Wawancara Tokoh
MUI Fatwakan Golput Haram, Apa Dasar Hukumnya?
TanahRibathMedia.Com—Pernyataan Majelis Ulama Indonesia (MUI) lewat Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah K.H. Muhammad Cholil Nafis yang mengatakan bahwasanya golput itu hukumnya haram.
Meskipun dari K.H. Muhammad Cholil Nafis memberikan beberapa alasan, namun pernyataan ini menjadikan seolah setiap individu untuk wajib ikut berpartisipasi dalam sistem demokrasi, sebenarnya apa hukumnya memilih presiden di dalam sistem demokrasi ini?
Simak wawancara wartawan Tanah Ribath Media L. Nur Salamah, S.Pd. bersama Direktur PAKTA, Dr. Erwin Permana. Berikut petikannya.
1. Apa tanggapan Bapak terkait pernyataan MUI tesebut?
MUI itu jangan menjelaskan suatu hukum itu sepotong-sepotong, harus menjelaskan secara utuh argumentasinya agar masyarakat cerdas. Kalau MUI hanya sebatas menjelaskan pemilu itu hukumnya haram, sama dengan MUI itu membodohi masyarakat.
Masyarakat yang belum cerdas masalah agama tambah bodoh jadinya. Karena tidak jelas, tiba-tiba hukumnya haram. Apa yang menjadi dasar keharamannya itu. Inilah yang ditunggu oleh masyarakat, ini juga yang tidak dijelaskan oleh MUI.
Menurut saya tidak tepat ketika MUI itu hanya menjelaskan begitu. Apa dasar hukumnya mengharamkan sesuatu. Sebab, halal atau haram itu harus jelas dasar hukumnya, tidak sembarangan di dalam Islam.
Ketika mengambil suatu hukum haram atau wajib masing-masing membawa konsekuensi yang besar terhadap perbuatan. Apabila suatu perbuatan itu hukumnya haram berarti tidak boleh dikerjakan, karena jika dikerjakan konsekuensinya bisa masuk neraka.
Sebagaimana wajib, konsekuensinya tidak boleh ditinggalkan. Ketika dilakukan berpahala, jika ditinggalkan berdosa.
2. Tetapi di sisi lain dari pihak MUI yang diwakili K.H.Muhammad Cholil Nafis alasannya adalah "Tak ada yang ideal ya hidup ini tak selalu bisa sesuai harapan, kalau tak bisa sempurna minimal tak bahaya dan tak membahayakan," katanya di cuitannya. Bagaimana pandangan Bapak dengan alasan tersebut?
Iya memang. Yang tidak sempurna itu adalah manusia. Manusia memang tidak ada dan tidak akan pernah menjadi sempurna. Jadi, dalam memilih individu memang tidak ada yang sempurna. Kalau kita mencari individu yang sempurna itu tidak akan pernah ketemu, karena kita bukan hidup di alam malaikat.
Karena ketidaksempurnaan itulah, makanya manusia itu saling mengisi satu sama lain sehingga nampak harmonisasi kehidupan.
Akan tetapi berkaitan dengan perkara kepemimpinan, itu lebih dari hanya sebatas kesempurnaan individu, sebab bagaimanapun kepemimpinan itu itu bukan hanya person atau orang, namun lebih dari itu, ada sistem yang dijalankan.
Jadi bukan hanya individu yang sempurna, tapi individu yang tidak sempurna ini harus menjalankan sistem yang sempurna. Sudahlah individunya tidak sempurna sistemnya juga bermasalah, jadinya kehidupan bermasalah.
Jadi, jangan hanya melihat kepemimpinan suatu negara itu hanya terletak pada individunya saja. Ini bukan level RT. RT saja juga ada aturan main. Apalagi level negara. Maka pandangan yang mencerdaskan itu adalah pandangan yang mengajak orang lain berpikir berkaitan dengan sistem tidak berhenti hanya pada individu.
Tidak bisa kita katakan misalnya tidak ada sistem yang baik kita ambil sistem yang buruk, itu sama dengan kita memiliki pandangan yang fatalistis. Islam itu agama yang aktif, aktif melakukan perubahan yang buruk menjadi yang baik.
Bukan fatalistis pasrah dengan kondisi yang ada. Kalau hanya pasrah dengan kondisi yang ada, Rasulullah saw. pasti akan diam saja. Rasul mengajarkan untuk terus aktif merubah kondisi yang buruk menjadi kondisi yang baik.
Kalau belum baik kondisinya bagaimana? Terus saja kita berjuang hingga kondisi yang kita inginkan itu menjadi baik. Itulah seruan akidah. Akidah itu menyuruh kita untuk aktif melakukan amar ma'ruf dan nahi mungkar.
Amar ma'ruf itu berarti kita mengajak kepada yang baik, nahi mungkar itu berarti kita mencegah dari yang mungkar. Bukan kemudian kita pasrah saja apa adanya tidak begitu. Ada aturan-aturan main yang standar yang harus ditegakkan.
