Opini
Konsepsi Islam dalam Menghalau Badai PHK
Oleh: Shafayasmin Salsabila
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Pernikahan menjadi ikon kebahagian. Dipertemukan dengan jodoh, lalu diikat dalam perjanjian luhur, untuk bersama di jalan ketaatan. Menikah dalam rangka menyempurnakan iman. Sebagai ibadah terpanjang. Sampai pada perjalanan selanjutnya, berupa dikaruniakannya buah hati sebagai penyejuk mata. Kebahagian pun terasa lengkap bagi pasangan suami istri.
Namun sayang, semuanya mendadak suram, ketika kepala keluarga diputus jalur nafkahnya, oleh ketuk palu PHK dari perusahaan tempatnya bekerja. Selanjutnya prahara ini menjadi premis bagi kisah perjuangan mempertahankan bahtera agar tidak karam.
Siapa yang tidak hancur hatinya, jika kesempatan membahagiakan anak dan istri seketika tersandera. Seolah gempa terjadi, meski bumi tidak berguncang. Sungguh tidak mudah menjadi satu dari ribuan pekerja yang dihantam gelombang PHK. Bukan hendak mempertanyakan takdir, namun mencoba berpikir, mengapa hidup menjadi terasa tidak adil. Setelah bekerja sepenuh hati dan segenap kesungguhan, lalu tanpa melakukan kesalahan, terpaksa dirumahkan dengan pesangon yang entah bertahan berapa lama.
Dengan beragam sebab, perusahaan selalu memiliki alasan. Misalnya, demi efisiensi biaya produksi dan karena derasnya keran impor. Serangan produk luar menikam dan mematikan, atau pun tingkat inflasi dan perlambatan ekonomi. Tak ayal banyak perusahaan dan pabrik gulung tikar. Beragam hal tersebut tentu berkelindan dengan kebijakan dan aturan yang diberlakukan oleh negara. Karena setiap perusahaan tidaklah berdiri sendiri, melainkan terikat dengan penyelenggaraan kebijakan dari pemerintah. Seperti jeruji dalam sebuah roda. Berputar bersama sistem.
Jika satu atau dua perusahaan saja bisa jadi hanya karena faktor internal, namun ada puluhan perusahan yang melakukan PHK masal. Dikutip dari CNBC Indonesia, (20-11
-2023) Presiden KSPN (Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara) Ristadi mengatakan sejak tahun 2020 jumlah PHK di pabrik-pabrik tempat anggota KSPN sudah mencapai 56.976 orang dari 36 perusahaan di Semarang, Pekalongan, Sukoharjo, Magelang, Demak, Karanganyar, provinsi Jawa Barat, dan provinsi Banten. Di mana 14 dari 36 pabrik tersebut dilaporkan akhirnya tutup.
Jika saja mau menilik lebih dalam, adanya badai PHK ini menjadi sebuah keniscayaan dalam sistem ekonomi kapitalis. Efek domino dari sebuah paradigma berbasis keuntungan materi semata. Sadis dengan hukum rimbanya, "yang kuat dialah yang bertahan," di mana perusahaan lebih memilih cara menyelamatkan keberlangsungan produksinya, ketimbang memikirkan nasib para pekerja. Jalan pintas pun diambil dengan mengorbankan mereka, manusia-manusia yang telah mengabdi sekian lama, mengucurkan keringat, dan mengorbankan sebagian besar waktu hidupnya.
Di sisi lain para pekerja yang "di rumahkan" tersebut, sejatinya mereka adalah bagian dari rakyat negeri ini juga. Semestinya hajat hidup mereka menjadi tanggung jawab penguasa. Bukankah penguasa diangkat supaya hadir dalam mengurusi kebutuhan-kebutuhan setiap individu warga negaranya?
Jika pun ada program bantuan sosial, sifatnya hanya sementara dan tidak semua mendapatkannya. Malah terkadang bantuan yang digelontorkan tersusupi agenda tersendiri, menjadi alat politik. Lagi-lagi semuanya tidak benar-benar untuk rakyat. Faktanya badai PHK menyumbang naiknya angka kemiskinan di negeri ini.
