Opini
Politik Oligarki Menyengsarakan, Politik Islam Menyejahterakan
Oleh: Yeni Indri
(Aktivis Muslimah Batam)
TanahRibathMedia.Com—Oligarki bukan kata asing dalam dunia politik. Oligarki yang berasal dari Bahasa Yunani yakni oligarkhia yang berarti aturan oleh sedikit adalah bentuk struktur kekuasaan di mana kekuasaan berada di tangan segelintir orang. Orang-orang ini mungkin atau mungkin tidak dibedakan oleh satu atau beberapa karakteristik, seperti bangsawan, ketenaran, kekayaan, pendidikan atau kontrol perusahaan, agama, politik atau militer. (Wikipedia).
Bagaimana Oligarki Terbentuk?
Seorang filsuf yang pemikirannya sejalan dengan Aristoteles, memiliki teori siklus pemerintahan yang dikenal dengan Siklus Polybius. Polybius berpendapat bahwa monarki adalah awal mula dari terbentuknya pemerintahan. Monarki dipimpin oleh seorang raja yang awalnya peduli dengan rakyatnya. Namun lambat laun, generasi tirani akan muncul ketika raja yang memimpin tidak lagi peduli dengan rakyatnya dan hanya mementingkan diri sendiri. Dalam kondisi seperti ini akan ada perlawanan yang digerakkan oleh para bangsawan, inilah masanya pemerintahan aristokrasi. Pada fase moral kaum bangsawan itu merosot dan lebih mementingkan diri sendiri, maka aristokrasi akan berubah menjadi oligarki.
Kondisi pemerintahan oligarki seperti ini akan mendorong perlawan yang berasal dari akar rumput atau rakyat, sehingga pemerintahan menjadi demokrasi. Namun demokrasi tidak akan bertahan lama karena akan marak terjadinya korupsi. Sehingga demokrasi berubah menjadi oklorasi, di mana massa melakukan tindakan intimidasi terhadap pihak berwenang dan selanjutnya akan muncul orang yang kuat yang akan memimpin dan kembali lagi menjadi monarki.
Bagaimana Oligarki Muncul di Indonesia?
Dalam jurnal yang berjudul Oligarki dalam Demokrasi Indonesia yang ditulis oleh Intan Rachmina Koho, S.IP.,M.Si. mengatakan bahwa banyak studi membuktikan bahwa sejak awal telah terjadi pembajakan terhadap lembaga-lembaga dan prosedur demokrasi itu sendiri. Hal ini menjadikan Demokrasi Indonesia berwatak sangat elitis. Robinson & Hafiz (2004) melakukan studi yang menggarisbawahi bahwa elite predatorial (elit pemangsa rakyat) masa lalu yang berbasis partai politik menguasai panggung politik. Mereka melakukan reorganisasi kekuasaan mengikuti logika politik kartel. Politik kartel digambarkan sebagai situasi manakala partai-partai politik secara bersamaan mengabaikan komitmen ideologis dan programnya agar tetap bisa bertahan di lingkaran kekuasaan dengan memilih bergabung dengan pemerintahan baru pasca pemilu. Sebagai imbalan atas dukungan yang diberikan, mereka berbagi pos-pos jabatan di pemerintahan. Politik kartel pada gilirannya membentuk pemerintahan berwatak oligarki. Oligarki merupakan mekanisme pemusatan kekuasaan pada segelintir elit berkuasa yang menekankan pada sumber daya material (kekayaan) sebagai basis mempertahankan kekuasaan sekaligus kekayaan pada diri elit. Hee Yeon Cho (2008) berpendapat bahwa demoklrasi-oligarki Indonesia, berangsur-angsur berubah menjadi oligarki demokratis. Inilah sejenis oligarki yang ingin mempertahankan kekayaan sekaligus merebut kekuasaan melalui kompetisi elektroral (pemilu) yang berwatak elitis. Sehingga bukan politik demokrasi yang berlangsung di Indonesia, tapi politik oligarki. Namun Winter (2014) juga menegaskan bahwa elemen penting neo orde baru adalah kaum oligarki yang tak ikut lenyap bersama tumbangnya Suharto, kini mereka sedang berebut posisi di puncak kekuasaan. Sehingga Winter menegaskan bahwa oligarki dan demokrasi saling menunggangi.
Bahaya Oligarki
Para akademisi dan aktivis banyak menyoroti bahaya oligarki. Pendapat mereka pernah dimuat di Republika, Senin 27 September 2021. Salah satunya Nursuhud yang merupakan anggota DPR periode 2009-2014 dalam Focus Group Discussion (FGD) ia mengatakan bahwa, satu negeri hancur karena infiltrasi dari luar. Negeri ini oligarki sempurna di semua sektor. Sektor politik sosial. Negeri ini di ambang kehancuran dan perlu penyelamatan dari oligarki.