3. Jika kita tidak memilih, nanti kekuasaan dipegang orang kafir. Pendapat Anda?
Iya itu tadi, bukan hanya sebatas berkaitan dengan ini orang kafir atau orang muslim yang berkuasa. Ini perkara sistem. Kalaupun misalnya yang berkuasa muslim tapi sistemnya sistem kufur, maka kehidupannya adalah kehidupan jahiliyah yang terwujud, bukan kehidupan Islami.
Jadi, mau pemimpinnya muslim ataupun kafir sama saja. Sekalipun kita tidak menginginkan pemimpin Itu kafir, kita tidak menginginkan. Akan tetapi sistem ini yang mengizinkan orang kafir itu berkuasa. Sistem inilah yang membuat kesempatan bagi orang kafir untuk berkuasa.
Coba kalau misalnya sistem itu menjadi sistem Islam. Tidak akan ada celah sedikitpun bagi orang kafir untuk berkuasa. Jadi begitulah kemudian kita perlu berpikir cerdas menyelesaikan solusi itu hingga tuntas ke akarnya.
Kalau kita tidak mulai dari akarnya, maka kita akan sibuk terus dengan masalah-masalah cabang. Akhirnya kita rebutan seperti ini. Ya sudahlah daripada orang kafir berkuasa, sudahlah kita, kan begitu kita akhirnya.
Kehidupan seperti ini adalah kehidupan yang fatalistis, sama sekali tidak mencerahkan dan juga tidak solutif.
4. Bagaimana hukum memilih capres dan caleg dalam pandangan Islam?
Memilih itu sendiri hukumnya mubah. Kalau caleg itu berarti hukumnya adalah hukum wakalah. Hanya saja kemubahan (kebolehan) itu terkait dengan maksud apa dia kita pilih.
Kalau maksud memilihnya itu untuk menjalankan sesuatu kewajiban, maka hukumnya bisa menjadi wajib. Tapi sebaliknya kalau kita memilih orang untuk melakukan perkara yang mungkar, maka hukumnya bisa menjadi haram. Karena kita menyuruh orang untuk melakukan kemungkaran. Sebagai contoh kita pilih orang untuk mencuri misalnya, atau untuk korupsi misalnya itu hukumnya menjadi haram. Jadi wakalahnya adalah wakalah yang haram.
Tetapi kalau kita pilih orang untuk menunaikan ibadah haji bersama-sama untuk berdakwah secara berjemaah dan seterusnya menegakkan hukum-hukum Islam, maka hukumnya bisa menjadi wajib. Jadi tergantung untuk apa dulu kita memilih.
Begitu juga berkaitan dengan kepemimpinan kalau kita memilih orang untuk menjalankan Islam atau memilih orang untuk menjalankan sistem Islam maka hukumnya wajib.
Sebaliknya kalau kita memilih orang untuk menjalankan hukum kufur, bisa kita bayangkan, hukumnya menjadi terlarang. Dengan demikian haram juga hukumnya memilih orang untuk tidak menjalankan hukum Islam.
5. Apa syarat pemimpin yang layak dipilih?
Dalam Islam itu soal memilih kepemimpinan itu tidak ribet. Tolok ukurnya adalah sangat terukur.
Syaratnya laki-laki, tidak boleh perempuan. Kemudian harus muslim, tidak boleh orang kafir. Kemudian harus sehat, tidak boleh orang gila, sehat akalnya. Kemudian seorang pemimpin harus merdeka, tidak boleh budak sehingga bisa dikendalikan oleh yang lain di dalam masa kepemimpinannya.
Itu beberapa di antaranya. Di samping itu harus mampu. Jadi orang yang tidak memiliki kafaah atau tidak memiliki kemampuan untuk memimpin.
6. Wajibkah memilih pemimpin yang buruk di antara yang terburuk, dengan alasan: ahwan as-syarrayn, atau akhaffu ad-dhararayn?
Tidak bisa dibilang begitu. Tidak bisa diberlakukan begitu dalam konteks kepemimpinan. Memilih yang buruk diantara yang terburuk. Tidak berlaku itu dalam konteks kepemimpinan, memilih yang paling sedikit mudaratnya.
Hal itu hanya berlaku dalam kontek darurain atau darurat. Misalnya kita berada di tengah hutan. Ada dua pilihan yang sama-sama darurain. Misalnya harus memakan babi. Karena jika tidak akan mati. Ya sudah ambil itu, lakukan!
Hal ini berlaku untuk fakta yang benar-benar terindra. Tapi dalam konteks kepemimpinan tidak begitu. Fakta seperti itu tidak bisa diberlakukan. Karena bagaimanapun kepemimpinan itu terikat dengan sistem.
Sedang bicara sistem hanya ada dua pilihan yakni sistem Islam atau sistem kufur. Itu saja. Mau pilih yang mana Islam atau kufur. Jadi jangan dangkal cara berpikir kita!
