Opini
Menjadi Muslimah Bahagia
Oleh: Yulida Hasanah
TanahRibathMedia.Com—Tanpa terasa, 11 bulan telah berlalu di tahun 2023 ini. Waktu begitu cepat berputar dan Desember juga akan segera berakhir. Namun seringkali tiap penghujung tahun tiba, muncul pertanyaan “selama menjalani hidup dari tahun ke tahun, sudahkah kita bahagia menjadi muslimah sejati?"
Dari berbagai literasi yang penulis baca, bahagia secara bahasa bisa diartikan sebagai ketenangan hati, kepuasan jiwa atau bebas dari kesulitan hidup. Pun, jika mengutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahagia adalah keadaan atau perasaan tentram dan senang atau berada dalam kondisi bebas dari segala hal yang menyusahkan hidup kita.
Sedangkan secara makna istilah, bahagia dibagi menjadi dua jenis. Yakni kebahagiaan materiil dan kebahagiaan non materiil. Kebahagiaan materiil bisa diartikan sebagai sebuah kepuasan dan ketenteraman apabila telah terpenuhi semua kebutuhan yang bersifat materi dalam kehidupan seseorang. Misalnya, orang tua yang Allah karuniai anak-anak yang lucu dan sehat, seorang pebisnis yang mendapatkan untung besar dari bisnisnya, memiliki rumah impian, kendaraan yang nyaman, perhiasan-perhiasan mewah, barang elektronik paling canggih dan lain sebagainya.
Adapun kesenangan non materiil lebih dekat dengan kesenangan atau kepuasan jiwa saat mendapatkan nilai-nilai maknawiyah. Ada yang disebut ‘kebahagiaan intelektual’, seperti seseorang yang memliki kedudukan terhormat, mendapat pujian atas berbagai hasil prestasi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibuktikan dari hasil karya ilmiah atau buku yang ditulisnya.
Ada juga istilah ‘kebahagiaan moral’, seperti seorang muslimah yang hidup dalam keluarga sakinah, meskipun kehidupan ekonomi pas-pasan tapi hubungan suami-istri dan anak-anak diwarnai dengan akhlakul karimah, saling menghormati dan saling menyayangi. Selain itu, ada juga ‘kebahagiaan imani atau kebahagiaan spiritual’, yakni seperti yang digambrakan dalam Kitab Shifat ash Shafwah yang ditulis oleh Imam Ibnul Jauzi, dikisahkan pengalaman Abu Qudamah asy Syami, seorang saleh dari kalangan tabi’in yang hatinya selalu terpaut pada jihad fii sabilillah. Hal ini bisa kita hari ini pada gambaran kebahagiaan saudara-saudara kita di Palestina. Bahagia dalam kemenangan jihad fii sabililah dan bahagia saat menjumpai syahidnya. Masyaa Allah!
Termasuk juga dalam kebahagiaan spiritual yakni apa yang disebutkan dalam hadis sahih, “Bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan, yaitu kebahagiaan ketika berbuka dan ketika berjumpa dengan Tuhannya karena puasanya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Begitu juga saat kita menemui atau mendapati kisah orang-orang salih yang menemukan kebahagiaan saat salat malam, umrah-haji, membaca Al-Qur'an atau saat berzikir atau wirid.
Dari berbagai makna kebahagiaan yang disebutkan di atas, tentu saja kita menginginkan menjadi muslimah yang memperoleh semua jenis kebahagiaan tersebut. Tak hanya hidup dalam keadaan tenteram tanpa dikelilingi oleh berbagai kesulitan hidup. Juga pasti ingin merasakan bahagianya sebagai muslimah yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Hanya saja, yang kita dapati hari ini. Kondisi muslimah bukannya menemukan kebahgiaannya, justru sedang dikelilingi oleh berbagai kesulitan hidup yang tak kunjung usai. Para muslimah dihadapkan dengan problem ekonomi hingga terpaksa masuk dalam lingkaran generasi sandwich, yakni hidup dalam himpitan dua beban ekonomi yang harus dia tanggung secara bersamaan. Hal ini seiring dengan makin langkanya akses pekerjaan bagi kaum laki-laki dan para perempuan ‘dijadikan’ mesin ekonomi.
Tak hanya itu, para muslimah juga paling banyak menanggung masalah hidup hingga menjadi manusia-manusia mental illness. Tak heran jika data berbicara, perempuan Indonesia lebih banyak terkena gangguan mental daripada laik-laki. Ini sesuai dengan data yang dihimpun oleh Our World in Data 2019. Diperkirakan 1 dari 3 perempuan dan 1 dari 5 laki-laki akan mengalami depresi berat dalam hidupnya. (Katadata.co,id, 18-9-2023).
