Opini
Solusi Banjir adalah Mewujudkan Islam Rahmatan lil ’Alamin
Oleh: Eva Agustina
(Mubalighoh)
TanahRibathMedia.Com—Bencana banjir seolah menjadi peristiwa rutin yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Padahal negeri Indonesia sendiri dikenal sebagai paru-paru dunia dengan jumlah hutan terbesar kedua di dunia. Tetapi, kini menjadi langganan banjir yang tak berkesudahan seperti yang terjadi di beberapa wilayah berikut.
Di Musi Rawas, banjir merendam jalan penghubung antara Kecamatan Purwodadi dan Kecamatan Magang Sakti. Banjir terjadi disebabkan tidak adanya drainase di sepanjang jalan. Sehingga, air hujan naik ke jalan dan masuk ke rumah warga. Menurut warga setempat saat turun hujan lebat maupun sedang, akses jalan utama di tempatnya selalu terendam banjir. (Tribun News Sumsel, 7-12-2023).
Kasus serupa juga terjadi di OKU Timur. Hujan deras yang melanda daerah tersebut menyebabkan meluapnya air Sungai Hitam di Kecamatan Belitang III. Luapan air Sungai Hitam Belitang III OKU Timur tumpah ke jalan poros dengan kedalaman air mencapai 50 cm, sehingga pengendara kesulitan melintas. Penyebabnya, aliran sungai Hitam tidak maksimal alias tersumbat. (Tribun News Sumsel, 7-12-2023).
Selanjutnya, warga Desa Tanjung Kemala, Kabupaten OKU terpaksa beraktivitas dengan menggunakan perahu tongkang karena daerah mereka dilanda banjir dengan ketinggian mencapai lima meter. Hujan deras juga merendam ruas jalan utama hingga mengganggu aktivitas warga. Hal tersebut membuat perangkat desa setempat terpaksa menyiapkan perahu tongkang untuk mengangkut warga berikut sepeda motor jika hendak beraktivitas ke luar desa. (Antara News, 6-12-2023).
Banjir adalah salah satu fenomena bencana langganan yang terus berulang. Luasan wilayah yang terdampak banjir pun makin melebar dan kian bertambah. Walupun upaya penanggulangan bencana sudah dilakukan, baik nasional maupun daerah, akan tetapi negara masih saja nihil dari mitigasi dini.
Padahal, pemerintah sejatinya sudah mengetahui penyebabnya. Misalnya, seperti yang diakui Herman Deru, selaku Gubernur Sumsel, "Bencana banjir yang terjadi di Sumsel akhir-akhir ini disebabkan oleh dua hal, yakni sedimentasi sungai dan gundulnya hutan. Pemerintah kabupaten kota harus tegas menegakkan aturan," ujar Gubernur Herman Deru saat menghadiri Rapat Koordinasi Teknis Bidang Lingkungan. (Sumatra Bisnis, 13-3-2023).
Adanya pernyataan tersebut, secara tidak langsung mengakui bahwa terdapat pengaruh oligarki di balik penguasa, baik dalam skala lokal maupun nasional. Sedimentasi misalnya, terjadi karena jatuhnya beberapa batu bara ke sungai akibat dari pengangkutan batu bara oleh tongkang-tongkang besar. Kemudian, alih fungsi lahan sehingga mengharuskan penggundulan hutan yang dilakukan oleh perusahaan untuk dibangun perkebunan, permukiman, pabrik, dll.
Dampak banjir yang mengakibatkan tenggelamnya permukiman membuat masyarakat harus pindah ke pengungsian, segala keterbatasan pun mereka alami, seperti kehilangan tempat tinggal. Hal ini membuat masyarakat sulit melakukan aktivitas sehari-hari. Terutama dalam mengakses transportasi. Akibatnya menghambat aktivitas rakyat, sulitnya air bersih, keterbatasan ekonomi, sulitnya anak-anak untuk bersekolah dan sulitnya mencari nafkah.
Pada akhirnya, banjir juga melumpuhkan perekonomian keluarga. Mulai dari rusaknya rumah beserta isinya, dan sulitnya akses jalan yang terdampak banjir menyebabkan para pekerja kesulitan mencari nafkah. Tentu saja, hal ini menimbulkan kerugian finansial bagi masyarakat. Alhasil, transmisi angka kemiskinan akan semakin bertambah jika tidak ada pencegahan dan penanggulangan bencana secara fundamental.
Akar Masalah Bencana Banjir
Mengapa kejadian ini terus berulang? Wajar pertanyaan seperti ini kerap muncul. Sejumlah dugaan pun mencuat. Banyak pihak yang menuding, kejadian itu bukan murni bencana alam. Banjir dan longsor di duga kuat akibat ulah tangan manusia. Kelompok Studi Pengembangan dan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) sudah melakukan investigasi. Mereka bergerak dari sejumlah kejadian serupa pada 2018 dan 2019 awal. Dari hasil investigasi itu, KSPPM menemukan sejumlah fakta. Salah satunya, soal kondisi hutan yang sudah gundul akibat pembalakan liar dan dugaan ilegal logging yang cukup masif.
