Opini
Ironi Kisruh Beras di Negara Agraris, Islam Tawarkan Solusi
Oleh: Meilina Tri Jayanti
TanahRibathMedia.Com—Beras merupakan bahan pangan yang masih dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat. Oleh karena itu bagi masyarakat Indonesia tidak mudah untuk menggantikan beras ke komoditas pangan lainnya. Memasuki musim tanam pada 2023, di beberapa wilayah sentra produksi padi, petani mengalami beratnya proses budidaya.
Dari fakta yang terpantau di lapangan, selain masalah ketersediaan pupuk bersubsidi, masalah seperti serangan hama tikus dan kemarau panjang menjadi kendala dan tantangan bagi petani. Hal inilah yang menyebabkan stok pangan nasional sedikit terganggu.
Sebagaimana ilmu ekonomi menyatakan bahwa terbatasnya jumlah barang dalam memenuhi permintaan pasar, akan menyebabkan harga barang tersebut mengalami peningkatan. Inilah yang tengah dirasakan masyarakat. Belum lagi usai menghadapi masalah kenaikan harga sayuran, minyak goreng, gula, listrik, air hingga BBM. Justru sekarang ditambah dengan naiknya harga beras.
Sehingga wajar jika tanggapan yang cukup pedas banyak dilontarkan oleh emak-emak ketika ada oknum pejabat yang menyarankan masyarakat untuk mengganti beras dengan sumber karbohidrat yang lain.
Alih-alih memberikan nasihat yang menenangkan “hawa panas” masyarakat, jusrtu pernyataan-pernyataan pejabat publik tersebut makin menambah rasa putus asa dan kecewa masyarakat.
Faktor Penyebab Meningkatnya Harga Beras
Fluktuasi harga beras dipengaruhi oleh ketersedian beras nasional dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri. Meskipun Indonesia dijuluki sebagai negara agraris, namun tidak menjamin kebutuhan pangannya terpenuhi secara mandiri. Hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya:
Pertama, mahalnya sarana produksi. Sumber-sumber hulu sektor pertanian umumnya dimiliki oleh perusahaan-perusahaan swasta baik asing maupun lokal, seperti PT. Pupuk Indonesia, PT. BISI Internasional Tbk, PT Bumi Teknokultura Unggul Tbk. Perusahaan-perusahaan tersebut bergerak dalam bidang pupuk, benih, pestisida, logistik, perdagangan, dan bioteknologi pertanian. Untuk mendapatkan sarana produksi tersebut, petani harus membelinya dengan harga yang tidak murah. Hal ini mempengaruhi biaya produksi yang pada akhirnya biaya tersebut dibebankan pada konsumen akhir.
Kedua, alih fungsi lahan.
Makin tahun, luas lahan pertanian makin menyempit. Ini disebabkan adanya alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan industri, bandara dan perumahan.
Adanya UU Agraria yang menetapkan lahan abadi tidak berpengaruh terhadap masifnya alih fungsi lahan pertaian. Jika tidak diimbangi dengan pemanfaatan teknologi dibidang pertanian untuk meningkatkan produksi, dan kebijakan yang “ramah” terhadap pendukung sektor pertanian, maka bisa dipastikan ketersediaan pangan nasional akan selalu menjadi masalah di negeri ini. Stok pangan nasional yang tidak mampu mencukupi kebutuhan pangan masyarakat akan membuat harga beras semakin mahal. Namun apabila kondisi tersebut direspon dengan kebijakan impor beras, akan menyebabkan mengendurnya semangat petani yang dapat mengakibatkan loss generation di bidang pertanian.
Ketiga, gagal panen. Memasuki 2023, petani banyak mengeluhkan beratnya bekerja pada sektor pertanian. Dimulai dari serangan hama tikus sejak fase vegetatif hingga fase generatif. Tidak heran, mereka pun harus melakukan beberapa kali proses penanaman bibit dan mengulang proses pemupukan. Biaya yang dikeluarkan juga berkali lipat. Diperparah dengan dampak El-Nino yang panjang, menyebabkan lahan sawah mengalami kekeringan di fase-fase tanaman sedang memerlukan cukup air. Sampai pada waktu panen, hasilnya pun tidak terlalu baik. Bahkan di beberapa wilayah mengalami gagal panen/puso. Pada akhirnya kondisi ini mempengaruhi stok pangan nasional.
Pengelolaan Pertanian dalam Pandangan Islam
Sumber pangan merupakan hal yang penting bagi kemajuan sebuah bangsa. Berawal dari ketersediaan dan keterjangkauan pangan oleh masyarakat, mereka dapat memulai aktivitas dengan baik. Apalagi bagi anak usia pertumbuhan dan perkembangan, ketersediaan pangan, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas, merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi.
Oleh karena itu, seorang pemimpin negara bertanggung jawab atas pengadaan dan pendistribusian pangan ke seluruh penjuru wilayah kekuasaannya. Berbekal petunjuk Allah Swt. dan Rasulullah saw., upaya tersebut niscaya dapat terwujud.
