Feature News
Hati yang Bergejolak
Oleh: L. Nur Salamah
(Sahabat Feature News)
"Bun, sini lah!" Suara itu mengalun lembut di telinga Ummu Lubna.
Dengan perasaan enggan dan tanpa kata-kata, perempuan itu pun mendekat.
"Sini lah!" Kata itu kembali terucap dari bibir Ibnu Silmi, sembari menepuk paha dan mengedipkan mata sebagai isyarat kesungguhan.
Ummu Lubna begitu memahami karakter dari lelaki yang sedang duduk santai dengan menyelonjorkan kaki tersebut, seketika meletakkan kepalanya di paha Ibnu Silmi, yang tidak lain adalah suami dari Ummu Lubna. Sosok lelaki saleh, berambut ikal, sabar, perhatian dan penuh kasih sayang, yang telah meminangnya 16 tahun silam. Jika ada hal serius yang ingin dibicarakan, termasuk menasihati, dia akan mencari waktu yang pas. Supaya tidak menyulut emosi.
"Sudah nelpon Emak?" Pertanyaan singkat kembali dilayangkan.
"Belum," jawab Ummu Lubna seadanya. Dia paham, suaminya ini pasti akan membahas hal yang sama sekali tidak diinginkannya.
Ia adalah sosok perempuan enerjik. Hari-harinya dihabiskan untuk mengurus rumah tangga, membersamai dan mendidik 5 buah hatinya. Di samping itu, ia juga masih menjadi penulis lepas, kontributor media cetak dan online serta aktif membina beberapa kajian secara offline atau tatap muka. Namun, masa lalunya yang pahit dan kehidupannya yang cukup keras, sedikit banyak berpengaruh terhadap pribadinya yang cenderung agresif, keras dan emosional. Ada hal sedikit saja yang tidak sesuai, amarahnya membuncah seketika.
"Telpon Emak lah! Emak itu kangen karo sampean. Sampean anak satu-satunya," untaian kata nan lembut itu bak air yang terus mengalir.
"Huch. Males. Kesel" gumamnya dalam hati. Namun, perempuan itu tetap bergeming, tak kuasa mengeluarkan argumen bantahan terhadap lelaki yang di segani dan ditaatinya.
"Besok kalau sempat, telpon ya!" Pinta lelaki itu kepada istrinya.
"Bunda repot. Apalagi kalau ada anak-anak pasti riweuh," otaknya terus berputar mencari alasan yang bisa mematahkan perintah belahan jiwanya.
"Lagi pula, Bunda itu malas telpon Emak kalau gak ada sampean. Bukan apa. Ntar kalau emosi tersulut ada yang menenangkan. Kadang aku nanya dibilang maido (menyalahkan). Trus nangis gero-gero. Jadi aku lebih baik diam," jawabnya dengan segudang argumentasi yang intinya mencari alasan supaya tidak dipaksa untuk menelpon.
Sikap Emak yang sangat kolot dan bersumbu pendek, tak berpendidikan dan jauh dari agama membuat Ummu Lubna deg-degan kalau ngomong sama Emak. Takut salah. Kalau sudah ngamuk tidak tahu haluan. Bahkan anggota dalam tubuh pun diucapkannya. Bahkan, pernah rumah tangganya nyaris kandas gegara sikap Emaknya ini. Fitnah dan prasangka buruk yang menyudutkan Ummu Lubna pun pernah terjadi. Hingga image buruk dirinya terdengar masyarakat seperumahan kala itu.
Sebagai suami yang selama ini membersamai, Ibnu Silmi sangat memahami karakter istrinya. Goresan luka di masa lalu sulit untuk disembuhkan. Bayangan masa lalu terus menghantuinya.
Belum lagi sejak kecil ia tidak pernah mendapatkan belaian kasih sayang, dibesarkan di lingkungan yang jauh dari agama. Pertengkaran orang tua setiap hari terjadi. Bahkan tidak pernah sekalipun ia melihat orang tuanya akur. Hampir setiap amarah adalah Emak sebagai penyebab.
"Ayah tahu sampean sakit hati. Tapi, sampean juga tahu bagaimana seharusnya sikap kita terhadap orang tua. Seperti apapun keadaannya, Emak adalah orangtua sampean, orang tuaku juga. Jangankan Emak, yang masih ada kebaikannya. Andaikan seorang ibu hanya melahirkan saja, kemudian ditinggalkan begitu saja tidak dirawat, tetap saja sebagai anak wajib berbakti dan hormat kepada orang tuanya. Karena orang tualah yang menyebabkan manusia lahir ke dunia," nasihat bijak itu bak tamparan yang tepat mengenai sasaran.
"Ayah benar. Tapi gimana aku memulai nelpon? Nanti kalau aku telpon, Emak nangis histeris atau marah-marah. Tapi aku ini lo panutan orang. Aku dipanggil ustazah, tapi hubunganku dengan Emak tidak baik. Astaghfirullah," hatinya terus bermonolog. Mencoba mengajak berdamai dengan hatinya.
Sinar mentari telah menembus celah ruangan, langit biru dan cuaca cerah Batam ternyata belum secerah hati Ummu Lubna. Kegalauan itu mendominasi perasaannya. Rutinitas pagi yang biasa dilalui adalah menyiapkan bekal dan antar anak-anak sekolah belum mampu mengalihkan perasaannya yang keruh.
