Opini
Realisasi Pemberantasan Korupsi dalam Demokrasi, Mungkinkah?
Oleh: Nanik Farida Priatmaja, S. Pd.
(Pegiat Literasi)
TanahRibathMedia.Com—Miris! Memberantas korupsi di negeri ini seolah bagai mengurai benang kusut. Bagaimana tidak, meski bertahun-tahun terdapat lembaga anti korupsi nyatanya ada saja kasus korupsi baik di tingkat hulu hingga hilir. Bahkan tak jarang dari tahun ke tahun calon penguasa mengumbar janji manis pemberantasan korupsi setiap jelang pemilu.
Dalam acara Penguatan Antikorupsi untuk Penyelenggaraan Negara Berintegritas (PAKU Integritas) yang digelar KPK, tiga pasangan calon presiden calon wakil presiden memaparkan pandangan mereka soal korupsi dan upaya pemberantasan korupsi yang akan mereka lakukan jika terpilih di Pilpres 2024. Beragam janji mereka tawarkan. Mulai dari mengesahkan RUU Perampasan Aset hingga pembuktian terbalik soal harta pejabat negara.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenur Rohman menilai gagasan yang disampaikan Anies Baswedan, Prabowo, Subianto, dan Ganjar Pranowo cukup baik. Salah satu yang diapresiasi dari ketiganya adalah mereka sepakat memperkuat laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) sebagai instrumen pencegahan dalam memberantas korupsi. Namun, Zaenur menyayangkan masih ada beberapa hal vital yang tidak disampaikan mereka. Misalnya, tidak ada langkah konkret untuk menjatuhkan sanksi pada pejabat negara yang tidak patuh atau mencurangi LHKPN. Ia menuturkan berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 28 Tahun 1999 tidak ada hukuman pidana, apabila ada Pegawai Negeri Sipil (PNS) hingga pejabat negara yang tidak melaporkan harta kekayaannya di dalam LHKPN (CNN, 19-01-2024).
Korupsi bukan sekadar masalah teknis yang bisa diberantas melalui sebuah lembaga atau hadirnya para aktivis anti korupsi ataupun lahirnya undang-undang pemberantasan korupsi. Namun korupsi termasuk dampak dari penerapan sistem di negeri demokrasi. Yang mana korupsi dan demokrasi memang tak bisa dipisahkan. Keduanya saling berkaitan.
Ada banyak faktor yang menyebabkan kasus korupsi terus melanda negeri ini. Yang pertama faktor sistemik dan yang kedua faktor individu. Faktor sistemik yakni penerapan sistem demokrasi yang berongkos mahal. Hal inilah yang menyebabkan para peserta pesta demokrasi baik calon legislatif ataupun eksekutif butuh modal besar demi meraih suara terbanyak. Sehingga merekapun mencari modal dengan berkolaborasi bersama para oligarki. Dari situlah muncul pengesahan kebijakan-kebijakan yang pro oligarki. Kemudian merekapun tak segan-segan melakukan korupsi ketika telah meraih kekuasaan yang diinginkan demi mengembalikan modal mereka ketika kampanye.
Faktor kedua maraknya kasus korupsi yakni individu yang jauh dari ketakwaan meski berstatus muslim. Sehingga ketika mengemban amanah sebagai penguasa, tak memiliki rasa takut sedikitpun ketika mengkhianati amanah rakyat. Bagaimana bisa seorang pemimpin pilihan rakyat kemudian tidak menjalankan amanah rakyat dan malah mencuri uang negara.
Penerapan sistem demokrasi yang mahal dan lahirnya undang-undang anti korupsi selama ini nyatanya tak mampu memberantas korupsi di negeri ini. Meski hampir setiap pemilu tak sedikit calon penguasa berjanji akan memberantas korupsi hingga akar-akarnya ataupun mereka bersedia mengumumkan harta kekayaan di depan publik.
Mengumumkan kekayaan para calon penguasa di depan publik jelas bukan berarti menjamin mereka untuk tidak melakukan korupsi ketika berkuasa. Tak ada yang bisa menjamin orang yang berlimpah harta tidak melakukan kecurangan ataupun korupsi. Bahkan tak sedikit para pejabat yang telah bertambah berlipat-lipat kekayaannya setelah menjabat. Jadi sangat jelas bahwa pelaporan harta kekayaannya calon penguasa tak menjamin mereka bersih dari korupsi.
Begitu pula dengan lahirnya undang-undang anti korupsi nyatanya tak mampu memberantas korupsi di negeri ini. Bahkan selama ini para koruptor seolah hanya "pindah tidur" semata dan tanpa rasa malu ketika mereka menjalani proses hukum di penjara. Wajar masih saja bermunculan koruptor-koruptor dari tahun ke tahun. Hal ini memperlihatkan bahwa tidak ada efek jera bagi koruptor.
Demokrasi hanya akan melahirkan koruptor-koruptor dari tahun ke tahun. Meski banyak program-program ataupun undang-undang demi memberantas korupsi. Bahkan janji-janji manis pemberantasan korupsi para calon penguasa saat masa kampanye faktanya seperti mimpi yang jelas tak bisa terealisasi.
Islam sebagai ideologi akan mampu melahirkan para pemimpin yang memiliki ketakwaan individu dan amanah. Pemimpin dalam Islam akan merasa takut mengkhianati amanah karena ketakwaannya kepada Allah dan pertanggungjawabannya kelak di akhirat.
Pemilu dalam Islam bersifat praktis dan berbelit-belit sehingga tak perlu modal besar layaknya sistem demokrasi. Calon penguasa dalam Islam tak perlu berkolaborasi dengan oligarki demi mendanai kampanye.
Penerapan sistem Islam diberbagai bidang akan menyusanakan masyarakat yang bertakwa. Misalnya melalui sistem pendidikan, negara akan mendidik dan mempersiapkan calon-calon pemimpin yang bertakwa dan mumpuni. Penerapan sistem sanksi jelas akan mampu mencegah munculnya kasus-kasus kriminal termasuk korupsi. Sanksi bagi koruptor dalam Islam yakni sama halnya dengan pencuri bahkan sanksinya lebih keras sesuai kasus yang dilakukan. Hal inilah yang menjadikan bukti sepanjang sejarah kegemilangan Islam tingkat kriminalitas minim.
Islam tak sekadar mampu mencegah dan memberantas korupsi semata namun sistem yang memuliakan manusia dan rahmat bagi semesta alam.
Wallahualam
Via
Opini
Posting Komentar