Bahkan muslimah hari ini juga terjerat dalam pemikiran-pemikran rusak yang menjauhkan hidupnya dari kebahagiaan. Salah satunya adalah pemikiran feminisme yang menuntut adanya kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan yang ahirnya memunculkan ‘ketidakpuasan’ kaum perempuan dengan fitrahnya sebagai ibu, istri, masalah-masalah kodrati lainnya yang memang diciptakan berbeda dengan kaum laki-laki, dan masih banyak pemikiran rusak lainnya yang menjadikan hidup kaum muslimah penuh beban.
Semua masalah yang menimpa kaum perempuan termasuk muslimah di negeri ini tentu saja bukan tiba-tiba ada dan datang begitu saja. Perlu dipahami bahwa berbagai masalah yang membelit muslimah hari ini sejatinya berpangkal dari diadopsinya cara pandang barat yang makin terhujam di benak mereka, yaitu sekularisme. Cara pandang ini terus memengaruhi hingga mereka lupa jati diri dan visi hidupnya. Sedari lahir hingga memasuki jenjang pendidikan, nilai-nilai sekuler terus ditanamkan pada mereka.
Di sisi lain, pendidikan agama yang kurang dalam keluarga, maupun di berbagai jenjang pendidikan. Menjadikan muslimah tumbuh dan hidup minim bekal agama. Padahal agama adalah fondasi yang akan mengarahkan seseorang dalam memandang hidupnya. Akibatnya, mereka tidak paham hakikat penciptaann manusia, tujuan hidupnya, dan cara menjalani kehidupan dengan benar.
Hal ini diperparah dengan meterialisme yang tanpa henti menggiring pola pikir masyarakat khususnya muslimah untuk terus fokus pada perolehan materi belaka. Bagi masyarakat sekuler, materi dianggap sebagai satu-satunya tolok ukur kebahagiaan. Walhasil, siapapun akan berlomba mencari sebanyak-banyaknya materi agar bisa hidup bahagia. Tidak peduli, apakah merugikan orangclain atau tidak. Selama ia mendapatkan manfaat, dianggap sah-sah saja.
Tentu saja, ini adalah masalah yang tidak kita inginkan terus menerus terjadi di tengah-tengah kita hingga anak cucu kita nanti juga merasakan kehidupan yang jauh dari bahagia ini. Maka, pasti semua dari kita memikirkan hal yang sama yakni ingin ‘mengakhiri’ kesulitan hidup dan menginginkan perubahan kehidupan ke arah yang lebih baik bahkan yang terbaik.
Maka, ada beberapa perkara yang harus kita ambil sebagai jalan perubahan agar muslimah bahagia di dunia dan akhiratnya. Pertama, pahami bahwa cara pandang sekulerisme terhadap kehidupan dan kebahagiaan bertolak belakang dengan Islam. Islam dengan pemahaman akidah dan syariahnya mengajarkan bahwa kebahagiaan adalah ketika seorang hamba meniti jalan kehidupannya di jalur yang Allah Swt.. ridai.
Kedua, keimanan kepada Islam adalah fondasi dari pola pikir dan sikap muslimah. Jadi, kewajibannya sebagai muslim adalah mengikuti jalan yang diridai Allah dengan terikat pada semua syariat-Nya. Yakni seperangkat aturan berwujud sistem kehidupan yang akan menjadikan muslim manapun yang menerapkannya akan hidup bahagia, tentram, sejahtera, bahkan mulia.
Ketiga, mengkaji Islam secara sempurna atau utuh, bukan setengah-setengah atau memilih mana yang disukai. Hingga kita paham bahwa Islam itu mengatur semua urusan manusia, mulai dari bangun tidur hingga bangun negara. Mulai dari Bab Thaharah hingga Bab Khil4f4h. Karena inilah yang memang dimiliki Islam dan menjadi pembeda antara agama-agama selainnya.
Keempat, tidak berhenti pada mengkaji Islam saja. Para muslimah juga wajib untuk bersama-sama membangun kehidupan yang Allah ridai. Yakni kehidupan yang berlandaskan pada akidah Islam yang akan menerapkan sistem Islam kafah. Sebagai jawaban keimanan mereka pada Allah dan pada seruan-Nya, “Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, niscaya Kami akan membukakan untuk mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi.” (QS Al A’raf: 96).
Wallaahu a’lam
Via
Opini
Posting Komentar