Opini
Putusan MK untuk Kepentingan Siapa?
Oleh: L. Nur Salamah, S.Pd.
(Penulis, Pengasuh Kajian Mutiara Ummat)
TanahRibathMedia.Com—Heboh. Beberapa waktu lalu, berita tentang keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang berbunyi "Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah" menghiasi berbagai media.
Keputusan tersebut terkesan ada kepentingan politik dari pihak-pihak yang sangat berambisi untuk menduduki kursi kekuasaan. Adapun keputusan MK ini diajukan saat menjelang pemilu. Disadari atau tidak, ada salah satu cawapres yang terbentur masalah umur. Apakah ini suatu kebetulan atau ada unsur kesengajaan. Karena calon tersebut adalah anak dari penguasa rezim saat ini.
Beredar juga berita mengenai utusan istana berkomunikasi dengan Hakim MK. Walau awalnya ada penolakan namun Ketua MK yang kebetulan paman dari cawapres dan saudara ipar penguasa rezim justru mengabulkan pengajuan tersebut.
Jika kita perhatikan seolah rezim ini telah merusak tatanan perpolitikan yang ada. Jika ada aturan yang menghalangi ambisi politiknya, maka aturan itu akan diubah melalui perangkat kekuasaannya. Melayani kepentingan rakyatnya adalah sebatas slogan dan janji yang nihil bukti. Semua dikorbankan demi ambisi kekuasaan diri, keluarga dan golongannya.
Maka suatu hal yang wajar, jika ada anggapan bahwa rezim ini brutal dalam berpolitik. Menghalalkan segala macam cara untuk meraih kepentingan dan ambisinya. Jika sebelum berkuasa saja sudah berani bermain-main dengan aturan, apalagi nanti saat berkuasa. Maka akan meniscayakan kebrutalan yang lebih dasyat. Karena memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk mengatur. Ujungnya rakyat kembali menjadi tumbal kekuasaan.
Apabila dibiarkan, kebrutalan politik ini dikhawatirkan akan memakai logika kepentingan keluarga dan golongan. Maka, logika dari pihak lain atau yang tidak sejalan akan dianggap salah dan melawan hukum. Hal tersebut memungkinkan adanya berbagai tuduhan seperti anti pemerintah, anti Pancasila, anti NKRI, dan pernyataan-pernyataan yang merugikan pihak lain.
Hal tersebut di atas juga memungkinkan program pembangunan yang dicanangkan pun tidak berorientasi pada kepentingan rakyat, tapi berdasarkan kepentingan keluarga dan golongan saja.
Pandangan Islam tentang Putra Mahkota
Islam dengan tegas mengharamkan proses peralihan kekuasaan dengan adanya putra mahkota. Atau kekuasaan diwariskan pada anggota keluarganya. Islam mensyaratkan dalam memilih pemimpin harus bebas, tidak ada paksaan pemilihan calon apalagi saat memilihnya. Adanya putra mahkota secara tidak langsung menunjukkan rakyat menerima pilihan raja sebelumnya atas siapa yang nanti akan meneruskannya kekuasaannya. Hal ini bertentangan dalam syariat Islam.
Sejarah mencatat dengan jelas bahwa sepanjang diterapkannya Islam penyerahan kekuasaan hanya bisa dilakukan dengan baiat. Tidak sah jika hanya dengan pengangkatan putra mahkota. Walaupun tidak dimungkiri bahwa pernah terjadi penyelewengan kekuasaan namun tetap ada baiat di dalamnya.
WaAllahu'alam Bisshowwab.
Via
Opini
Posting Komentar