Maka umat tidak akan pernah bangkit jika cara berpikirnya seperti itu. Karena dikendurkan terus soal kepemimpinan. Soal kepemimpinan dan sistem itu ranah ideologi, ranah konsep. Saya kira demikian.
7. Apakah hukum wajibnya “nashb al-imam” dalam kitab-kitab Muktabar bisa diberlakukan dalam konteks pemimpin sekarang?
Tidak bisa! Tidak bisa dilakukan dalam konteks kepemimpinan seperti sekarang ini. Itu hanya berlaku dalam sistem yang memang Islam.
Kalau sistemnya Islam, nasbul Imam itu baru bisa diberlakukan. Mulai dari mekanisme pengangkatannya, terus mekanisme pemilihannya, kemudian syarat-syaratnya, karena sistemnya sudah Islam.
Kalau sekarang sistemnya kufur, kalau kufur ini ya bebas aja gitu. Hukum-hukum yang berlaku, ketentuan yang berlaku ya ketentuan kufur.
Maka, betapa rendahnya cara berpikir kita orang Islam. Mengaplikasikan sistem Islam yang tinggi ketentuan-ketentuan mekanisme mengangkat kepemimpinan Islam yang begitu tinggi, yang dirumuskan oleh para ulama diterapkan dalam sistem kufur.
Kalau ada ulama-ulama yang mengarang kitab Nasbul Imam itu sekarang dia hidup, dia akan menangis air mata, 'kok jadi gitu amat'.
Seharusnya kita yang memperjuangkan, jika sistemnya belum Islam. Rumah dulu sistemnya. Baru kepemimpinan klop dengan sistem kekhil4f4han itu sendiri atau sistem Imamah itu sendiri.
8. Benarkah Islam tidak memiliki metode baku dalam memilih pemimpin?
Nah ini banyak juga disampaikan oleh orang-orang. Tapi ini sangat ahistories. Orang-orang yang tidak mengenal sejarah, yang mematahkan sejarahnya sendiri.
Sejarah Islam di manapun, termasuk sejarah Islam di nusantara. Di Nusantara kepemimpinan dahulu menggunakan istilah sultan, kemudian di masa sejarah Islam yang panjang itu itu sangat bergonta ganti ada ratusan khalifah. Ratusan imam yang memimpin di negeri muslim.
Akan tetapi mereka tidak membaca itu. Sirah Nabawiyah atau sejarah Rasul saw.. Ketika mengatakan Islam tidak memiliki mekanisme kepemimpinan yang baku itu sebuah kelancangan yang sangat luar biasa pada Rasulullah saw..
Padahal rasul itu adalah pemimpin yang menjalankan hukum Islam dengan cara yang sangat baku. Apa yang Rasulullah saw. lakukan kita tiru, apa yang Rasulullah saw. perintahkan untuk ditinggalkan yang ditinggalkan.
Sekarang ada orang dengan lancang memakai kata rasul tidak mengajarkan ini. Seakan-akan Montesquieu dan yang lain itu lebih pintar.
Secara historis Rasul telah mengajarkan itu, dan terbukti dengan fakta sejarahnya. Islam itu menghasilkan kesejahteraan menghasilkan banyak ulama menghasilkan banyak sekali ilmu pengetahuan.
Satu hal yang tidak bisa dihasilkan di zaman sekarang ini adalah ulama besar. Sepanjang sejarah Islam tidak pernah putus-putus menghasilkan ulama besar.
Karena ada mekanisme sistem yang menghasilkan dan menjaga itu semuanya. Nah itu sangat historis dan menurut saya sebuah kelancangan pada Rasulullah saw. orang yang mengatakan bahwa Islam itu tidak memiliki metode kepemimpinan yang baku. Saya berharap orang yang begitu segera bertaubatlah.
9. Apa yang seharusnya dilakukan umat Islam dalam menghadapi pemilu?
Pada akhirnya mau tidak mau umat Islam harus kenal Islam harus belajar Islam. Islam itu sebuah pandangan hidup yang baku dan luar biasa sempurna sekali.
Hanya saja ketika sebuah sistem yang baku indah dan dan luar biasa ini tidak dipahami oleh umat akhirnya umat terombang-ambing begitu.
Berkaitan dengan pemilu ini bukan pesta mereka. Pemilu demokrasi ini bukan pesta mereka bukan pesta umat. Dalam demokrasi ini adalah pesta rakyat. Pesta rakyat dari mana. Rakyat hanya menjadi korban saja. Masih ingat pesta demokrasi tahun 2019, ratusan nyawa orang melayang. Itu namanya pesta pembantaian, pesta penjagalan nyawa manusia.
Tidak ada perubahan yang berarti dalam sistem demokrasi ini. Sekadar janji-janji saja. Tanpa ada bukti sama sekali. Jadi umat bersikap biasa saja dengan pemilu ini, karena hari-hari yang tidak akan membawa perubahan.
Oleh karena itu pemahaman umat harus ditingkatkan agar mereka terus memperjuangkan Islam hari demi harinya.
Via
Wawancara Tokoh
Posting Komentar