Opini
Jaga Muruah (Marwah)
Oleh: L. Nur Salamah, S.Pd.
(Tim Redaksi Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Heboh. Hampir di setiap beranda sosial media, sosok Abu Ubaidah kini menjadi idola para emak dan remaja. Sosok lelaki yang dipandang sempurna, tegas, lantang dalam membela kebenaran dan karismatik ini mengalahkan bintang Korea.
Bukan wajahnya yang menawan, karena sosok Brigade Al Qassam, sayap militer Hamas ini selalu menutup wajahnya. Sehingga tidak terlihat dan membuat penasaran. Akan tetapi sikapnya yang pemberani menentang Zionis Yahudi yang telah melakukan genosida terhadap rakyat Palestina inilah menjadikan dirinya idaman wanita seantero dunia.
Lantas, bolehkah kita mengidolakan atau mencintai seseorang atau sosok tertentu? Jawabannya boleh. Namun, kebolehan tersebut tentu Islam memiliki rambu-rambu untuk mengatur dan membatasi.
Mencintai yang Dibolehkan
Islam adalah akidah yang memancarkan segenap aturan tentu memiliki rambu-rambu dalam hal mencintai dan dicintai. Mencintai yang dibolehkan bahkan dianjurkan sampai tingkat kewajiban adalah bentuk cinta yang dibenarkan oleh syara' seperti: Lelaki mencintai perempuan yang dinikahinya (istri), ini bukan kebolehan tapi menjadi suatu kewajiban.
Maka, cinta yang diberikan di sini dalam bentuk tanggung jawab nafkah lahir maupun batin, perlindungan, pengayoman termasuk mendidiknya. Demikian sebaliknya. Seorang wanita wajib mencintai lelaki yang menikahinya (suami). Adapun bentuk cintanya berupa pengabdian, ketaatan dan pengorbanan.
Bagaimana jika yang kita cintai adalah orang lain? Dari hadis Abdullah bin Mas'ud yang disepakati oleh al-Bukhari dan Muslim, beliau berkata yang artinya: Seseorang datang kepada Rasulullah saw. dan berkata, "Wahai Rasulullah saw., bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang mencintai suatu kaum tapi tidak mampu menyusul (amal saleh) mereka?" Maka Rasulullah saw. bersabda, "Seseorang akan bersama orang yang dicintainya."
Hadis di atas mengajarkan kepada kita bahwa cinta yang dibolehkan dan dibenarkan adalah mencintai sesuatu karena keagungan Allah, mencintai sesuatu yang dicintai oleh Allah, mencintai sesuatu yang dekat kepada Allah. Termasuk mencintai hamba (manusia) yang mencintai Allah. Sehingga, kita akan mengikuti amal/ perbuatan yang dilakukan oleh orang yang dicintainya dengan harapan mendapatkan pahala yang serupa dan diridai oleh Allah Swt..
Misalnya: Mencintai para ulama dan bergegas melaksanakan nasihatnya. Mencintai guru-guru kita dan bergegas mengikuti jejak kebaikannya. Sehingga cinta kita berharap rida dari Allah Swt..
Cinta yang Tidak Dibolehkan
Adapun cinta yang yang tidak dibenarkan oleh hukum syara' adalah mencintai makhluk/ orang asing yang didasari oleh nafsu atau syahwat semata. Mengagumi hal-hal yang bersifat fisik tanpa memuji Allah. Apalagi kalau perasaannya itu diluapkan dan dapat dilihat oleh khalayak ramai seperti media sosial. Jelas ini merupakan sikap atau perilaku yang menjatuhkan marwah sebagai perempuan.
Sebagaimana yang terjadi baru-baru ini. Para emak dan remaja mengagumi sosok Abu Ubaidah. Sampai membandingkan dengan suaminya, yaitu lelaki yang telah Allah halalkan baginya.
Padahal, jika kita memahami, pasangan hidup yang telah Allah anugerahkan pasti yang terbaik untuk kita. Suami kita, adalah lelaki terbaik yang Allah ciptakan untuk kita. Demikian sebaliknya. Seorang istri adalah perempuan terbaik yang Allah ciptakan untuk suami. Terlepas dengan berbagai kekurangan yang dimiliki. Karena Allah menciptakan manusia dengan segala kekurangan dan kelebihannya masing-masing.
Tidak bisa kita membandingkan nikmat kita dengan orang lain. Karena Allah adalah Maha Pencipta yang sangat adil, yang Maha Mengetahui yang terbaik untuk hamba-Nya. Masing-masing akan diberikan ujian dan kenikmatan yang berbeda-beda. Termasuk suami dan anak-anak. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an surah An-Nur ayat 26, yang artinya, "Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji dan perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji (pula). Sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula)."
Ayat di atas sangatlah jelas. Allah Swt. tidak akan pernah salah dalam menentukan jodoh untuk setiap hamba-Nya. Manusia sendiri sebagai makhluk yang lemah dan terbatas, yang penuh dengan kejahilan dan kefakiran sering menganggap bahwa apa yang dilakukan adalah baik dan mendapatkan kebahagiaan.
Padahal, kebahagiaan itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan kekayaan, kesempitan hidup, ketampanan, kecantikan maupun hal-hal yang bersifat jazadiah semata. Kebahagiaan itu akan diberikan kepada orang-orang yang cerdas meskipun tidak diberikan kelapangan rezeki. Sedangkan tolok ukur kebahagiaan bagi seorang muslim adalah mendapatkan rida dari Allah Swt..
WaAllahu'alam Bisshowwab
Via
Opini
Posting Komentar