Opini
Momentum Hari Guru Bukan Sekadar Seremonial
Oleh: Sunaini, S.Pd, CTrQ.
TanahRibathMedia.Com—Setiap tanggal 25 November adalah hari yang bahagia bagi guru di seluruh Indonesia. Pasalnya hari tersebut merupakan hari jadi PGRI sekaligus peringatan Hari Guru Nasional yang sudah ada sejak era kepemimpinan Presiden Soeharto. Peringatan tersebut lekat dengan adanya upacara di instansi pendidikan formal, serta diselingi beragam lagu peringatan untuk guru.
Suasana haru biru pun tergambar dari wajah guru. Pun anak-anak murid mengungkapkan rasa terima kasihnya dengan membawakan sekuntum mawar merah. Dirangkai dengan secarik kertas surat cinta yang indah dalam bait-bait kalimat. Tak kalah bahagianya hati para guru adalah ketika menerima bingkisan kado spesial dari anak-anak muridnya. Sungguh hari yang bahagia tentunya.
Begitulah momentum hari guru ini terus berulang disetiap tahunnya.
Keutamaan Ilmu dan Guru
Memuliakan, menghormati, mengindahkan apa yang telah disampaikannya tidak dilakukan pada momentum hari guru saja. Akan tetapi, muliakan guru itu dilakukan setiap waktu. Memperhatikannya saat menjelaskan pelajaran. Menjaga adab ketika berada di kelasnya. Menyapa ketika bertemu di tempat mana saja adalah bukti memuliakannya. Apalagi mengamalkan ilmu yang telah disampaikannya tentu menjadi kebanggaan tersendiri bagi guru tersebut.
Guru adalah cerminan ilmu yang melekat pada dirinya. Proses pendidikan dan latihan yang telah dilewatinya menjadikannya guru yang diakui kredibilitasnya sesuai cabang ilmu yang telah dikuasainya. Usaha dan kerja kerasnya dalam belajar yang pada akhirnya telah menjadikan dirinya layak berdiri untuk mengajar dan mendidik anak-anaknya. Cabang ilmu guru pun tentu beragam, seperti Ilmu umum, ilmu keterampilan dan keahlian, ilmu sains dan teknologi, serta ilmu agama yang menjadi porsi paling tinggi tentunya.
Pada realitas saat ini kehadiran guru telah disetting oleh sebuah sistem. Sistem itu adalah kapitalisme-sekulerisme yang mana menyekat atau mengelompokkan guru pada bidang tertentu saja. Misalnya, guru matematika fokus mengajar rumus dan hitungan, sedangkan nilai-nilai Islam jarang dikaitkan dengan pelajaran matematika. Karena hal ini sudah tersistem sejak dahulu kala. Begitupun guru yang mengajar agama misalnya, jarang ikut campur dalam pelajaran sains dan teknologi. Nampak sekali pengkotak-kotakan ini. Kondisi seperti ini tentu menjadikan sebuah kepemimpinan berpikir bagi generasi seterusnya. Lantas, apakah memang seperti ini profil seorang guru yang diharapkan oleh Rasulullah?
Guru dalam Sistem Islam
Islam adalah seperangkat aturan yang telah diberlakukan untuk umat Islam yang beriman. Melalui risalah yang turun kepada Nabi Muhammad Shalallahu 'alayhi wasallam, yang kemudian didakwahkan untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman. Aturan Islam itu tidak akan pernah berubah, meskipun zaman teknologi, generasi, ruang dan waktunya berubah.
Islam mengajarkan bahwa memuliakan guru itu merupakan suatu adab yang dapat menghantarkan kepada keberkahan ilmu. Di antara ilmu yang berkah itu misalnya, mudah memahami pelajaran, tidak mengantuk saat belajar, hati yang tenang dan nyaman. Begitupun seorang guru harus memperhatikan adab memulai pelajaran dan menutup pelajaran, menjaga dirinya dari perbuatan yang dibenci serta diharamkan oleh Allah dan Rasulullah, sehingga dari lisannya keluar kalimat yang mudah dipahami oleh peserta didiknya. Sehingga kemuliaan dalam majlis belajar itu akan senantiasa hadir, baik dalam cabang ilmu agama maupun ilmu kehidupan dunia.
Di dalam sistem Islam guru itu sangat dimuliakan di antaranya adalah perhatian pada kesejahteraan hidupnya. Misalnya pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khatthab memberikan gaji pada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas). Jika dikalkulasikan, itu artinya gaji guru sekitar Rp 30.000.000. Tentunya ini tidak memandang status guru tersebut ASN atau pun honorer. Artinya, kehidupan guru itu sangat mapan. Sangat berbeda dengan nasib guru hidup di zaman kapitalisme saat ini. Disamping tugas guru itu berat, ditambah lagi dengan setumpuk administrasi yang harus dikejar. Ada juga ancaman naik atau tidaknya pangkat dan lain sebagainya yang menjadikan banyak potongan gaji. Walhasil guru itu mencari pekerjaan sampingan lainnya. Tentu kondisi ini membuat prihatin, apalagi status nya guru honorer atau guru yang tidak tersentuh oleh perhatian pemerintah. Sehingga momentum hari guru yang mana guru menerima bingkisan menjadi suatu kebahagiaan tersendiri tentunya.
Oleh sebab itu, menjadi guru harus senantiasa mendekatkan diri kepada aturan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, karena aturan Islam letaknya paling tinggi. Terwujud dalam pakaian, sikap dan ucapan yang dijadikan teladan oleh peserta didiknya. Guru dan murid harus lebih mencintai Islam sebagai rahmat meraih kemuliaan Ilmu. Sehingga pengabdian, hidupnya dan waktunya yang habis tercatat sebagai amal jariyah yang bernilai pahala.
Wallahu 'alam bisshawab.
Via
Opini
Posting Komentar