Opini
Antara Islam dan Demokrasi
Oleh: Burhanuddin
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Pesta demokrasi telah usai. Perhelatan akbar yang diadakan setiap 5 tahun sekali membawa banyak masyarakat yang berharap adanya pemimpin yang membawa perubahan untuk Indonesia lebih baik termasuk dari kalangan umat Islam.
Walaupun calon Presiden tidak ada yang secara langsung untuk menerapkan syariat Islam jika terpilih menjadi Presiden. Bahkan isu Islam menjadi sensitif di kalangan calon Presiden dan legislatif, seperti yang terjadi adanya kampanye hitam mengenai khil4f4h.
Kampanye hitam atau black campaign, dalam konstelasi politik hari ini dengan sistem demokrasi memberikan ruang bagi kontestan untuk melakukannya. Bahkan kekuasaan dapat dijadikan sebagai alat untuk memobilisasi pemilih untuk memilih pasangan tertentu.
Tak heran, munculnya video yang berjudul "Dirty Vote" yang menggambarkan bentuk kecurangan politik hari ini. Dalam iklim demokrasi hal tersebut bukan hal yang tabu, karena hampir setiap pemilihan umum mengandung kecurangan dan ketidak jujuran pada kontestan, baik politik uang, politik identitas maupun black campaign.
Walaupun demikian tidak sedikit yang berharap pada demokrasi yang akan memberikan perubahan yang lebih baik termasuk kalangan umat islam. Umat Islam masih menaruh harapan besar pada sistem demokrasi. Bahkan tidak sedikit dari kalangan umat Islam yang menyamakan antara demokrasi dengan Islam.
Dalam Islam ada musyawarah begitu pula dalam demokrasi sehingga mereka mengatakan Islam dan demokrasi tidak hanya sejalan namun saling berhubungan di antara keduanya, pendapat itu dikutip dari Soroush dalam buku yang berjudul “Islam Liberalisme Demokrasi”.
Selain itu Toha Andiko menuliskan dalam jurnalnya yang berjudul “Syuro dan Demokrasi Barat: Kritik dan Solusi Menuju Demokrasi Islam” dia mengataka bahwa, musyawarah yang dijalankan Nabi saw. secara substantif tidak berbeda dengan proses demokrasi (politik saat ini), karena Rasulullah saw. melakukan musyawarah tidak melibatkan semua masyarakat melainkan hanya melibatkan sebagian saja dari para sahabat. Sehingga dia mengatakan ini seperti legistatif yang ada dalam demokrasi.
Begitupun yang terjadi dalam perjanjian Hudaibiyah Nabi saw. sangat toleran dengan lawan politiknya yaitu Suhail ibn Amr utusan Quraisy untuk melakukan perjanjian.
Dengan keputusan yang memberatkan kaum muslimin hingga para sahabat termasuk Umar Ibn Khattab mempertanyakan keputusan Rasulullah. Termasuk ketika kaum muslimin menang dalam Perang Badar dan pada saat itu kaum muslimin memiliki banyak tawanan perang, maka sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq mengusulkan bahwa tawanan perang bisa ditebus dengan uang, sedangkan Umar Ibn Khattab mengusulkan untuk tawanan perang dibunuh seluruhnya.
Namun Rasulullah saw. saat itu memutuskan tawanan bisa bebas dengan tebusan dan yang tidak mampu maka mengajarkan kaum muslimin baca tulis.
Perbedaan Islam dan Demokrasi
Itulah beberapa argumentasi yang digunakan para pendukung demokrasi, sebagai dasar untuk menyamakan antara Islam dengan demokrasi. Padahal kalau kita mau jujur konteks musyawarah yang dipaparkan di atas berbeda dengan konteks musyawarah yang dijalankan dalam sistem demokrasi. Dalam sistem demokrasi semua dimusyawarahkan termasuk yang berkaitan dengan halal dan haram, padahal dalam Islam berkaitan dengan halal dan haram tidak ada yang perlu dimusyawarahkan.
Sebagai contoh dalam demokrasi masih memusyawarahkan mengenai batasan pornografi dan pornoaksi, sedangkan dalam Islam hal tersebut sudah jelas tidak ada yang perlu dimusyawarahkan, karena yang berkaitan dengan pornografi itu adalah yang menampakkan auratnya atau yang menutup aurat namun bertabaruj. Sedangkan pornoaksi itu sesuatu gerakan yang dapat menimbulkan syahwat.
Terkai adanya pendapat yang menyamakan Islam dan demokrasi, Assoc. Prof. Dr. Fahmi Lukman menyatakan, demokrasi dengan musyawarah berbeda jauh secara fundamental dengan Islam terkait dengan asas dan ideologinya. Bahkan kedudukan dan tujuan musyawarah juga berbeda antara Islam dan demokrasi. Dalam Islam semua mengacu pada kaidah-kaidah hukum pada Al-Qur’an dan Sunah. Sesuatu yang halal itu jelas halalnya, sesuatu yang haram itu jelas haramnya begitu pula yang makruh, sunah dan mubah.
Sedangkan dalam demokrasi membuat hukum berdasarkan kepintaran dan kejeniusan manusia. Sehingga perubahan hukum itu sebuah keniscayaan, contohnya seperti amandemen Undang-undang Dasar yang terjadi empat kali. Bahkan kasus terbaru perubahan undang-undang MK mengenai calon presiden dan wakil presiden.
Oleh karena itu, demokrasi tidak boleh disetarakan apalagi disamakan dengan Islam karena keduanya jauh berbeda ibarat seperti dua sisi mata uang yang berlawanan. Bahkan jika dilihat lebih jauh keduanya memiliki perbedaan yang mendasar dari segi sistem yang dijalankan, asas sebagai dasarnya dan pembuatan hukum dan sumber hukumnya. Cukuplah surah Al-Maidah ayat 50 sebagai renungan, “Apa hukum jahiliyah yang kalian kehendaki, hukum siapakah yang lebih baik dari hukum Allah bagi orang yang yakin”.
Wallahu'alam Bisshowab
Via
Opini
Posting Komentar