Opini
Demokrasi, Pemilu dan Jalan Perubahan
Oleh: Rahmat S. At-Taluniy
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Benarkah Pemilu mampu membawa umat ini pada perubahan? Hal ini adalah pertanyaan yang bisa jadi muncul di benak kita hari ini. Setiap lima tahun sekali pemilu dilaksanakan dalam rangka memilih figur-figur pemimpin baru dengan harapan mampu mengantarkan umat pada perubahan yang diharapkan.
Pemilu (Pemilihan Umum) adalah proses pemilihan untuk memilih anggota legislatif dan presiden sebagai badan eksekutif yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Pembagian kekuasaan politik menjadi legislatif, eksekutif, dan yudikatif merupakan praktik yang umum dilakukan di banyak negara barat yang menjadikan demokrasi sebagai sistem pemerintahan.
Di Indonesia sendiri demokrasi ini mulai diterapkan ketika Indonesia mulai resmi dinyatakan sebagai negara yang merdeka. Dalam rentan waktu kurang lebih 74 tahun penerapannya (1945-2024) demokrasi telah mengalami beberapa kali perubahan, diawali dengan fase Demokrasi Parlementer, Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Pancasila sampai Demokrasi Reformasi yang masih berjalan sampai hari ini.
Tetapi pernahkah kemudian kita (sebagai seorang muslim) mencari tahu dari mana sebenarnya ide demokrasi ini berasal?
Adalah Polybius, salah seorang pemikir Yunani pada abad kedua SM yang pertama kali mengemukakan ide trias politica atau pemisahan kekuasaan. Polybius, seperti para pendahulunya dari Yunani mempercayai tentang adanya siklus pemerintahan di mana ketika itu di Yunani pemerintahan terbagi dalam tiga jenis, monarki (pemerintahan oleh satu orang), aristokrasi (pemerintahan oleh sedikit orang), dan demokrasi (pemerintahan oleh banyak orang).
Secara umum demokrasi mengusung ide bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat sebagai pemegang kekuasaan. Sehingga dengan demikian perlu adanya satu mekanisme pemilihan untuk menunjuk orang yang dianggap sebagai representasi rakyat untuk menjadi pemimpin. Berangkat dari sinilah kemudian mesti ada partai-partai yang dianggap sebagai fasilitator untuk merekomendasikan calon-calon pemimpin dari partai mereka yang sesuai dengan kriteria rakyat, dengan harapan melalui calon-calon inilah kemudian rakyat bisa mendapatkan hak-hak hidupnya sebagai warga negara.
Namun dalam praktiknya demokrasi dinilai belum berhasil menjadi jalan perubahan masyarakat (umat). Hal ini bisa kita lihat dari semakin meluasnya kesenjangan baik dalam bidang ekonomi ataupun sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Hal ini sejatinya wajar terjadi apabila kita memahami bagaimana mekanisme kerja dari demokrasi itu sendiri. Dalam demokrasi, agama apapun diperbolehkan eksis, akan tetapi tidak boleh kemudian satu agama tertentu mendominasi negara termasuk didalamnya tidak boleh kita (umat Islam) membawa argumentasi dan simbol agama dalam mengatur pemerintahan. Selain itu dalam demokrasi perubahan ataupun perbaikan masih diperbolehkan selama itu masih ada dalam kerangka demokrasi. Kita pun pada akhirnya diwajibkan untuk menyepakati standar sikap dengan batasan hirarki perundang-undangan yang ditetapkannya.
Maka, sangat wajar apabila ide dan konsep penerapan syariat Islam dan Khil4f4h yang hari ini menjadi wacana tidak sedikipun diberi ruang.
Berdasarkan pandangan itulah, maka kita bisa memahami bahwa pemilu sangat mungkin untuk menempatkan seorang muslim menjadi penguasa, tetapi tidak untuk menerapkan Islam dalam kepemimpinannya. Hal ini jelas bertentangan dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw..
Islam dibangun di atas landasan akidah yang mewajibkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah dalam seluruh urusan kehidupan dan kenegaraan. Bukan atas asas akal manusia yang serba terbatas sebagaimana demokrasi dijalankan. Akidah Islam memastikan bahwa manusia tidak punya hak sedikit pun untuk menetapkan peraturan hidupnya sendiri. Manusia hanya berkewajiban menjalani kehidupan menurut peraturan (hukum syara) yang sudah ditetapkan Allah Swt. sebagai pemilik kedaulatan yang hakiki. Dan Terikat dengan hukum syara bagi seorang muslim adalah satu kewajiban dan bukti keimanan. Dalm hal ini Allah Swt. berfirman :
إِنِ الحُكْمُ إلاّ للهِ
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (QS Al An’aam: 57).
فَلاَ وَ رَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan.” (QS An-Nisaa’ : 65).
Dalam hal kekuasaan, Islam menetapkan bahwa umat adalah pemilik sah kekuasaan yang artinya umat memiliki hak untuk memilih siapa yang kemudian layak diamanahi menjadi pemimpin (penguasa) yang dengan kekuasaannya itu dia dapat melaksanakan hukum syara, menjalankan perintah-perintah Allah Swt. dan menjauhi apapun yang menjadi larangan-Nya.
Islam pun sudah menetapkan adanya mekanisme Bai’at sebagai jalan untuk menetapkan dan melegitimasi seorang Khalifah yang diamanahi untuk mengamalkan Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya. Rasulullah saw. bersabda,
مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barang siapa mati sedang di lehernya tak ada bai’at (kepada Khalifah) maka dia mati (dalam kondisi) jahiliyah.” (HR Muslim).
Maka jelaslah dari sini bahwa demokrasi dan Pemilu bukanlah jalan perubahan dan haram diadopsi oleh umat Islam. Oleh karena itu, saatnya kita kembali kepada Islam dan menerapkan hukum-hukumnya dalam pelaksanaan berbagai urusan termasuk di dalamnya dalam hal kepemimpinan.
Wallahu a’lam.
Via
Opini
Posting Komentar