Opini
Ilusi Pemberantasan Korupsi dalam Kapitalisme
Oleh: Wida Nusaibah
(Pemerhati Kebijakan Publik)
TanahRibathMedia.Com—Mengharapkan negeri ini bebas dari tindak pidana korupsi tampaknya masih jauh panggang dari api. Bahkan, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemberantasan korupsi, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun mulai pudar.
Apalagi, setelah penetapan ketua KPK nonaktif, Firli Bahuri, sebagai tersangka kasus korupsi. Firli terjerat dugaan kasus pemerasan atau gratifikasi terkait perkara korupsi di Kementerian Pertanian. Dia juga tersandung dugaan kepemilikan rumah mewah di Kertanegara, Jakarta Selatan. (tirto.id, 9-12-23).
Padahal, KPK merupakan sebuah lembaga yang menjadi harapan masyarakat untuk dapat memberantas korupsi di negeri ini hingga ke akar-akarnya. Jika internal KPK saja tersandung kasus korupsi, ke mana lagi masyarakat bisa berharap untuk pemberantasan kasus korupsi?
Korupsi bukan saja banyak terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara seluruh dunia. Tak heran, dunia mencanangkan Hari Anti Korupsi Dunia (Hakordia) yang diperingati setiap 9 Desember. Tahun ini, KPK pun turut memperingati Hakordia dengan mengusung tema, “Sinergi Berantas Korupsi, untuk Indonesia Maju”. KPK ingin mengikutsertakan peran masyarakat untuk berpartisipasi dalam meningkatkan kesadaran memberantas korupsi yang ada, khususnya di Indonesia.
Sinergi dalam pemberantasan korupsi demi Indonesia maju tampaknya masih menjadi sebuah ilusi yang mustahil terealisasi. Sebab, hal tersebut berkaitan erat dengan penerapan sistem politik demokrasi yang meniscayakan terjadinya praktik politik transaksional berbiaya tinggi. Di mana biaya tinggi tersebutlah yang banyak menjadi faktor penyebab para petinggi negeri melakukan korupsi demi mengembalikan modal biaya yang dikeluarkan sebelum menduduki sebuah jabatan. Mental seperti ini akan tetap ada selama sistem kapitalis demokrasi masih diterapkan. Sebab, manusia hanya fokus pada pencapaian materi semata.
Kemustahilan tersebut jelas dapat disingkirkan hanya dengan sistem Islam. Sebab, Islam adalah seperangkat aturan dari Allah Sang Pencipta yang sempurna menjangkau seluruh lini kehidupan, termasuk dalam urusan politik bernegara.
Dalam Islam, segala perbuatan terikat hukum syarak atas landasan keyakinan bahwa setiap perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak di akhirat. Negara berkewajiban menciptakan suasana keimanan, sehingga terwujud keimanan individu maupun keimanan kolektif yang kuat. Tak heran, setiap individu berbuat atas landasan keimanan, sehingga dalam hal untuk mendapatkan jabatan tidak akan ada upaya menghalalkan segala cara termasuk menghindari suap menyuap yang jelas dilarang dalam Islam. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah yang salah satunya terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 188 terkait larangan mendapatkan harta dengan cara yang batil.
Kemudian juga sesuai dengan hadis Rasulullah saw. yang artinya: "Allah melaknat orang yang menyuap, orang yang menerima suap, dan orang yang menjadi perantara antara keduanya" (HR Imam Ahmad dan ath-Thabrani).
Dengan keimanan, setiap individu akan menghindari larangan Allah tersebut. Maka, setelah mendapatkan jabatan pun tidak akan bingung untuk mengembalikan modal, karena jabatan yang diperoleh bukan dari hasil suap menyuap. Sehingga perilaku tindak pidana korupsi dapat dicegah. Sebab, pejabat dalam Islam dipilih bukan sekadar dari keprofesionalan dalam bidangnya. Akan tetapi, juga dipilih dari sisi ketakwaannya.
Selain itu, negara berkewajiban mewujudkan kesejahteraan secara merata pada masyarakat hingga tataran individu. Dengan begitu, masyarakat tidak akan tersibukkan lagi dengan aktivitas mengejar dunia, karena setiap kebutuhan telah terpenuhi dengan baik. Masyarakat tidak akan melakukan korupsi demi memperkaya diri, karena harta berlimpah ruah tidak ada artinya lagi.
Selain itu, Islam juga punya hukuman yang tegas dan bersifat menjerakan agar tidak terulang kesalahan serupa. Hukuman tegas bagi pelaku korupsi tersebut adalah hukuman ta'zir, yakni sesuai dengan ijtihad hakim yang disesuaikan pada tingkat kesalahan yang dilakukan pelaku. Hukuman tersebut bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk, hingga hukuman mati.
Begitulah, ketika Islam diterapkan secara total maka akan terwujud individu baik rakyat maupun pemimpin yang bertakwa. Juga akan terwujud mekanisme mulai dari pencegahan hingga pemberian hukuman yang tegas. Semua pihak pun akan dapat bersinergi dalam memberantas setiap tindak kejahatan termasuk korupsi, karena suasana keimanan dan ketakwaan telah terwujud.
Wallahu a'lam!
Via
Opini
Posting Komentar