Ke mana lagi para pencari nafkah mendapatkan keadilan jika bukan kembali kepada jalan yang sudah digariskan oleh Sang Pencipta dan Pengatur Kehidupan, Allah Ta'ala. Berharap pada aturan yang bersumber dari nalar semata, ujungnya hanyalah kekecewaan. Manis hanya dikecap oleh kalangan tertentu saja. Allah sudah mengingatkan dalam firman-Nya:
"Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (TQS Al-Maidah: 50).
Islam sebagai sebuah sistem kehidupan, telah memberikan panduan, baik kepada setiap individu muslim, masyarakat -termasuk perusahaan-, juga tataran penguasa. Bagaimana agar menjadikan dunia ini sebagai umpan untuk meraih al-falah, atau kesuksesan sekaligus kebahagian sejati. Supaya hidup tidak terpuruk, bahkan menjadi umat yang bangkit untuk menciptakan peradaban maju dan luhur. Untuk mencapainya, Islam tidak memisahkan perkara dunia dari akhirat, juga sebaliknya. Semua dijadikan sebagai satu kesatuan, dengan konsep: mazjul maddah birruh.
Konsep ini mendorong setiap orang beriman untuk mengintegrasikan semua perbuatannya dengan ruh. Ruh dalam konteks ini bermakna kesadaran tinggi dari seorang hamba bahwa dirinya memiliki hubungan dengan Allah. Antara makhluk dan Sang Khaliq (Pencipta), setidaknya ada dua hubungan terkait, yakni hubungan penciptaan dan hubungan penghisaban. Bahwa Allah tidak sekadar menciptakan manusia, tapi kelak Allah pun akan meminta pertanggungjawaban atas hidup yang dijalani oleh hamba-Nya. Selaraskah dengan "manual book" yang telah diberikan, yakni Al-Qur'an.
Pada saat perbuatan diselaraskan dengan kesadaran akan hubungan tersebut, artinya hukum Allah (syariat) akan selalu dijunjung tinggi pada setiap sendi kehidupan. Tidak hanya ranah ibadah ritual, tapi mencakup tata aturan dalam bermasyarakat dan bernegara. Dengan kata lain penyelenggara negara tidak boleh dipisahkan dari mazjul maddah birruh ini. Tujuan kekuasaan harus dikembalikan pada hubungan tadi. Imam Al Ghazali dalam kitabnya Al iqthisad Fi Al I’tiqad menyatakan, agama dan kekuasaan adalah saudara kembar. Agama merupakan asasnya sedangkan kekuasaan adalah penjaganya. Artinya tidaklah seseorang diangkat menjadi penguasa, kecuali demi memerintah dengan aturan agama dari Allah saja, bukan dari hawa nafsu atau nalarnya. Di sinilah letak mazjul maddah birruh.
Sehingga, negara akan hadir sebagai ra'in, untuk menjamin kesejahteraan per-individu, tanpa terkecuali. Jaminan yang diberikan selain pemenuhan kebutuhan pokok, juga akses mudah dalam mendapat fasilitas kesehatan, pendidikan dan keamanan. Salah satu bentuknya adalah dengan menciptakan lapangan pekerjaan. Tidak akan dibiarkan ada seorang pun kepala keluarga yang menganggur tanpa alasan syar'i. Negara akan membantu rakyat untuk memenuhi segala yang diwajibkan oleh syariat, seperti soal penafkahan. Aturan ketenagakerjaan akan diberlakukan secara adil, sesuai dengan kadar keringatnya, tanpa membedakan antara pegawai swasta atau pun negeri.
Pada saat yang sama, orientasi hidup tidak lagi lekat dengan mengejar materi dan obsesi menumpuk harta. Sudah cukup dengan hadirnya negara dan jaminan pemenuhan tadi. Perusahaan pun berdiri tidak sekadar berharap keuntungan besar, tapi bergeser kepada niat suci. Baik pemilik dan pekerja, sama-sama menyadari, saat bekerja ada Allah menyertai, sehingga diusahakan menjadi amal saleh, demi meraih pahala dan keridaan dari Allah.
Prinsip: "Dunia itu titik, sedang akhirat adalah garis lurusnya," membuat setiap elemen tidak tamak, dan berlomba dalam kebaikan. Untuk apa profit besar jika tidak menghantarkan pada mardhotillah. PHK akan menjadi hal yang dipikirkan beribu-ribu kali, sebab takut akan menzalimi sesama. Kepala keluarga pun tidak lagi diresahkan soal nafkah.
Wallahu a’lam bish-shawwab.
Via
Opini
Posting Komentar