Opini
Refleksi Konflik Rempang: It's Just the Tip of the Iceberg
Oleh: Harumi, S. Pd.
TanahRibathMedia.Com—Setelah aksi represif pemerintah dengan mengerahkan sekitar 1.010 orang tim gabungan terdiri dari TNI, Polri, BP Batam, dan Satpol PP yang memaksa masuk ke perkampungan warga untuk pematokan lahan belum berhasil, pemerintah akhirnya terpaksa menunda rencana relokasi tersebut. Rencana relokasi yang dijadwalkan pada 28 September lalu ditunda melihat gejolak desakan dari berbagai elemen masyarakat agar rencana zalim tersebut dibatalkan.
Sebagai gantinya, kini pemerintah sedang mencoba melakukan pendekatan yang lebih "humanis". Penundaan relokasi warga Rempang bukti bahwa konflik ini masih akan berlanjut, berbagai upaya akan dilakukan demi memenuhi ambisi tidak manusiawi dan destruktif tersebut. Pulau seluas 1700 hektare ini sudah mendapatkan dana investasi sebesar Rp107 triliun dari investor Cina Xinyi Group yang akan membangun pabrik kaca dan panel surya. Ke depannya, kawasan di pulau ini akan terus dikembangkan sebagaimana yang sudah direncanakan pemerintah dalam proyek strategis nasional (PSN) yang disebut “Rempang Eco-City”. (Mongabay, 5-10-2023).
Konflik Rempang merupakan satu dari ribuan konflik sengketa tanah yang melibatkan rakyat kecil dan pemilik modal. Meski lagi-lagi rakyatlah yang dipaksa harus mengalah demi memenuhi ambisi para pemilik modal agar bebas mengekspliotasi dan merusak lingkungan hidup mereka. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengungkapkan selama periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo terdapat 2.710 konflik agraria yang berdampak terhadap 5,8 juta hektare tanah. Belum lagi jumlah korban yang terdampak pada konflik ini mencapai 1,7 juta keluarga di seluruh wilayah Indonesia (CNNIndonesia, 24-09-2023).
Kriminalisasi hingga penembakan kerap dialami oleh mereka yang ingin mempertahankan haknya atas tanah tersebut. Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika menyampaikan ada 1.615 rakyat yang ditangkap dan dikriminalisasi karena mempertahankan hak atas tanahnya. Sebanyak 77 orang menjadi korban penembakan, sebab aparat masih dimobilisasi di wilayah-wilayah konflik agraria. Bahkan 69 orang harus kehilangan nyawa (Kompas, 24-09-2023).
Di Bawah Kendali Oligarki
Richard Robison dan Vedi R. Hadiz dalam bukunya “Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Market” mengungkapkan, kalau oligarki yang ada di Indonesia tidak serta merta menghilang pasca reformasi. Justru oligarki bertransformasi dengan cara menyesuaikan konteks politik di Indonesia yang didorong neoliberalisme.
Setelah krisis ekonomi 1998, oligarki mampu bertahan dan jadi tokoh utama dalam dunia bisnis di Indonesia. Kekuatan pemilik modal yang dikenal dengan oligarki mampu menyesuaikan diri pada struktur politik baru Indonesia yang lebih demokratis di era reformasi. Akibatnya, oligarki masih mempunyai peran sangat menentukan dalam perpolitikan Indonesia hingga saat ini
Penelitian Tempo mengungkapkan 45,5% atau 262 anggota DPR terafiliasi dengan 1.016 perusahaan. Menurutnya, dari izin yang diterbitkan, 60 persen daratan di Indonesia sudah dialokasikan untuk korporasi (Tempo, 5-10-2019).
Sebuah ironi negara demokrasi, rakyat yang katanya berdaulat dibuat bertekuk lutut di bawah kendali para pemilik modal. Rakyat hanya boleh bermukim atas kehendak para kapitalis dan harus siap digusur jika sewaktu-waktu mereka menginginkan lahannya. Kedaulatan rakyat yang diusung demokrasi hanyalah ilusi semata. Yang ada hanyalah kedaulatan di tangan para pemilik modal.
Khalifah Perisai Umat dari Oligarki
Islam telah mengatur dan membagi kepemilikan menjadi tiga, yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Jika tanah tersebut memang milik negara, maka diperbolehkan memberikan tanahnya kepada siapapun yang dikehendakinya sesuai hukum syarak. Dalam Islam, jika ada pemimpin negara mengusir rakyat yang telah sekian lama mendiami suatu wilayah demi memenuhi kepentingan segelintir orang apa lagi untuk bisnis, ini adalah kezaliman!
Sebagaimana dikisahkan oleh Amirul Mukminin Umar bin Khattab yang mendapat pengaduan dari seorang Yahudi yang rumahnya terancam dirubuhkan karena gubernur Mesir waktu itu hendak membangun masjid.
Maka Amirul Mukminin langsung merespon dengan sangat jelas dan tegas, "Berlaku adillah kamu seperti huruf alif yang lurus. Adil di atas dan adil di bawah. Jika tidak bertindak lurus, kupalang di tengahmu. Kutebas batang lehermu!” Setelah itu rumah seorang Yahudi yang telah dibongkar tersebut akhirnya dibangun kembali (Republika, 17-07-2023).
Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw.,
"Barang siapa mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka akan dikalungkan kepadanya tujuh lapisan bumi." (HR Muslim).
Umat membutuhkan seorang khalifah yang mampu melindungi mereka dari berbagai kerusakan yang disebabkan oligarki. Menerapkan sistem pemerintahan Islam merupakan kebutuhan genting yang tidak bisa ditunda apa lagi diabaikan. Sudahi menaruh harapan pada sistem demokrasi yang telah nyata melanggengkan penguasa pro oligarki dan mengabaikan kepentingan rakyat dengan berjuang meneggakkan sistem Islam sehingga terwujud rahmat bagi seluruh alam.
Wallahu a'lam bisshawwab.
Via
Opini
Posting Komentar