Opini
Terabaikannya Tarbiyatul Walidain
Oleh: R. Raraswati
(Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
TanahRibathMedia.Com—Berbagai kasus kenakalan remaja merupakan bukti gagalnya pendidikan di Indonesia. Data tersebut bisa didapat dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPA) yang mencatat 11.292 kasus selama Januari hingga 20 Juni 2023 (katadata.co.id, 20-6-2023). Kondisi ini menempatkan Indonesia pada posisi ke-67 dari 203 negara, sebagaimana dirilis Situs worldtop20.org tentang peringkat pendidikan dunia pada 2023. Tentu ini bukan prestasi yang menyenangkan. Butuh evaluasi sistem pendidikan di Indonesia. Lalu, apa penyebab gagalnya pendidikan di Indonesia?
Kapitalisme Membunuh Peran Ibu
Ternyata selama ini banyak orang tua berlomba dan berusaha maksimal dalam mendidik anak-anaknya. Namun, mereka lupa dengan pendidikan untuk dirinya sendiri sebagai orang tua. Kebanyakan orang tua berpikir telah memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anaknya, ternyata justru tanpa disadari, mereka telah merusak buah hatinya sendiri. Mereka bisa fokus dalam mencari materi tarbiyatul aulad (pendidikan anak), tetapi mengabaikan tarbiyatul walidain (pendidikan kedua orang tua).
Ya, tarbiyatul walidain (pendidikan kedua orang tua) merupakan pendidikan yang mengajarkan bagaimana peran orang tua dalam mendidik anak. Jadi, tarbiyatul aulad (pendidikan anak) sebenarnya adalah cabang dari tarbiyatul walidain (pendidikan orang tua). Jika pasangan suami istri sukses menjadi orang tua yang baik, pastinya tidak akan mengalami kesulitan dalam mendidik anak-anak mereka. Masalahnya, Indonesia yang mengadopsi sistem sekularisme kapitalisme telah mengabaikan tarbiyatul walidain ini. Buktinya pemerintah justru membunuh peran sejati ibu sebagai pendidik pertama dan utama dalam keluarga dengan memotivasi mereka untuk turut mencari nafkah di luar rumah.
Dengan dalih mengangkat derajat perempuan, kesetaraan gender, emansipasi wanita atau apa pun itu, para ibu didorong untuk ikut bekerja di luar rumah. Sementara itu, pengasuhan dan pendidikan anak-anak diserahkan sepenuhnya kepada asisten rumah tangga. Padahal dalam kaidah ushul menyebutkan bahwa hukum asal perempuan adalah menjadi ummun dan rabbatul bait, yaitu kewajiban utamanya adalah mengurus anak-anak dan rumah tangga. Maka kehormatan perempuan harus dijaga dengan memosisikannya di tempat terhormat, yaitu rumah.
Hal yang harus dipahami juga adalah perempuan yang bekerja dengan jabatan tinggi, derajatnya tidak lebih tinggi dari wanita di rumah. Dalam Islam, hanya ketakwaan yang membedakan derajat seseorang di hadapan Allah, sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an surah Al-Hujurat ayat 13 yang artinya: “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa…”
Namun, demikian, Islam tidak serta merta melarang perempuan bekerja. Pada dasarnya, perempuan bekerja hukumnya mubah, boleh. Hanya saja, perspektif perempuan bekerja dalam Islam bertolak belakang dengan kapitalisme yang bertujuan untuk membantu ekonomi keluarga dan bangsa. Sedangkan dalam Islam, perempuan bekerja dibolehkan untuk dedikasinya pada ilmu yang dimiliki. Perempuan boleh berkarya dengan tidak meninggalkan kewajiban utamanya sebagai ummun wa rabbatul bait. Sejatinya kewajiban mencari nafkah, Allah wajibkan kepada laki-laki saja sehingga perempuan boleh bekerja dalam rangka untuk kemaslahatan umat manusia.
Celakanya, lapangan kerja untuk laki-laki sangat minim disediakan pemerintah. Negara yang memegang teguh prinsip ekonomi kapitalisme lebih memilih membuka lapangan kerja untuk perempuan. Pasalnya perempuan lebih teliti, rajin, kreatif, dan yang paling penting tidak terlalu mempermasalahkan gaji sehingga mau dibayar murah. Tentu ini menjadi peluang besar bagi negara penganut paham kapitalisme sekuler untuk bisa memanfaatkannya.
Peran Negara
Selama ini negara hanya mendorong orang tua mencari penghasilan yang besar agar bisa memberikan pendidikan anak di sekolah unggulan. Padahal, sekolah unggulan di dalam sistem sekularisme tidak menjadikan akidah sebagai asas pendidikannya. Tentu saja ini tidak akan dapat mencetak generasi unggul sebagaimana Islam harapkan, yaitu manusia beriman yang mampu berpikir cerdas dan cemerlang. Namun, generasi unggul sesungguhnya hanya bisa terwujud di dalam negara yang menjadikan Islam sebagai asasnya. Negara berperan sebagai raa’in (penanggungjawab) terhadap rakyatnya, termasuk dalam hal tarbiyatul walidain.
Beberapa tanggung jawab negara terhadap tarbiyatul walidain (pendidikan kedua orang tua) di antaranya adalah:
Pertama, menguatkan akidah orang tua serta menjadikannya sebagai asas ketika mendidik anak. Kekuatan akidah orang tua akan mampu menanamkan fitrah keimanan kepada anak di masa golden age yang sesungguhnya fitrah itu telah terinstal pada setiap orang.
Kedua, memahamkan orang tua tentang tujuan pendidikan adalah semata-mata menjadikan seseorang sebagai muslim sejati yang mampu menggunakan ilmu pengetahuannya dalam setiap aktivitas. Orang tua diharapkan mampu membekali anak dengan pemikiran dan ide-ide akidah. Oleh karenanya, orang tua mestinya memiliki bekal pemikiran dan ide tersebut yang tentunya difasilitasi negara.
Ketiga, negara wajib menyampaikan tsaqafah dan ilmu pengetahuan dasar kepada orang tua. Tsaqafah Islam tersebut bukan sebatas akhlak dan ibadah, tetapi juga meliputi muamalah yaitu tentang ekonomi, pemerintahan, kebudayaan, sosial, politik luar negeri, dan sebagainya.
Keempat, negara wajib memfasilitasi sarana dan prasarana belajar orang tua yang memadai dan murah atau relatif terjangkau. Tempat belajar, guru, buku-buku dan sarana lainnya disiapkan negara.
Demikianlah peran negara dalam memberikan pelayanan terhadap tarbiyatul walidain (pendidikan orang tua). Peran orang tua sangat penting dalam mendidik anak-anak sehingga mereka harus berproses sendiri dalam mengembangkan potensinya. Orang tua bertanggung jawab dalam pembentukan karakter dan agama anak-anak. Orang tua adalah sosok yang akan diidentifikasi dan dicontoh anak-anak karena mereka adalah teladan terdekatnya.
Jika negara telah maksimal memberikan pelayanan dalam tarbiyatul walidain (pendidikan orang tua), insyaallah mereka juga mampu mencetak generasi-generasi Islam beriman yang mampu berpikir cemerlang untuk membangun peradaban gemilang, aamiin. Allahu a’lam bisshawwab.
Via
Opini
Posting Komentar