Opini
Refleksi Hari Ibu dalam Sistem Kapitalisme
Oleh : Daliyem
(Aktivis Muslimah dan Terapis Thibbun Nabawi)
TanahRibathMedia.Com—Hari ibu telah usai. Seminar tentang perempuan dan ibu telah banyak digelar. Tetapi, fokus yang ada hanya menitikberatkan kepada pemberdayaan dan menjadi ibu mandiri. Sebagaimana Talk Show Spesial Hari Ibu bertemakan “The Secret : How to Be a Strong & Independent Mom” yang telah digelar di Palembang Indah Mall (PIM) pada tanggal 22 Desember 2023 lalu. Narasumber menyampaikan bahwa penting bagi seorang ibu untuk bisa berdaya, mandiri dan merdeka.
Beginilah fenomena kehidupan seorang ibu dalam sebuah sistem kapitalisme liberalisme. Perempuan dan kaum ibu dipaksa untuk menjadi motor penggerak ekonomi. Dengan dalih pemberdayaan mereka hanya mencukupkan diri mencari ilmu-ilmu praktis tentang duniawi. Tidak bisa dimungkiri peran ibu dalam sistem saat ini mereka lebih banyak di luar rumah sebagai wanita karir dibandingkan peran domestiknya. Bertemu dengan suami dan anak sangat terbatas, hingga terkesan rumah tangganya seperti sebuah stasiun yang berfungsi sebagai tempat singgah untuk menghilangkan lelah.
Dalam perspektif Islam, jika perempuan berkarir untuk mengembangkan keilmuan yang dimiliki maka hukum yang berlaku di dalamnya adalah mubah (boleh). Adapun, seorang wanita yang sudah baligh maka syariat memberikan ketentuan yang berlaku adalah wajib untuk menuntut ilmu. Keduanya bisa bersinergi dengan baik selama tidak meninggalkan syarat-syarat dan ketentuan di dalam syariat.
Banyak sekali perempuan dan ibu hebat yang memberikan kemampuannya dalam mencetak generasi tangguh, yang memiliki kemampuan untuk berkarir yang juga menyumbangkan ilmu, tenaga, bahkan hartanya bagi peradaban Islam yang mulia, seperti Fatimah binti Ubaidillah Azdiyah adalah Ibu dari ulama fiqh, yakni Imam Syafi'i. Menurut Al-Baihaqi, nasab Fatimah adalah dari suku Al-Azd di Yaman. Tetapi, ada juga yang mengatakan ia termasuk garis keturunan Rasulullah saw. dari Ubaidillah bin Hasan bin Husein bin Ali bin Abi Thalib.
Kemudian, Mariam al-Astrulabi, ia mempunyai nama lengkap Mariam al-Ijliya al-Astrulabi. Ayahnya merupakan pembuat astrolabe terkenal, yaitu sebuah perangkat rumit untuk navigasi darat dan penunjuk waktu. Tidak dapat dipastikan kapan Mariam al-Astrulabi lahir, hanya saja ia diperkirakan sudah ada pada abad ke-10 atau sekitar tahun 944 M.
Masih banyak lagi para ilmuwan perempuan yang memiliki kemampuan untuk mencetak generasi ulama dan ilmuwan. Dari rahim perempuan akan lahir generasi yang memimpin kemajuan peradaban. Maka, bakti kepada seorang ibu bukan hanya sekedar seremonial tahunan. Ibu juga harus selalu memantaskan diri untuk dapat produktif dan berdaya sesuai syariat Islam. Tanpa meninggalkan kewajiban utamanya sebagai seorang pengatur rumah tangga, dan sekolah pertama bagi anak-anaknya.
Kemuliaan ibu sebagaimana termaktub dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari An-Nasa'i, Ibnu Majah, dan Ahmad. Berikut bunyi hadis yang bersanad shahih oleh Al-Hakim yang artinya, ”Dari Mu'awiyah bin Jahimah As-Sulami, ia datang menemui Rasulullah saw. la berkata, ”Wahai Rasulullah, saya ingin ikut berperang dan saya sekarang memohon nasihat kepadamu?" Rasulullah saw. lalu bersabda, ”Kamu masih punya ibu?” Mu'awiyah menjawab, ”Ya, masih.” Rasulullah saw. bersabda, ”Berbaktilah kepada ibumu (lebih dahulu) karena sungguh ada surga di bawah kedua kakinya!”
Makna hadis di atas adalah bentuk pengabdian kepada orang tua, terutama ibu. Surga yang dimaksud di sini tidak hanya merujuk kepada surga akhirat semata. Sebaliknya, ini merujuk kepada upaya untuk mendapatkan rida, kasih sayang, cinta, dan keikhlasan dari ibu. Dengan berbakti kepada ibu, kita berharap agar Allah Swt. memberikan petunjuk dan pengampunan-Nya kepada kita. Dengan demikian, di masa depan kita akan mendapatkan perlindungan dalam menjalankan semua perintah-Nya dan diberikan kekuatan untuk menjauhi segala larangan-Nya.
Jadi, peran ibu didalam Islam adalah menjadi hamba Allah Swt. yang bertakwa untuk senantiasa menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah., menjalankan perannya di wilayah domestik sebagai seorang istri yang melayani suaminya, pengatur rumah tangga, sebagai guru bagi putra dan putrinya. Adapun di wilayah publik, yaitu mampu memberikan edukasi di masyarakat dengan mencerdaskan umat (ammar ma’ruf nahi mungkar) hingga menjadi umat yang memahami baik dan buruk, benar dan salah menurut syariat.
Begitulah peran ibu hebat yang memiliki derajat kemuliaan, dan semuanya hanya akan terwujud dalam sistem yang mampu memuliakan peran ibu. Bukan sistem yang malah membajak potensi ibu untuk produktif di sektor ekonomi, menyamakan fungsinya dengan ayah sebagai pencari nafkah. Hanya dalam sistem Islam yang mampu mencetak ibu hebat, karena perempuan akan mendapatkan kesejahteraan, perlindungan, baik akidah, nasab, harta, jiwa, akal, dan keamanan. Negara yang menerapkan sistem Islam yang komprehensif akan memberikan dorongan ketakwaan pada seluruh rakyat, termasuk para perempuan.
Via
Opini
Posting Komentar