Opini
Polemik Penutupan Tiktok Shop
Oleh: Zahra Anjani Musa
(Aktivis Dakwah di Depok)
TanahRibathMedia.Com—Pemerintah resmi merevisi Permendag 50 Tahun 2020 menjadi Permendag 31 Tahun 2023 yang sudah ditetapkan dan berlaku di tanah air. Salah satu isi revisinya mengenai larangan media sosial berperan ganda sebagai e-commerce yang bertujuan untuk menata iklim bisnis di dunia digital. Hal ini dipicu karena keluhaan para pedagang di Tanah Abang, Jakarta tentang sepinya pengunjung yang datang ke toko secara langsung. Bahkan, sebagian dari mereka harus ‘gulung tikar’, lantaran tidak sanggup bersaing dengan e-commerce yang menjamur di sosial media seperti TikTok shop.
Di sisi lain, Indonesia adalah pengguna TikTok terbesar kedua di dunia setelah AS. Menurut laporan firma riset Statista, jumlah pengguna TikTok di Indonesia tercatat sebanyak 113 juta per April 2023. Berdasarkan data dari konsultan Momentum Works, transaksi e-commerce Indonesia mencapai 52 miliar dolar pada 2022, dan 5% terjadi di TikTok, terutama melalui fitur siaran langsung.
Potensi pasar shoppertainment, termasuk live streaming, di Indonesia sebesar US$27 miliar atau sekitar Rp405 triliun pada 2025. Tiktok shop Indonesia dipandang kerap kebanjiran barang-barang impor sehingga produk lokal UMKM kalah bersaing. Sehingga pemerintah memandang perlu untuk menutup e-commerce yang ada dalam rangka melindungi produk lokal.
Padahal strategi TikTok menggabungkan media sosial dan e-commerce sebenarnya hanya inovasi teknologi untuk membuat bisnis semakin lancar. Kebijakan larangan berjualan di TikTok sepertinya tidak akan berpengaruh terhadap kesejahteraan UMKM. Hal ini disebabkan karena e-commerce seperti TikTok Shop hanyalah inovasi yang seharusnya disambut dengan regulasi yang memihak pada rakyat. Sehingga pemerintah selayaknya tidak menafikan banyaknya pedagang yang merasa terbantu dengan adanya jual beli di TikTok.
Akar persoalannya adalah belum adanya regulasi tepat yang bisa memperbaiki ekosistem usaha dalam negeri. Pemerintah seolah-olah anti inovasi dan perkembangan teknologi. Alih-alih memfasilitasi, mereka malah menutup keran pembelanjaan online dengan harapan masyarakat akan beralih ke pembelanjaan secara offline.
Namun jika dibandingkan, masyarakat sudah terlanjur memperoleh berbagai keuntungan dengan melakukan pembelanjaan melalui e-commerce. Para pemilik modal yang selama ini menjadi ‘pembisik’ arah kebijakan pemerintah, merasa dirugikan dengan menjamurnya e-commerce yang ada. Tak ayal, kita bisa melihat indikasi kapitalisme yang menjadikan ‘keuntungan’ sebagai tujuan.
Berbeda dengan sistem Islam yang menjadikan negara sebagai pihak sentral dalam seluruh urusan rakyatnya sehingga pemerintah akan menjamin kesejahteraan rakyatnya, baik dengan mekanisme ekonomi, yaitu memudahkan seseorang untuk bekerja maupun menciptakan ekosistem bisnis yang baik.
Islam juga mempersilakan perdagangan komoditas di luar kebutuhan dasar berjalan sesuai dengan mekanisme pasar sempurna. Peran negara akan sangat adaptif terhadap inovasi dan menstimulus anak bangsa untuk terus menjadi yang terdepan dalam inovasinya. Karena perkembangan teknologi sebab inovasi akan memudahkan urusan hidup manusia selama masih bersumber dari syariat.
Dalam hal ini negara akan mengatur perdagangan dan jual beli dalam negeri sehingga memiliki regulasi yang tinggi dan memihak rakyat. Sehingga terwujud masyarakat yang sejahtera.[]
Via
Opini
Posting Komentar