Tuntunan Islam dalam mencapai ketahanan dan kedaulatan pangan sebagai berikut :
Pertama, pembagian kepemilikan harta. Islam membagi kepemilikan menjadi tiga yaitu kepemilikan individu, umum, dan negara. Individu memungkinkan untuk memiliki harta dan sekaligus mengelolanya. Sumber kepemilikan individu dapat diperoleh dari jalan yang dihalalkan oleh syariah seperti bekerja, waris, hibah dan hadiah.
Sumber kepemilikan umum berasal dari sumber daya alam yang dianugerahkan Allah terhadap suatu negara. Pada kepemilikan jenis ini, negara tidak berhak memiliki. Negara dalam hal ini adalah penguasa, hanya berwenang untuk mengelola dan manfaatnya harus disalurkan kepada seluruh warga negara. Bentuk penyaluran pemanfaatannya dapat berupa pembangunan pabrik alsintan (alat, mesin pertanian), pabrik sapras (sarana prasarana) pertanian (seperti pabrik pupuk, pestisida, benih), dan pinjaman modal tanpa riba.
Sedangkan sumber kepemilikan negara berasal dari ghonimah, kharaj, khumus, fa’i, jizyah, usyr. Pengelolaan harta yang dimiliki oleh negara pun bertujuan untuk kesejahteraan warga negara. Negara boleh menghadiahkan bagian tanah fa’i kepada individu yang memang membutuhkan. Hanya dari satu sektor, kemudahan hidup masyarakat bisa tergambar. Masya Allah hebatnya Islam!
Dengan kejelasan kepemilikan tersebut tertutup peluang bagi sebagian pihak merampas hak pihak yang lain. Aturan seperti itu tidak akan ditemui pada sistem kapitalis ataupun sosialis. Hanya aturan Sang Pencipta yang dapat meredam sikap rakus pada diri seseorang.
Seorang penguasa Muslim akan berhati-hati dalam menjalankan kepemimpinannya. Dia sadar, kepemimpinannya akan dipertanggungjawabkan tidak hanya di dunia bahkan sampai akhirat.
Kedua, penguasaan lahan. Terikat (include) dengan proses produksi, Rasulullah saw. melarang sewa menyewa lahan pertanian, sebagaimana hadis yang diriwayatkan Muslim: “Rasulullah Saw melarang mengambil sewa atau bagian atas tanah."
Dalam riwayat lain, Rasulullah memerintahkan untuk menyerahkan pengelolaan lahan kepada orang lain apabila pemilik lahan tidak mampu menggarapnya. Bila dipahami lebih mendalam dan dipraktikan, petunjuk Rasulullah ini dapat menutup peluang feodalisme dan meningkatkan daya tawar petani. Pemilik lahan hanya memiliki dua pilihan apabila tidak mampu menggarap lahannya, yaitu menyerahkannya pada orang yang mampu menggarapnya, atau dia harus mengupah orang untuk menggarapnya. Dalam hal ini, petani yang diupah tidak berisiko menanggung kerugian.
Tidak seperti yang dialami petani saat ini. Kebanyakan mereka yang mempunyai keterampilan dalam bertani, namun tidak memiliki lahan, lalu mereka menyewa lahan kepada pemilik lahan dengan sistem bagi hasil. Ketika mendapatkan keuntungan, besarannya tidak seberapa, namun ketika mengalami kerugian, mereka harus menanggungnya sendiri.
Para tuan tanah, apabila dalam tiga tahun tidak mampu menghidupkan lahannya sendiri, dia harus menjual atau menyerahkan pengelolaan dan manfaatnya pada orang lain. Dari sini kita mendapat gambaran bahwa distribusi lahan pertanian niscaya terjadi. Lahan-lahan tidur pun dapat dihindari. Semua lahan pertanian produktif, serta pendapatan petani dapat merata. Penguasa pun dapat memetakan lahan berdasarkan potensinya, misalnya potensi tanaman pangan pokok, sayuran, buah-buahan, tanaman pangan ternak dan semisalnya.
Ketiga, distribusi. Tanggung jawab selanjutnya bagi seorang penguasa adalah mendistribusikan pangan sampai pelosok wilayah. Ketersediaan pangan saja bagi sebuah negara tidaklah cukup bila masyarakat tidak mampu menjangkau baik dari sisi produk maupun harganya.
Keterjangkauan pangan dari sisi produk dapat dicapai dengan jalan penguasaan lahan yang terikat dengan proses produksi. Sedangkan keterjangkauan pangan dari sisi harga dapat dicapai dengan jalan pengontrolan sarana prasarana transportasi dan rantai tataniaga perdagangan. Melalui perangkatnya, penguasa wajib mengawasi kemungkinan penimbunan bahan pangan dengan tujuan spekulasi. Penegakan sanksi hukum diberlakukan kepada mereka yang melanggar tanpa pandang bulu.
Demikianlah pandangan Islam dalam pengelolaan lahan pertanian yang bertujuan untuk menyejahterakan setiap warga negara dan menguatkan posisi negara dari segi pangan. Suatu saat nanti aturan-aturan Allah pasti akan terwujud dan pada saat itulah semua manusia dapat merasakan keadilan Sang Pencipta dalam mengurus kehidupan manusia.
Wallahu a’lam bish-shawwab.
Via
Opini
Posting Komentar