Opini
Selesaikan Rempang Tanpa 'Kerempongan'
Oleh. R. Raraswati
(Aktivis Dakwah, Penulis Lepas)
TanahRibathMedia.Com—Relokasi warga Pulau Rempang, Kepulauan Riau masih menghantui benak warganya. Kendati Menteri Investasi Bahlil Lahadalia telah mengumumkan pembatalan pengosongan pada tanggal 28 September lalu, warga masih merasa was-was. Sebagian mereka belum berani meninggalkan rumah karena khawatir jika ditinggal, keluarganya akan dipaksa menandatangani surat kesediaan pindah. Pasalnya pada saat itu aparat bertindak represif Kamis (7-9-2023), sehingga meninggalkan trauma bagi penduduk Rempang. Padahal, masalah Rempang bisa selesai tanpa 'kerempongan'. Kenapa? Karena negara punya segalanya. Namun, bukan berarti bisa memperlakukan penduduk semaunya.
Awal Konflik
Pulau Rempang yang semula tenang, damai dengan kesederhanaan masyarakatnya, tiba-tiba 'rempong' menghadapi konflik tanah. Mereka yang sudah bertahun-tahun hidup di tanah adat ini diminta segera pindah. Semua berawal ketika PT. Makmur Elok Graha (MEG) ditunjuk Otorita Batam sebagai pemilik konsesi Rempang untuk kawasan terpadu eksklusif tahun 2001 dengan nota kesepakatan tahun 2004. Izin konsesi berlaku selama 80 tahun dan harus diperpanjang pada tahun ke-20.
Fakta selama 20 tahun tidak ada aktivitas apa pun di Pulau Rempang, itu artinya izin perpanjangan bisa ditolak. Karenanya, Tomi Winata, pemiliki Perusahaan Grup Artha Graha induk MEG menggandeng investor dari Cina, Xinyi Glass Holding Limited, produsen kaca yang dikabarkan menguasai 26% pangsa pasar dunia. Rencana investasi yang diperkirakan mencapai 381 Triliun itu disambut gembira oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartanto dengan membuat proyek Eco City sebagai Proyek Strategi Nasional (PSN). BP Batam berencana merelokasi sekitar 7.500 jiwa penduduk Pulau Rempang untuk mendukung proyek tersebut (Kompas, 13-09-2023).
Rencana Badan Pengusahaan (BP) Batam tidak semulus harapan. Warga Pulau Rempang menolak keras relokasi tersebut dengan berusaha melawan aparat gabungan yang dikirim untuk mengukur dan memasang patok pada Kamis (7-9-2023). Bentrok aparat dengan warga pun terjadi. Gas air mata dilepaskan, bukan hanya warga, tapi anak-anak di sekolah menjadi korban. Pada aksi ini, polisi menangkap tujuh orang tersangka.
Tidak berhenti di situ, unjuk rasa kembali terjadi pada 11 September di Kantor BP Batam. Bentrok dengan aparat kembali terjadi dan sebanyak 42 orang diamankan. Bahkan pasca Menteri Agraria dan Tata Ruang Hadi Tjahjanto mengabarkan bahwa seluruh tanah di pulau Rempang adalah milik BP Batam karena masyarakatnya tidak memiliki sertifikat hak guna usaha, aksi kembali terjadi pada 15 Septerber 2023.
Miris lagi, ketika masyarakat diminta untuk meninggalkan tempat hidupnya demi investasi yang 100 persen diberikan kepada swasta. Jika masyarakat belum memiliki sertifikat, maka tugas negara adalah membuat dan memberikannya. Bukan justru dijadikan alasan untuk menggusur mereka. Selain itu, Rempang merupakan tanah adat yang seharusnya dilindungi, bukan dieksploitasi oleh asing. Karenanya, melalui Ketua Lembaga Adat Melayu Kepulauan Riau Abdul Razak meminta agar pemerintah membatalkan rencana relokasi penduduk Pulau Rempang dan Galang.