Isi rumah cukup hening tanpa teriakan dan drama para malaikat kecil yang menghiasi hari-hari Ummu Lubna. Anak pertama, kedua maupun ketiga berada di sekolah masing-masing. Kedua jagoan yang masih batita itu kebetulan sedang bermain.
"Ya Allah... Mampukan aku untuk memaksa diri ini memulai hal baik. Bukan mengharap balasan dari siapapun termasuk Emak, tapi rida-Mu adalah kebahagiaan hakiki," hatinya terus bermonolog.
Bukan perkara yang enteng ketika harus melawan ego atau gharizah baqa. Perasaan kesal, benci, sakit hati, kecewa dan segala macamnya. Kalau bukan Allah yang menjadi sandaran jelas berat dan tidak akan pernah dilakoninya.
Sebelum memutuskan untuk menghubungi orang tuanya. Ummu Lubna meminta sang suami untuk cek harga tiket ke Batam. Karena sudah agak lama orang tuanya ingin ke Batam. Walau bagaimanapun orang tua itu merasa lebih nyaman di Batam, dekat dengan anak semata wayangnya.
Hal itu sudah dirasakan sekitar dua tahun yang lalu. Karena sakit, berobat ke mana-mana tak kunjung sembuh, ternyata di Batam sembuh dengan sendirinya.
Ummu Lubna paham betul karakter Emaknya. Segala sesuatu harus ideal, harus sesuai keinginannya. Maka wajar, jika tidak sesuai bisa menyebabkan stres, marah-marah, sakit hingga depresi.
Sejujurnya dari lubuk hatinya yang terdalam malas dia berurusan dengan Emaknya ini. Karena ujung-ujungnya pertengkaran. Dia malu dan tidak suka dengan keributan Emaknya. Belum lagi sifatnya yang selalu ingin dikasihani orang lain. Suka mencari perhatian orang membuat Ummu Lubna jengah.
Untungnya, sang suami yang penyabar dan paham terhadap syariat selalu menasihatinya, bahkan tidak jarang ia paksa istrinya ini untuk berbuat baik kepada Emaknya.
Cuaca pagi menjelang siang di Batam tidak terlalu terik. Dua jagoan Ummu Lubna masih asyik bermain di teras rumah. Dengan menarik nafas panjang. Dengan terus menata hati, harus siap dengan segala yang terjadi nanti. Tidak boleh tersulut emosi. Bulatkan tekad hanya untuk mengharapkan rida Ilahi Rabbi.
"Assalamualaikum... Hug hug hug...," jawaban terdengar dari seberang. Sudah diduga sebelumnya. Tangisan histeris pasti akan terjadi. Dalam hati Ummu Lubna tidak henti-hentinya beristighfar dan menahan hati untuk tidak bergejolak.
"Waalaikumussalam," jawaban singkat dari Ummu Lubna untuk Emaknya.
Dengan tidak begitu menghiraukan pembicaraan Emak yang panjang lebar, Ummu Lubna langsung memotong dengan memberitahukan jadwal keberangkatan ke Batam.
"Hach?" Tanya Emak seperti tak percaya dan setengah terkejut.
"He eh, Mak. Tanggal 9 Maret, sampean mangkat ning Batam. Tiket e ngkok ben di print ke Mas To," ucap Ummu Lubna dengan logat Jawanya.
"Berarti karek semono ndino kuwi. Karek patang dino," jawaban Emaknya antara senang atau bingung mempersiapkan apa yang mau dibawa.
Ummu Lubna dengan sikap datarnya bilang ke Emaknya agar tidak usah membawa barang-barang terlalu banyak. Yang penting pakaian saja. Tempat tinggal sudah disewakan meskipun dengan perlengkapan alakadarnya. Setidaknya tidak tinggal satu atap. Biar Emak juga nyaman dengan Pak e. Tapi tetap bisa dekat. Segala keperluan semua ditanggung oleh suami Ummu Lubna.
Tanpa terasa tanggal 9 Maret 2023 pun tiba. Emak dan Pak terbang ke Batam via Lion Air. Ummu Lubna, suami dan anak-anaknya turut menjemput di Bandara Hang Nadim Batam. Alhamdulillahiladzi bini'matihi tatimmushalihat. Segala kemudahan, kebaikan serta keberkahan pun hadir menyertai. Hingga hari ini Emak dan Pak e masih kerasan tinggal di Batam. Bahkan sejak di Batam, Pak e yang seumur hidupnya gak pernah salat dan gak tahu tentang salat, sekarang tidak pernah meninggalkan salat berjamaah. Meskipun tidak tahu bacaan salat.
Emak pun, yang dulu suka ngamuk gak jelas. Delapan bulan di Batam hampir tidak pernah lagi. Hanya sekali dua kali saja bermuka masam. Namun tidak sampai lepas kendali.
Kadang si Emak ini mau juga ikut serta duduk di majelis ilmu ketika Ummu Lubna memberikan kajian umum. Maka benar, jika manusia berniat dan memikirkan tentang kebaikan niscaya Allah akan menuntunnya menuju jalan tersebut.
WaAllahu'alam Bisshowwab
Via
Feature News
Posting Komentar