Opini
Gimik, Menghiasi Politik Transaksional
Oleh: Eva Agustina
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Gimik menjadi gaya trend dan sangat sering dijumpai di dunia entertainment, media sosial, dan sebagainya. Istilah gimik salah satunya muncul dalam debat Pilpres pada Minggu (21-1-2024) malam. Cawapres nomor urut 02 Gibran Rakabuming Raka melakukan gestur mencari-cari jawaban Cawapres nomor urut 03 Mahfud MD tentang greenflation (inflasi hijau).
Gimik ini dilakukan sebagai bentuk mencari jawaban. Namun setelah itu, Mahfud MD pun juga membalas gimik Gibran dengan mengatakan kembali mencari jawaban Gibran yang menurut Mahfud MD ngawur (Detik.com 22-1- 2024).
Kata Gimmick atau Gimik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki dua arti, yang pertama, trik untuk mengelabui lawannya, dan yang kedua, ialah trik yang digunakan untuk menarik perhatian dari seseorang atau publik.
Debat Cawapres beberapa waktu lalu, menyisakan berbagai kontroversi berkenaan pendapat para kontestan tentang sumberdaya alam, ekonomi dan lingkungan, setidaknya ada dua istilah yang erat kaitannya dengan teknologi hijau, yakni carbon capture and storage (CCS) dan greenflation. Istilah pertama berkaitan dengan sebuah sistem teknis dalam rangka mitigasi perubahan iklim, sedangkan istilah yang kedua merupakan istilah baru terkait dampak ekonomi dari mitigasi perubahan iklim.
Meskipun kedua istilah tersebut terdengar menarik, tetapi pada saat penyampaiannya seperti hanya retorika omong kosong politik dari para politisi yang sebenarnya tidak memahami ucapannya sendiri. Gimik yang di pakai kontestan memperlihatkan seperti tidak adanya keseriusan untuk membawa narasi kuat terkait istilah tersebut, melainkan hanya sekadar panggung sandiwara untuk menjatuhkan kandidat lainnya.
Politik di Tengah Iklim Kapitalisme dan Politik Transaksional
Transisi orde baru ke masa reformasi memberi dampak perubahan dalam peta politik nasional. Sistem demokrasi membawa banyak kebijakan baru, sehingga membuka peluang bagi siapa saja untuk menjadi politikus, akibatnya siapapun bisa masuk ke dalam parlemen. Dominasi politik transaksional yang menjadi jurus ampuh untuk mendapatkan jabatan, walaupun calon kontestan tidak memiliki kemampuan sebagai negarawan.
Setidaknya terdapat beberapa alasan mengapa sistem politik demokrasi hari ini cenderung remeh dalam menanggapi persoalan. Pertama, sistem saat ini berlandaskan pada sekuler-liberal yang menentang agama dalam menjalankan pemerintahan, termasuk mekanisme pemilu.
Alhasil, aturan yang dibuat hanya mengandalkan akal manusia yang terbatas. Dari sinilah akan terus muncul perselisihan dan polemik anyar manusia. Siapa yang berkuasa, maka dialah yang berhak menentukan aturan. Tidak heran, MK mengeluarkan putusan yang sesuai dengan kemaslahatan penguasa bukan rakyat.
Para politisi pun bertarung tanpa memakai aturan agama, sehingga politik uang, kecurangan, penipuan, dan segala jenis kejahatan akan selalu hadir dalam drama politik. Inilah sistem demokrasi sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan.
Kedua, sistem politik demokrasi sangat erat kaitannya dengan sejumlah korporasi. Posisi pejabat adalah sebagai makelar para pemilik modal, untuk memuluskan kepentingan mereka. Hal ini disebabkan kontestasi dalam sistem politik demokrasi membutuhkan biaya yang cukup fantastis. Wakil Ketua Partai Gelora, Fahri Hamzah menyebutkan, jika ingin jadi presiden harus punya modal sekitar 5 hingga 15 triliun rupiah. Hal inilah yang pada akhirnya akan menumbuh suburkan politik transaksional.
Selain itu, implikasi politik transaksional akan melanggengkan budaya korupsi, dan donatur politik yang dapat memuluskan bisnisnya untuk mendapat tempat strategis dalam pemerintahan. Singkatnya, praktik politik tersebut akan menghasilkan pemimpin yang melayani kepentingan pemilik modal atau kelompok tertentu, bukan menjadi pelayan rakyat.
