AIDS. Berdasarkan dataindonesia.id pada 2022, sebanyak 17.893 orang menderita HIV/AIDS karena hubungan sesama jenis atau homoseksual, 12.072 orang karena hubungan heteroseksual, 7.310 orang melalui transfusi darah, 351 orang melalui jarum suntik, 189 orang karena hubungan biseksual, 12.324 karena penyebab lain.
Begitu pula dengan masalah stunting yang disebabkan oleh banyak faktor, yakni kurangnya akses terhadap makanan bergizi, air bersih dan sanitasi, layanan kesehatan, pengasuhan yang tidak baik. Ini artinya, mau menikah muda ataupun di usia matang versi pemerintah sama saja, sama-sama berisiko mengalami stunting selama persoalan utamanya tidak diatasi.
Pentingnya Kurikulum Berbasis Akidah Islam
Dalam Islam, sistem pergaulan dan juga sistem pendidikannya dilandaskan pada akidah Islam yang diterapkan oleh negara yang menerapkan aturan Islam pula. Hal-hal yang menjurus kepada kemaksiatan seperti pergaulan antara laki-laki dan perempuan diatur sedemikian rupa agar tidak merangsang syahwat. Orang tua menjalankan peran mereka untuk mendidik anak-anak sesuai tuntunan syariat sebagai bentuk tanggung jawab dan meyakini bahwa kelak akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah Swt. sehingga akan terbentuk anak-anak yang memiliki akidah Islam dan syahsiah Islam.
Kurikulum pendidikan Islam, baik pendidikan di sekolah maupun keluarga, yakni untuk menyiapkan anak agar mampu memikul beban mukalaf ketika sudah baligh. Kurikulum pendidikan agama Islam dimulai dari SD sampai SMA haruslah membahas tentang pernikahan dan pergaulan dalam Islam.
Terkait pergaulan laki-laki dan perempuan, keduanya diwajibkan untuk menutup aurat, melarang khalwat, melarang ikhtilat kecuali dengan alasan yang dibolehkan menurut syarak. Keduanya diperintahkan untuk menundukkan pandangan (ghadul bashar), melarang pacaran dan juga pergaulan bebas, dan melarang tabaruj bagi para perempuan.
Sementara itu, negara dengan aturan Islam akan memproteksi masyarakat dari serangan budaya, gaya hidup, pergaulan, politik, ekonomi, sosial yang akan menjauhkan masyarakat dari ideologi Islam. Media dikontrol oleh negara sehingga mampu memberikan tayangan yang mendidik dan mengedukasi masyarakat. Media dilarang menayangkan konten-konten yang berbau pornografi dan pornoaksi yang dapat mengundang syahwat, serta melarang segala sesuatunya yang mengarah kepada zina dan maksiat, seperti konten pergaulan bebas, pacaran, dan sebagainya.
Pandangan Islam terhadap Pernikahan
Dalam Islam, pernikahan merupakan sebuah ikatan yang sangat kuat (mitsaqqan ghalizhan). Pernikahan adalah dalam rangka untuk melestarikan keturunan, membentuk generasi cemerlang, saleh dan salihah, generasi yang akan mengubah peradaban.
Oleh karena itu, Islam tidak mengenal batasan usia untuk menikah. Sebagaimana pernikahan Rasulullah saw. dengan Ummul Mukminin Aisyah ra.. Maka ketika ada yang menyebutkan pernikahan Rasulullah saw. adalah pengecualian, tidak lebih dari sekadar dalih yang sengaja dihembuskan untuk mengebiri syariat Islam. Islam membolehkan siapa saja untuk menikah jika memang telah mampu untuk menikah. Akan tetapi, Islam juga memberikan solusi bagi mereka yang belum sanggup untuk menikah dengan menjalankan puasa sunah.
“Barang siapa yang belum mampu menikah, maka berpuasalah, sesungguhnya puasa itu adalah penekan syahwatnya." (HR Imam Ahmad dan Imam Bukhari)
Sementara itu, gharizah dan kecenderungan terhadap lawan jenis yang dimiliki laki-laki dan perempuan adalah fitrah dari Allah Swt. untuk hamba-Nya. Oleh karena itu, fitrah tersebut haruslah dijaga agar senantiasa berjalan sesuai dengan tuntunan syariat.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya. Dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS Ar-Rum: 21)
Dengan penerapan aturan islam itulah kehidupan masyarakat terutama generasi muda akan jauh dari hal-hal yang merusak karena diikat oleh akidah, pemikiran, dan aturan yang sama yang bersumber dari Allah Swt.. Wallahu a’alam.
Via
Opini
Posting Komentar