Negara Punya Segala
Tidak ada yang sulit bagi negara untuk melakukan kebijakan. Mendatangkan investor atau justru membatalkannya. Kenapa? Karena negara punya segala. Negara punya kuasa, tentara, aparat, penegak hukum, dan juga kebijakan. Namun tindakan pemerintah yang seolah semena-mena terhadap penduduk Pulau Rempang menimbulkan pertanyaan dan praduga bahwa proyek itu bukan untuk kepentingan rakyat.
Keputusan negara memberikan konsesi kepada swasta menjadi indikasi proyek di Pulau Rempang bukan semata untuk kepentingan rakyat. Padahal sebagian wilayahnya merupakan hutan lindung dan hutan konservasi taman baru. PT. MEG, Xinyi, dan Menteri Invesatasi Bahlil menandatangani MOU untuk proyek Eco City Rempang. Proyek ini dijadikan Proyek Strategi Nasional (PSN) hanya agar mudah mendapat izin penggunaan kawasan hutan Rempang dengan menggunakan UU Cipta Kerja yang juga sebagai alat untuk pengosongan alias pengusiran warganya. Sungguh, kebijakan yang tidak memihak pada kepentingan rakyat.
Jika dinalar secara akal sehat, proyek yang akan dibangun adalah pabrik kaca terbesar di dunia. Seberapa strategis pabrik tersebut? Apakah butuh lahan sampai satu pulau? Kalau pun itu proyek strategis, mestinya dikelola pemerintah bukan diberikan kepada swasta. Jika pemberian konsesi kepada swasta karena alasan modal, sumber daya manusia, dan tenaga ahli, seharusnya negara bisa mengupayakannya. Karena negara punya segala.
Sebenarnya negara punya modal besar dari sumber daya alam yang Allah limpahkan kepada negeri ini. Hanya saja, karena lagi-lagi negara memberikan pengelolaannya kepada swasta dan asing, maka hasilnya menjadi sangat kecil. Seharusnya semua SDA dikelola negara, dan digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat.
Untuk sumber daya manusia, Indonesia memiliki orang-orang yang cerdas. Hal ini terbukti banyaknya generasi bangsa yang berprestasi di tingkat internasional. Hanya saja, negara tidak memfasilitasi, tidak memberi kesempatan mereka untuk berkarya. Maka mestinya negara menghargai kemampuan anak bangsa dengan memberi kesempatan menjalankan proyek-proyek terutama PSN.
Konsep Kepemilikan
'Kerempongan' pulau Rempang sebenarnya bisa selesai jika mengetahui konsep kepemilikan pada ajaran Islam. Warga yang telah tinggal di suatu tempat, tidak serta merta bisa digusur hanya karena tidak memiliki sertifikat tanah. Bahkan syariat Islam mengizinkan seseorang memiliki lahan dengan cara mengelola tanah mati, lahan yang tidak ada pemiliknya. Dalam hal ini Rasulullah bersabda:
“Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya dan tidak ada hak bagi pengambil tanah yang zalim (yang mengambil tanah orang lain)" (HR At-Tirmidzi, Abu Daud dan Ahmad).
Dari hadis tersebut, maka seharusnya negara justru memberikan sertifikat tanah kepada penduduk Pulau Rempang, bukan justru menjadikan alasan untuk menggusur. Sudah menjadi tugas negara memberikan sertifikat tanah bagi penduduk yang belum memiliki. Itu sebagai kewajiban pemerintah sebagai pelayan rakyat. Sekali lagi, negara punya segala, termasuk wewenang untuk memberikan sertifikat.
Begitu pula wewenang untuk menolak atau membatalkan investor swasta apalagi asing. Negara sangat bisa melakukannya, karena punya kuasa. Nah, segala yang dimiliki negara ini haruslah digunakan semaksimal mungkin untuk kepentingan dan kemakmuran rakyat, bukan sebaliknya. Maka, untuk menyelesaikan masalah Rempang, negara cukup memberikan penduduk sertifikat tanah, kemudian membatalkan kesepakatan dengan investor, meski itu mungkin akan membuat investor minta ganti rugi. Itulah tanggung jawab negara terhadap rakyatnya. Berani menanggung atas kesalahan yang pernah dibuat dengan mendatangkan ivestor asing. Jika langkah berani ini diambil negara, in syaa Allah Rempang kembali damai.
Allahu a’lam bish showab.
Via
Opini
Posting Komentar