Dengan politik transaksional, siapa yang mampu membayar dengan jumlah yang lebih besar, maka dialah yang akan diprioritaskan. Maka, pengkhianatan terhadap rakyat adalah sebuah keniscayaan, pada akhirnya rakyat lah yang menanggung derita atas politik transaksional yang terus terjadi secara sistemik.
Hal ini tidak jauh berbeda dengan laporan hasil Survei KPK (2018) yang menemukan berbagai kebijakan dapat dibeli dari proses pencalonan baik kepala daerah, maupun presiden. Survei tersebut menemukan, setidaknya ada tujuh harapan donatur pencalonan kontestasi politik kepada calon, yakni kemudahan perizinan terhadap bisnis yang akan dan telah dilakukan, kemudahan akses menjabat di pemerintahan, kemudahan ikut serta dalam tender proyek pemerintah, keamanan dalam menjalankan bisnis yang ada, mendapatkan akses menentukan kebijakan peraturan pemerintah, serta mendapatkan bantuan untuk kegiatan sosial menjelang pemilu.
Sejatinya para pemilik modal ini memahami pemerintah memiliki power untuk menentukan arah kebijakan perekonomian, sehingga celah ini dimanfaatkan para donatur untuk menguasai sektor-sektor perekonomian. Batasan dan berbagai persyaratan yang ditentukan, tak jarang hanya dijadikan sebagai formalitas dan bisa ditembus melalui jalur lobi politik.
Kembali Pada Politik Islam
Untuk memperbaiki negara dan menghasilkan pemimpin yang adil, jujur, beretika, serta pro terhadap rakyat, maka ada beberapa elemen yang harus diperbaiki. Pertama yaitu sistem pemerintahannya, bukan hanya fokus pada etika atau moral pemimpinnya saja, tetapi upaya perbaikan yang paling mendasar itu ialah perubahan dari sistemnya. Sebuah sistem yang benar akan melahirkan pemimpin yang bertanggung jawab, patuh, dan taat terhadap hukum syariat.
Politik di dalam Islam berasal dari kata (siyasah) yang bermakna pengurusan urusan umat. Politik Islam berjalan atas dasar akidah Islam. Dengan kata lain, politik Islam hakikatnya mengurusi urusan rakyat berdasarkan prinsip syariat. Inilah landasan etika politik di dalam Islam.
Di dalam Islam, negara adalah institusi pelaksana yang mengurusi urusan umat, sedangkan partai politik adalah institusi pemikiran yang bertugas melakukan pembinaan yang bertujuan untuk mendidik kader, serta melahirkan sumber daya manusia yang unggul dan berkualitas negarawan.
Selain itu, negara berperan sebagai atmosfer politik di tengah masyarakat. Tujuannya, agar masyarakat memiliki pemahaman, standardisasi dalam kehidupan bernegara yang sesuai syariat Islam. Dengan demikian, terciptalah atmosfer muhasabah kepada penguasa, sebagai wujud dari aktivitas amar ma'ruf nahi mungkar di tengah masyarakat. Hal ini sangat berbeda dengan fakta politik hari ini yang penuh intrik. Alih-alih memperjuangkan rakyat, politik hari ini lebih diwarnai dengan gimik yang tiada arti.
Sungguh, dalam sistem demokrasi transaksional, mustahil bisa dihentikan aliran dana asing yang mengalir pada parpol dan politisi. Sebab, demokrasi lah yang menjadi jalan para oligarki untuk melanggengkan kekuasaannya. Maka dari itu, mengupayakan politik Islam sebagai landasan dalam institusi pemerintahan adalah kewajiban yang harus di tegakkan.
Dengan diterapkannya syariat, akan terwujud negara dan pemerintah yang berkualitas, adil, dan amanah, serta bermartabat tinggi. Sebab, syarat menjadi seorang pemimpin bukan hanya cerdas secara intelektualitas saja, tetapi juga bertanggung jawab. Inilah wujud ketakwaan kepada Allah dengan menerapkan syariat Islam berdasarkan Al-Qur'an dan Sunah yang telah diamanatkan dalam konstitusi.
Maka, Gimik tidak berlaku dalam dunia politik Islam, karena pemahaman akan tanggungjawab dan prosedur dalam pengabdian akan berjalan sesuai ketentuan yang ditetapkan Allah. Pengabdian pemerintah terhadap umat bertujuan semata-mata untuk meraih ridho Allah, bukan untuk menumpuk kekayaan. Waallahu A'lam Bish Shawwab.
Via
Opini
Posting Komentar