Pengajar Universitas Trisakti, Nurhastuti K. Wardhani mengatakan politik yang makin oligarki juga makin tidak demokratis. Hal ini terbaca dengan ruang partisipasi politik yang semakin menyempit. Karena oligarki menggenggam kekuasaan politik, maka kebijakan pun hanya mengabdi pada akumulasi dan konsentrasi kekayaan. Ini tampak pada kebijakan perpajakan yang tak berubah sejak 30 tahun terakhir. Ini juga tampak dengan lahirnya kebijakan yang sekedar melayani kepentingan segelintir orang. Mulai dari revisi UU KPK, perubahan UU Minerba dan lahirnya UU Cipta Kerja (Omnibus Law).
Peneliti Perdelum, Titi Dari juga menyebutkan, hadirnya semacam multiple barriers tio entry di dunia perpolitikan Indonesia. Titi menyebut, persyaratan parpol peserta pemilu di Indonesia merupakan yang paling rumit dan termahal di dunia. Dia mengatakan, setelah lolos sebagai peserta pemilu, parpol masih berhadapan dengan rintangan untuk bisa mendudukan wakilnya di DPR, yaitu parliamentary threshold. Dengan ambang batas yang makin tinggi, kata dia, makin sempit peluang parpol kecil dan parpol baru untuk masuk ke parlemen.
Islam Menyejahterakan
Dari pernyatan akademisi dan aktivis di atas bahwa oligarki itu berbahaya. Atas nama demokrasi, atas nama rakyat, padahal hakikatnya hanya untuk kepentingan segelintir orang. Oligarki Menggunakan sumber daya negara untuk mempertahankan kekuasaan dan kekayaan mereka. Eksistensi oligarki ini hanya dapat diubah dengan membentuk pemahaman pada rakyat tentang bahaya oligarki tersebut. Karena walaupun masyarakat secara riil merasakan kesengsaraan hidup, tidak mudah bagi masyarakat untuk mendeteksi bahwa semua itu disebabkan rusaknya sistem yang diterapkan. Masyarakat hanya menganggap bahwa para pelaku pemerintahan yang tidak ‘cakap’ dalam mengurus negara. Sehingga masyarakat selalu memiliki harapan hadirnya pemimpin-pemimpin ‘saleh’ di tengah-tengah mereka. Salah satu argumen tentang bahaya oligarki yang dapat kita sampaikan adalah, mahalnya biaya ‘pesta demokrasi’ sehingga secara sistemik memberikan jalan para oligarki menuju puncak kekuasaan.
Kemudian memahamkan masyarakat tentang sistem alternatif yang ditawarkan. Bentuk sistem politik yang dapat menjadi solusi jika rakyat menolak oligarki. Jika rakyat hanya ditawarkan kepada demokrasi yang lebih baik, padahal demokrasilah yang dijadika media bagi para elit untuk mendapat kekuasaan, maka pada demokrasi sekalipun tidak ada jalan keluar.
Oleh karena itu, jika kita ini benar-benar ingin menyejahterakan rakyat, memberi keadilan dan lebih dari itu, mendapatkan keberkahan di dunia dan akhirat, maka semua sistem yang dibuat oleh manusia dan yang eksis di dunia dan mengalami siklus Polybius bukanlah jalan keluar. Rakyat Indonesia yang notabene adalah Muslim, harus mendapat pemahaman tentang sistem pemerintahan Islam. Sistem ini yang pernah diterapkan oleh Rasulullah dan dilanjutkan oleh para sahabat sepanjang kurang lebih 14 Abad, telah tercatat dalam sejarah dunia tentang kegemilangannya. Tidak dimungkiri bahwa ada hal buruk yang terjadi, tapi itu bukan disebabkan minusnya konsep Pemrintahan Islam itu sendiri, tapi lebih kepada faktor manusia yang menerapkan sistemnya.
Tidak bisa dinafikan kegemilangan pemerintahan Islam di bidang pendidikan, sosial, budaya bahkan pertahan, keamanan dan milter. Oligarki tidak akan memiliki tempat dalam sistem pemerintahan Islam. Sebab secara konseptual, penguasa tidak membuat hukum, tapi sekadar mentabani hukum syara', sehingga tidak ada ruang bagi penguasa untuk mengedepankan kepentingan diri dan kelompoknya. Di dalam sistem Islam para pejabat negara hanya akan mendapat tunjangan hidup, sehingga kekuasaan dan jabatan bukanlah media memperkaya diri. Ketika Imam adalah pengembala, maka Imam harus memastikan bahwa semua rakyat mendapat pelayanan dan terurusi urusannya dengan baik. Ketika Imam adalah perisai maka Imam harus memastikan rakyat yang berlindung di belakangnya hidup aman, nyaman selamat dunia dan akhirat.
Wallahu ‘alam bishowab. [YI/TRM]
Via
Opini
Posting Komentar