Opini
Warga Rempang Kehilangan Kedaulatan di Tangan Rakyat?
Oleh: Sunaini, S.Pd, CTrQ
TanahRibathMedia.Com—Salah satu pelajaran kewarganegaraan yang pernah disampaikan oleh guru Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan adalah tentang Pancasila. Di antaranya fokus kepada sila keempat, yakni kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan. Begitupun yang digaungkan oleh para pejabat dan penguasa negeri.
Namun, fakta yang dapat disaksikan saat ini bahwa musyawarah yang hikmat itu sulit didapatkan oleh masyarakat yang tinggal di wilayah Rempang, Batam, Kepulauan Riau, tanah yang sudah ratusan tahun didiami oleh rakyat Melayu yang kemudian disebut Suku Adat Melayu, kini harus menghadapi keputusan penguasa yang hendak menggusur tempat tinggal mereka demi pembangunan Mega proyek Eco-City. Menteri Investasi Bahlil Lahadala mengatakan pembangunan ini tetap berjalan hanya saja membutuhkan waktu lebih untuk relokasi atau menggusur (BBC Indonesia, 28-9-2023), yang berarti proyek ini akan terus digencarkan.
Begitu banyak rintihan dan tangisan warga yang tidak rela jika mereka digusur dan dipindahkan begitu saja, meskipun ada janji sudah disediakan rusun. Kenyataan ini tentulah tidak semudah memindahkan barang dari satu tempat ke tempat lainnya. Artinya, jelas penggusuran ini tidak mengamalkan musyawarah dengan hikmat yang senantiasa dibanggakan itu. Ironis sekali.
Di lain laman, seperti kompas.com (5-10-2023) Badan Pengusahaan (BP) Batam terus memfasilitasi pemindahan dengan ajakan persuasif yang tidak memaksa rakyat akan tetapi pindahnya karena kesadaran dari hati nurani. Pendekatan persuasif yang dilakukan BP Batam ini tentunya dalam rangka melanggengkan rencana relokasi. Rakyat yang mau pindah, yang katanya "dari hati nurani" haruslah dilihat dari perolehan suara umum. Bukan berdasarkan pendapat beberapa orang saja. Tentu hal ini memperjelas bahwa sengketa tanah dalam sistem kapitalisme akan selalu dimenangkan oleh pihak tertentu yang berkuasa, punya "kekuatan" serta punya modal yang banyak.
Persoalan konflik agraria atau sengketa tanah seringkali berkaitan dengan status kepemilikan. Dalam Islam, status kepemilikan terbagi tiga, yakni kepemilikan individu, kepemilikan negara, dan kepemilikan umum.
Kepemilikan individu adalah hukum syariat atas benda atau jasa yang memberinya peluang bagi orang yang memilikinya untuk memperoleh manfaat dan imbalan dari penggunaan nya. Misalnya, rumah yang sudah sah dibeli atau kendaraan yang menjadi milik pribadi yang dimilik dengan cara yang halal. Termasuk kepemilikan tanah yang sudah dibeli, ataupun menjadi penggarap pertama, ataupun penghuni pertama yang kemudian ia disebut sebagai pemiliknya.
Kepemilikan umum adalah suatu benda yang dapat dimanfaatkan secara bersama-sama sesuai aturan dari Allah. Kepemilikan umum berlaku pada tiga hal. Pertama, semua yang dibutuhkan masyarakat umum, misalnya lapangan. Kedua, sumber daya alam yang jumlahnya tidak terbatas seperti sumber minyak. Ketiga, benda yang sifatnya tidak dibenarkan dimonopoli seseorang, seperti sungai.
Kepemilikan negara adalah setiap harta kekayaan yang penggunaannya tergantung pendapat pemimpin yang menjalankan perintah Allah dan memahami larangan Allah, seperti pajak yang dipungut berdasarkan syariat Islam pula.
Rasulullah Muhammad Shalallahu 'alaihi wasallam telah memberikan panduan terhadap status kepemilikan tanah sebagaimana sabda Rasulullah,
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّار
“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api". (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Dapat dipahami bahwa seluruh sumber daya alam yang jumlahnya tidak terbatas berupa padang rumput, air, dan api tidak boleh dikuasai oleh pengusaha, baik individu maupun kelompok atau swasta. Akan tetapi, harus dikelola oleh negara dan hasilnya diperuntukkan bagi kemaslahatan umat dengan adil.
Sebagaimana suku Melayu yang sudah lama menetap secara turun-temurun, mereka terlebih dahulu menggarap tanah kemudian melangsungkan kehidupan hingga saat ini. Tentunya dalam pandangan Islam tanah yang mereka garap sudah menjadi miliknya, seharusnya pemerintah harus memberikan legalitas secara hukum (sertifikat) bahwa itu milik mereka dan bukan sebaliknya mengeklaim tanah tersebut tidak jelas statusnya. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah yang artinya, “Barang siapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR Bukhari).
Jelaslah bahwa konflik agraria tidak akan dapat diselesaikan secara tuntas selama negeri ini tidak mengambil cara yang sudah dicontohkan oleh Rasulullah. Selama sistem kapitalisme yang dianut, maka selama itu pula rakyat tidak berdaulat. Maka merupakan sebuah kebohongan bila kedaulatan di tangan rakyat, pun tidak ada musyawarah dalam mufakat yang penuh hikmat atau pro rakyat. Oleh sebab itu, harus ada kesadaran umum bahwa aturan yang dibawa oleh Rasulullah adalah aturan yang mulia dan membawa keselamatan untuk kehidupan di dunia dan akhirat nanti. Wallahu a’lam bisshawab.
Via
Opini
Posting Komentar