Revitalisasi saluran drainase adalah solusi jangka pendek. Pembangunan ini sangat tidak efektif dalam menanggulangi bencana banjir. Drainase secara mendasar hanya berfungsi sebagai penyalur air limpahan dari darat ke sungai atau ke daerah resapan air. Drainase sangat tergantung dengan faktor gravitasi dan konektivitas. Sedangkan setiap wilayah memiliki kondisi geografis yang berbeda, ada wilayah yang tak bisa mengandalkan gravitasi, karena kotanya berada di lahan rawa yang daratannya relatif datar.
Penanggulangan banjir secara teknis tidak mencukupi. Walupun di bangun kanal-kanal, drainase, kolam retensi, tetapi pada saat yang bersamaan, eksploitasi hutan terus berlanjut. Ini sama halnya upaya sia-sia, sebab faktor utama dan akar masalahnya ada pada sistem yang di terapkan hari ini, yaitu sistem kapitalisme yang berlandaskan pada pertumbuhan ekonomi yang memberi peluang seluas-luasnya bagi pemilik modal atau korporasi untuk meraih untung sebesar-besarnya.
Maka, tidak heran saat profit oriented menjadi tujuan utama dari pemangku kebijakan, muncullah aturan-aturan yang memberikan kemudahan dalam pembangunan industri, perkantoran, perumahan, villa dan hotel mewah yang mengakibatkan potensi bencana banjir. Akibatnya, perubahan pola aliran sungai, tanah longsor, dan hilangnya akar vegetasi yang stabil. Bahkan, sebagian besar hutan yang gundul dibangun untuk perumahan, pertokoan, dan fasilitas yang lain. Dengan tidak mengindahkan dampak lingkungan yang akan terjadi, akibatnya bila musim hujan tiba akan terjadi bencana banjir dikarenakan tidak adanya pohon yang mampu menyerap air hujan melalui akar-akarnya, dan hutan yang gundul bisa mengakibatkan erosi tanah.
Orientasi kebebasan kepemilikan dalam sistem kapitalisme menjadikan para pemilik modal atau swasta bebas mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) untuk kepentingan ekonomi individu. Alhasil, hutan yang fungsinya sebagai penyerap air, menjadi lumpuh total akibat penggundulan. Dampak dari kerusakan tersebut membuat masyarakat tak lepas dari langganan kebanjiran. Inilah dampak buruk dari penerapan sistem kapitalisme.
Islam Rahmatan lil ’Alamin
Allah Swt. berfirman dalam surah Ar-Rum ayat 41, ”Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Konsepsi drainase tidaklah berfungsi secara signifikan. Kalaupun ada sejumlah gorong-gorong, kanal-kanal, drainase, tetapi di saat yang bersamaan eksploitasi lingkungan masih terus berlanjut. Sebab, kebijakan negara sudah tersistematis dengan ciri khas kapitalistik. Jadi mau sebanyak apapun pencegahan yang dilakukan, ketika akar masalahnya belum teratasi, maka solusi ini hanya bersifat sementara. Oleh sebab itu, solusi yang hakiki atas segala problematika yang terjadi saat ini terutama bencana banjir, negara harus merujuk kepada syariat Islam secara menyeluruh (kafah).
Pada kasus banjir yang disebabkan karena keterbatasan daya tampung tanah terhadap curahan air, baik akibat hujan, gletser, rob, dan lain sebagainya, maka negara akan menempuh upaya-upaya sebagai berikut. Pertama, membangun bendungan-bendungan yang mampu menampung curahan air dari aliran sungai, curah hujan. Di masa keemasan Islam, bendungan-bendungan dengan berbagai macam tipe telah dibangun untuk mencegah banjir maupun untuk keperluan irigasi, seperti di Provinsi Khuzestan, daerah Iran Selatan masih berdiri dengan kokoh bendungan-bendungan yang dibangun untuk kepentingan irigasi dan pencegahan banjir.
Kedua, negara akan memetakan daerah-daerah rendah yang rawan terkena genangan air (akibat rob, kapasitas serapan tanah yang minim, dan lain-lain). Selanjutnya, membuat kebijakan melarang masyarakat membangun pemukiman di wilayah-wilayah tersebut. Ketiga, negara membangun kanal, sungai buatan, saluran drainase, atau memecah penumpukan volume air, dan mengalihkan aliran air ke daerah lain yang lebih aman. Secara berkala, mengeruk lumpur-lumpur di sungai, atau daerah aliran air, agar tidak terjadi pendangkalan.
Keempat, membangun sumur-sumur resapan di kawasan tertentu. Sumur-sumur ini, selain untuk resapan, juga digunakan untuk tandon air yang sewaktu-waktu bisa digunakan, terutama jika musim kemarau atau paceklik air. Kelima, yang paling penting adalah tidak boleh mengalihfungsikan lahan rawa menjadi area permukiman, jalan tol, apalagi dikonservasi oleh swasta untuk perkebunan dan pertambangan.
Dengan demikian, Insyaa Allah banjir tidak lagi menjadi bencana yang rutin di alami masyarakat. Sudah seharusnya penguasa mewujudkan Islam rahmatan lil ’alamin, rahmatnya bukan hanya kepada manusia, tetapi juga ke seluruh alam.
Via
Opini
Posting Komentar