Opini
Menakar Female Breadwinner, dengan Mindset Islam
Oleh: Santi Salsabila
(Aktivis Muslimah Indramayu)
"Dunia Terbalik" adalah salah satu judul sinetron yang tayang dan viral sekitar tahun 2017. Bertahan sampai 6 tahun dan akhirnya tamat setelah 2.930 episode. Berkisah tentang lika-liku kehidupan para suami yang ditinggal pergi istrinya untuk bekerja di luar negeri. Mereka menjadi bapak rumah tangga, mendidik dan mengurus anak. Diberikan judul "Dunia Terbalik", karena ada pertukaran peran, justru para istri-istri ini lah yang harus menafkahi keluarga.
Nampaknya premis cerita ini tak jauh dari realita kehidupan saat ini. Seiring dengan pesatnya dunia industri di perkotaan, wanita memiliki peluang pekerjaan yang cukup besar. Dari mulai bekerja sebagai buruh pabrik, sampai sebagai karyawati di kantoran. Bahkan menjadi wanita karir memiliki privilege tersendiri. Karena dianggap produktif dan bisa diberdayakan. Sementara, sebagian lainnya tergiur untuk mengadu nasib ke luar negeri.
Di Kabupaten Indramayu sendiri, sebagai salah satu daerah penyumbang PMI (Pekerja Migran Indonesia) terbesar di Indonesia, angka TKW (Tenaga Kerja Wanita)-nya terbilang tinggi. Jumlah warganya yang saat ini menjadi PMI di luar negeri mencapai 24.219 orang. Dari jumlah itu, jumlah PMI perempuan yang ada di luar negeri sebanyak 20.196 orang, atau sekitar 85% (rejabar.republika.co.id, 12-10-2023).
Gaji puluhan juta menjadi magnet tersendiri. Di tengah tingginya kebutuhan hidup keluarga dan kendala penafkahan dari suami. Sehingga "terbang" dianggap sebagai solusi paling masuk akal. Fenomena seperti ini, mulai dikenal dengan istilah Female Breadwinner. Yakni, ditujukan kepada para perempuan pencari nafkah utama dalam keluarga. Mereka didorong ke luar dari rumah dengan asumsi untuk menyelamatkan keluarga, dengan mendulang uang.
Pembicaraan tentang fenomena female breadwinner, berkaitan erat dengan pembahasan terkait bagaimana fitrah seorang perempuan itu sendiri dalam sebuah keluarga. Dimana peran strategisnya sebagai ummu wa rabbatul bait sekaligus madrasah pertama bagi anaknya. Oleh karenanya secara paradigmatis, Islam tidak serta merta melarang seorang perempuan bekerja ke luar rumah, tapi perlu menjadi catatan tersendiri jika sampai menciderai fitrahnya. Yakni, ketika seorang perempuan hanya memfokuskan diri untuk bekerja mencari penghasilan dan mengabaikan peran utamanya tersebut.
Jika seorang perempuan "terpaksa" bekerja, karena tuntutan ekonomi dan memang tidak ada pilihan lain, maka ini perkara yang sangat dilematis dan bukan merupakan kesalahan seorang ibu sepenuhnya. Misalnya single parent yang tidak memiliki wali yang dapat menanggung kebutuhannya. Meskipun dalam kasus ini, semestinya tanggung jawab utama ada pada penguasa. Bukan dikembalikan pada masing-masing individu.
Tetapi akan menjadi masalah serius jika bekerjanya seorang perempuan, atau fenomena female breadwinner ini sudah menjadi budaya bahkan life style. Dianggap sebagai sebuah hal yang biasa dan merupakan keumuman. Fakta di lapangan, tidak sedikit perempuan berstatus sebagai ibu dan bekerja menjadi PMI, justru nyaman dengan pekerjaannya dan adiktif terhadap pekerjaan tersebut. Mirisnya para ibu tersebut bekerja bukan demi memenuhi kebutuhan pokoknya, melainkan hanya untuk memenuhi syahwat akan kemewahan. Tidak memikirkan bagaimana perkembangan anaknya tanpa peran ibu di sampingnya.
Maka penting untuk mengenali penyebab masifnya female breadwinner ini. Yakni berawal dari susupan mindset ala sekuler-kapitalis yang dipoles manis dengan feminisme. Di mana obsesi mengunduh harta melebihi keinginan meraih pahala. Dunia di satu sisi, dan akhirat di sisi yang berbeda, terpisah. Dan anggapan bahwa siapa yang paling berdaya, maka kendali ada padanya. Sehingga berlomba-lomba bukan lagi pada keridaannya Allah, melainkan mana yang lebih banyak menghasilkan uang.
Ditambah lagi, sistem hidup saat ini yang kental dengan paham sekuler-kapitalis, mengakibatkan banyak perempuan direnggut fitrahnya. Di sisi lain, posisi laki-laki pun seperti diabaikan. Hilangnya peran penguasa dalam memastikan bahwa seorang ayah harus menafkahi keluarganya. Rakyat dituntut untuk memenuhi hak penguasa. Tapi penguasa nampak setengah hati dalam memberikan hak rakyat, baik kaum lelaki maupun kaum perempuan. Karena abainya penguasa dalam memenuhi kebutuhan setiap rakyatnya, fenomena female breadwinner ini pun semakin menjamur. Maka dari itu kritik atau nasihat atas dasar cinta, terhadap penguasa merupakan hal yang penting, tapi juga tak kalah penting membebaskan orang-orangnya dari mindset kapitalis-sekuler itu sendiri. Karena dampak kerusakannya sudah menyebar ke berbagai lini kehidupan.
Maka perlu juga membenahi pemahaman umat, khususnya perempuan, tentang fitrah mereka dan tugas utamanya, juga peran publiknya sebagai bagian dari umat Islam. Mengembalikan mindset Islam tentang kedudukan suami dan istri, juga konsep bagaimana Islam memuliakan perempuan.
Sejarah mencatat, tidak sedikit muslimah yang memiliki kontribusi besar, pada masa Daulah Islam. Seperti Khadijah binti Khuwailid, Fatimah al-Zahra’, 'Aisyah binti Abu Bakar, Asma’ binti Abu Bakar, Nusaiba binti Ka’ab al-Anshariyyah, Fatimah al Fihri, Lubna, Zainab binti Ahmad, dsb.
Dalam pandangan Islam, perempuan adalah kehormatan yang harus dijaga. Karenanya negara memiliki mekanisme untuk memastikan aktifnya jalur penafkahan. Maka aturan Islam kafah yang diterapkan secara legal oleh negara akan membantunya berada di posisi yang tepat. Fokus menjalankan tugas utamanya, juga diberikan ruang untuk mengembangkan potensinya di ranah publik. Jika pun bekerja, bukan semata demi pundi-pundi harta, melainkan untuk berkarya dan berdaya demi kemajuan Islam saja. Sehingga fenomena female breadwinner pun tak akan ditemui dalam peradaban Islam.
Wallahu a’lam bish-shawwab.
Via
Opini
Posting Komentar