Opini
Bisakah Makan Siang Gratis?
Oleh: Maman El Hakiem
(Sahabat Tanah Ribath Media)
Ada janji kampanye pada pemilu yang baru saja usai, yaitu tentang "Makan siang dan minum susu gratis". Hal ini seperti ingin mengubah idiom "TIdak ada makan siang yang gratis" (not free lunch). Menurut sejarahnya, idiom "not free lunch" populer pada 1933, ketika mantan Walikota New York City Fiorello H. La Guardia menggunakan frasa Italia “È finita la cuccagna!” atau “Tidak ada lagi makan siang gratis”.
Ungkapan Guardia tersebut digunakan dalam kampanyenya untuk melawan kejahatan dan korupsi. Namun, saat ini istilah “Tidak ada makan siang yang gratis” digunakan untuk menggambarkan sesuatu hal yang dilakukan dengan maksud tersembunyi. Seperti halnya dalam ungkapan "Ada udang di balik batu."
Melalui kampanye "Makan siang dan minum susu gratis" seolah ingin meyakinkan rakyat, bahwa tidak semua hal yang yang diperoleh oleh rakyat harus berbayar. Sebagaimana dimaklumi dalam sistem kapitalisme hubungan negara dengan rakyatnya tidak ubahnya produsen dan konsumen, pedagang dan pembeli, bukan lagi melayani urusan rakyat secara tulus alias gratis. Pemerintahan dalam sistem sekuler seperti ini, berfungsi bukan lagi sebagai pelayan rakyat, melainkan sebagai tuan, sedangkan rakyat sebagai objek atau layaknya konsumen yang harus membeli jasa atau barang yang disediakan oleh negara. Tidak mengherankan, jika pemasukan negara selalu berasal dari beragamnya jenis pajak yang dipungut dari rakyat.
Fenomena Mahalnya Harga Beras
Fenomena naiknya harga-harga kebutuhan pokok menjelang bulan suci Ramadan atau hari raya sudah menjadi tradisi tahunan di negeri yang mayoritas muslim ini. Seperti melejitnya harga beras akhir-akhir ini, menurut data dari Badan Pangan Nasional (BPN) per 22-2-2024, satu kilogram beras premium menyentuh angka fantastis, Rp16.270. Sungguh ironi, di negeri yang mayoritas penduduknya petani, beras menjadi komoditi yang terlalu mahal untuk dibeli.
Belum lagi harga-harga kebutuhan pokok lainnya yang tentu akan turut merangkak naik karena penyesuaian harga. Janji kampanye salah satu pasangan capres untuk memberikan makan siang gratis rupanya sebuah mimpi yang masih panjang, bahkan kabarnya baru bisa terealisasi pada 2029. Negeri yang subur makmur, ternyata hanya untuk mendapatkan jatah makan siang gratis saja harus menunggu waktu panjang. Dan itu pun kalau benar penguasa yang terpilih nanti menepati janjinya, jika tidak tentu rakyat lagi-lagi hanya bisa gigit jari, hanya bisa makan angin dibohongi untuk ke sekian kali oleh para oligarki.
Bagi rakyat jelata, harga beras bukanlah sekadar angka di dalam grafik atau perhitungan kebutuhan yang dihitung dari besarnya permintaan pasar yang lebih besar dibanding pasokan yang tersedia sebagaimana hukum ekonomi. Naiknya harga beras tidak lain karena negara lalai dalam mengurusi kebutuhan dasar rakyatnya, dan salah mengelola kekayaan alam dengan menyerahkan sumber daya alam yang ada kepada swasta atau asing. Banyaknya asset negara yang dikuasai swasta atau asing adalah bukti gagalnya penguasa melayani rakyatnya.
Penguasa Perisai Rakyat
Tentu, akan menjadi hal yang berbeda ketika syariat Islam diterapkan di negeri ini. Sumber makanan pokok dalam Islam, seperti beras, merupakan hak atas kebutuhan dasar rakyat (hajatul asasiah) yang harus dipenuhi, selain kebutuhan sandang dan papan. Jika ada salah satunya saja yang tidak terpenuhi, maka negara harus ekstra bekerja keras mencari solusinya agar tidak menzalimi rakyatnya.
Harus dicari akar masalah kelangkaan pangan atau mahalnya harga kebutuhan pokok rakyat, selain faktor alami seperti masa paceklik karena gagal panen atau kondisi politik yang tidak stabil, namun dalam kondisi aman boleh jadi karena faktor kelalaian penguasanya.
Bisa jadi faktor utama naiknya harga pangan seperti beras di dalam sistem kapitalis karena tidak adilnya dalam distribusi. Oleh karena itu, di dalam sistem Islam, keadilan dalam distribusi sangat diperhatikan dan diutamakan. Hal ini bisa meminimalisir situasi di mana sebagian kecil orang memonopoli atau mengendalikan sumber daya vital seperti bahan pangan, sehingga mengakibatkan kenaikan harga.
Syariat Islam melarang penimbunan dan praktik spekulasi yang bisa memicu kenaikan harga secara tidak adil. Larangan ini bertujuan untuk memastikan keadilan dalam perdagangan dan harga. Di sinilah pentingnya ketegasan penguasa sebagai pelindung dan pelayan rakyat, sebagaimana sabda Rasulullah saw. di dalam sebuah hadis yang maknanya:
"Seorang pemimpin adalah perisai, di mana dengan mereka rakyat melindungi diri mereka dan berperang. Maka jika mereka bertakwa kepada Allah, tidaklah sesuatu yang lebih baik bagi mereka selain dari pemimpin yang bertakwa kepada Allah, dan jika mereka berbuat kejahatan, tidaklah sesuatu yang lebih buruk bagi mereka selain dari pemimpin yang juga demikian." (HR Ahmad, Abu Dawud).
Wallahu'alam bish Shawwab.
Via
Opini
Posting Komentar