Sastra
Sampah Demokrasi
Oleh: Maman El Hakiem
TanahRibathMedia.Com—Ini bukan kisah sebenarnya tentang raga manusia. Namun, tentang matinya hati saat demokrasi itu hanya ilusi. Mereka yang tergoda dan mencoba bermain "judi" seolah-olah akan bisa menjadi penyambung lidah rakyat. Padahal, sejatinya mereka hanya akan mengeruk pundi-pundi harta milik rakyat.
Di sebuah kota kecil, suasana gegap gempita begitu terasa dalam menyambut pesta demokrasi lima tahunan, baliho besar dengan wajah ceria seorang calon legislatif, Fulan, menghiasi sudut-sudut jalanan. Namun, di balik senyumannya yang tulus, tersembunyi kisah pilu tentang perjalanan politiknya.
Fulan telah berjuang tanpa kenal lelah untuk mewakili suara rakyat, tetapi saat penghitungan suara tiba, hasilnya tidak sesuai harapannya. Dia berjalan tanpa tujuan menelusuri jalanan yang sepi, dia memandang baliho besar yang kini terasa seperti Zombie yang menghantui dirinya.
Hari itu, suara-suara pemilih yang seharusnya menjadi pelengkap mimpi politiknya justru berdiam diri. Fulan merenung, menggumamkan pertanyaan-pertanyaan yang menghantui pikirannya. Apakah pesannya tidak cukup tersampaikan? Apakah orang-orang telah melupakan janji-janjinya?
Setelah kekalahan itu, Fulan berjalan melewati baliho-baliho besar yang masih menggantung dengan semangat. Wajahnya yang pernah penuh harap kini mencerminkan kekecewaan. Namun, dia memutuskan untuk tetap memberikan yang terbaik untuk rakyat, meski bukan dari kursi legislatif.
Fulan mulai merencanakan proyek-proyek sosial, mengunjungi warga, dan mendengarkan keluhan mereka. Meskipun tak terpilih, dia menemukan kebahagiaan dalam memberdayakan komunitasnya. Setiap senyum dan terima kasih dari warga menjadi pelipur lara yang tak ternilai.
Pada akhirnya, meski tak menduduki kursi legislatif, Fulan menyadari bahwa perjuangannya tidak sia-sia. Kegagalannya mengajarinya arti sejati dari kepemimpinan, bukan hanya sekadar gelar atau kekuasaan, melainkan kemampuan untuk menginspirasi dan membawa perubahan nyata di masyarakat.
Dengan hati yang penuh tekad, Fulan melangkah maju. Baliho-baliho besar mungkin sudah tidak menampakkan senyumannya lagi, tapi jejak perjuangannya akan tetap terukir dalam cerita kehidupan kota kecil itu. Namun, sayang langkah Fulan hanya dalam igauan karena nyatanya ia terbuang seolah hanya menjadi sampah.
"Sungguh kecewa, uang telah mengalir deras untuk membiayai pesta demokrasi, namun hasilnya seperti hanyut dalam arus ketidakpastian. Begitu banyak harapan yang terkubur di antara nota pengeluaran, membuat hati ini terasa lebih berat daripada kantong yang kian kosong."
Begitulah tulisan yang terdapat pada secarik kertas di samping tubuh yang yang tidak lagi bernyawa. Berbagai berita media massa mengabarkan Fulan tewas dan jenazahnya di temukan di antara tumpukan sampah yang hanyut terbawa arus sungai yang kotor.
Wallahu'alam bish Shawwab.
Via
Sastra
Posting Komentar